3

1036 Kata
Bianca memeluk Anjani dengan erat. Tubuhnya begetar hebat. Air matanya deras mengalir di pipi mulus gadis itu. Rambutnya berantakan dan sesekali berteriak karena kesal dan penuh emosi. Hanya itu yang bisa diluapkan oleh Bianca saat ini. Dadanya tak hanya sesak. Napasnya juga tersumbat karena cairan yang terus mengalir dari indera penciumannya akibat terus menerus menangis. "Udah dong, Bi ... " ucap Anjani bingng. Sejak tadi, Bianca hanya menangis tanpa bicara sepatah kata pun, membuat Anjani kewalahan sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi pada Bianca. "Kamu itu harus cerita. Kamu ini kenapa? Ini pasti ada kaitannya sama Arjuna," ucap Anjani menebak. Bianca tetap tidak menjawab. Ia terus memeluk Anjani, sahabatnya dan menangis terisak. Tangan Anjani meraba ke samping mencari ponselnya langsung mencari kontak Arjuna. Dengan cepat, ponsel itu ia dekatkan ditelinga dan mendengar suara dari arah seberang yang belum menerima sambungan telepon itu. "Halo, Anjani?" ucap Arjuna cepat. "Kamu apain Bianca?" tanya Anjani galak. "Emmm ... Aku gak apa -apain, An," ucap Juna membela diri. Bianca melepas pelukan di tubuh Anjani sambil menggeleng. Anjani menutup mulutnya dengan jari telunjuknya untuk mengkode Bianca agar diam sejenak. "Kamu gak apa -apain? Terus kenapa nangis? Malah minta bunuh diri segala?" ucap Anjani ketus. "Beneran An? Bianca mau bunuh diri? Dia dimana sekarang?" tanya Arjuna Frustasi. "Kamu gak perlu tahu! Aku cuma mau tahu, Bianca kamu apain?" tanya Anjani semakin sengak. "Kita perlu bicara Anjani. Aku kamu dan Bianca. Aku gak mau Bianca salah paham soal ini," ucap Juna menjelaskan. "Soal apa?" sentak Anjani pada Arjuna. "Soal ..." ucapan Juan terhenti. Rasanya Juna enggan menjelaskan pada Anjani tentang kejadian yang sebenarnya. Anjani, sahabat Bianca itu sangat galak dan tidak mau kalah berdebat. "Soal apa?" tanya Anjani lagi. "Soal pernikahanku," jelas Juna dengan nada lemah. Arjuna berdiri sambil menatap ke arah kaca besar yang menampilkan pemandangan seluruh isi kota besar itu terutama lalu lalang kendaraan di jalan utama. "Apa? Pernikahanmu? Dengan siapa? Bianca?" tanya Anjani sambil menatap lekat ke arah Bianca. Bianca masih menggelengkan kepalanya pelan. "Aku dengan wania lain. Bukan dengan Bianca," jelas Juna dengan leher yang terasa tercekat sekali. Sungguh sesak menjelaskan soal ini lagi. "Apa kamu bilang? Pernikahan kamu dengan wanita lain? Lalu Bianca? Habis manis, sepah kamu buang? Gitu! Perempuan yang mau kamu nikahi itu lagi hamil?!" cecar Anjani ikut kesal dan emosi mendengar jawaban Arjuna yang sama sekali kurang bertanggung jawab itu. "Anjani. Please, Janagn pojokkan au soal ini. Pernikahan ini adalah pernikahan yang dipaksakan. Pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya cinta. Kamu tahu kan? Bagaimana aku mencintai Bianca? Aku ini lagi cari solusi agar minggu depan itu pernikahan ini tida terjadi," ucap Arjuna lantang. "Ya, Kamu cari solusi sebagai laki -laki sejati. Bukan malah melarikan diri! Seharusnya kamu itu jantan, bilang dengan Papa dan Mama kamu, kalau kamu punya Bianca. Aku pastikan kamu menyesal jika meninggalkan Bianca! Paham!" ucap Anjani semakin sewot. Anjani langsung mematikan ponsel itu sepihak. Deru napasnya memburu. Emosinya ikut memuncak. Ia memeluk Bianca dengan erat. Wajar, sahabatnya itu menangis terisak dengan suara yang begitu menyaitkan sekali. Ternyata, ini inti masalahnya. Wanita mana yang tidak sakit hati, kecewa, marah, kalau ia ditinggalkan oleh kekasihnya yang ia temani sejak mulai dari nol itu menikah dengan wanita lain. Dan yang lebih menyakitkan lagi, wanita yang akan dinikahi itu adalah wanita pilihan kedua orang tuanya yang jelas mendapatkan restu selancar jalan tol. Anjani mengusap punggung Bianca dengan lembut. "Aku tahu kamu kuat, Bi. Laki -laki gak cuma Juna. Masih banyak laki -laki lain yang lebih baik dan lebih ganteng dari Arjuna, si penakut itu," ucap Anjani semakin sewot. "Tapi ... Aku cintanya sama Mas Juna ..." ucap Bianca lirih. Anjani hanay mengangguk paham. Ia paling tahu, bagaimana usaha Arjuna meyakinkan Bianca untuk menerimanya menjadi kekasih. Anjani juga orang yang paling dekat dnegan pasangan sejoli yang selalu mesra dan adem ayem itu. Rasanya memang tidak mungkin, kalau Arjuna mengkhianati Bianca. Begitu juga dengan Bianca yang tidak semudah itu berpaling dari Arjuna. Cinta mereka terlalu luas untuk dikuras. "Kamu maunya gimana, Bi?" tanya Anjani mengendurkan pelukannya dan menghapus sisa air mata yang masih ada di pipi Bianca. Bianca menggelengkan kepalanya pelan sekali, "Aku gak tahu, An." "Mending sekarang kamu tenangin piiran kamu dulu. Percuma, kamu mikir kalau pikiran kamu lagi ruwet. Kamu mau makan? Atau mau istirahat dulu?" tanya Anjani lembut. "Aku mau istirahat dulu, boleh, An?" tanya Bianca lembut. "Boleh, Bi. Kamu istirahat. Kalau cari aku, aku di ruang keluarga ya?"ucap Anjani pada Bianca. Bianca mengangguk dan merebahkan tubuhnya dikasur. Sedangkan Anjani keluar dari kamar. Ia sengaja membiarkan Bianca sendiri agar lebih tenang. Anjani menutup pintu kamar dan bejalan menuju ruang keluarga. "Bianca kenapa?" tanya Damian cepat saat melihat Anjani keluar dari kamarnya. Cukup lama, Anjani di dalam kamar dan membuat Damian penasaran. Ia tahu wajah Bianca sedang tidak baik -baik saja. Berbeda saat berada di Kampus tadi. "Hmmm ... Kepo!" goda Anjani terkekeh. "Dia punya pacar?" tanya Damian serius. Anjani menyandarkan punggungnya dan menatap Damian lekat. "Punya. Kenapa? Mau saingan sama pacarnya?" tanya Anjani. "Kalau aku bisa menjadi yang terbaik untuk Bianca. Kenapa enggak?" jawab Damian begitu percaya diri. Anjani menarik napas dalam lalu tersenyum sambil menepuk pundak Damian. "Kalau serius, Kak Damian deketin aja. Dia lagi galau, tapi kalau dia menolak halus. Kaka harus siap," jelas Anjani tegas. "Galau? Tapi ditoalk halus? Gimana nih maksudnya? Kalau ngasih informais jangan setengah -setengah, yang jelas dong," pinta Damian gemas. "Oke. Bianca udah punya pacar. Namanya Arjuna. Sudah hampir empat tahun sejak Bianca kuliah. Tapi ..." ucapan Anjani tertahan. Ia melirik ke arah Damian yang masih menunggu penjelasan Anjani selanjutnya. "Tapi apa?" desak Damian. "Arjuna mau menikah dnegan wanita lain pilihan orang tuanya," jawab Anjani. "Apa? Empat tahun mereka bersama? Kemana?" ledek Damian sinis. "Entahlah. Mungkin ada sesuatu. Bianca juga gak tahu apa alasannya. Bianca sudah terlalu kecewa," jelas Anjani lagi. "Bukan laki kalau tidak bisa mempertahankan perempuan yang dicintainya. Lelaki pengecut seperti itu, sudah seharusnya tinggalkan saja dan tida perlu ditangisi. Masih ada aku ..." ucap Damian dengan sneyum mereka penuh percaya diri. "Huh! Pacar kamu aja pergi dulu!" goda Anjani. "Hmmm .. Dia selingkuh, An. Jadi ngapain mempertahankan wanita seperti itu?" ucap Damian tenang. "Selingkuh? Kamu tahu dari mana?" tanya Anjani. "Banyak yang bilang. Dia matrealistis juga. Ya, begitulah kalau salah pilih. Tapi, Bianca sempurna ...." puji Damian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN