Bianca sedang merapikan diri di kamar Anjani. Anjani dan Damian sudah menunggu duduk di teras rumah.
"Awas kalau dinakalin, Kak!" ucap Anjani menasehati.
"Dia itu mahasiswiku, An," ucap Damian tetap tenang.
"Tetep aja. Awas aja kalau macam -macam. Dia itu lagi patah hati," ungkap Anjani.
"Hmmm ... Ya ya ya ... Bawel," jawab Damian cepat.
Bianca sudah keluar dari arah dalam dan sudah bersiap untuk pulang. Bianca hanay berdii di samping Anjani duduk. Ia tidak enak kalau harus bicara pada Damian bahwa ia sudah siap untuk pulang.
"Udah siap nih, Putri Biancanya, Kak," seru ANjani menggoda.
Damian melirik ke arah Bianca dan tersenyum manis. Lelaki itu segera bangkit berdiri dan angkat biacar denan suara lembut.
"Yuk, Kita pergi sekarang," ajak Damian cepat.
"Iya Pak ..." jawab Bianca singkat.
Anjani menyikut Bianca pelan sambil tertawa, "Kenapa manggil Pak? Formal banget."
"Eummm ... Kan, Pak Damian dosen aku, Anjani. Manggilnya harus Pak," jelas Bianca sopan tanpa mau melihat ke arah Damian.
Bianca begitu sungkan sekali.
"Anjani ... Aku harus segera pergi. Jangan kasih pertanyaan dan pernyataan yan bakal menggiring publik ke arah tida benar. Ayo, Bianca," titah Damian tegas. Suaranya kali ini terdengar lantang sekali.
"Iya Pak," jawab Bianca cepat.
Bianca mencubit lengan Anjani dan melambaikan tangannya.
"Aku pulang dulu, An. Kapan -kapan aku mampir lagi," ucap Bianca yang sudah masuk ke dalam mobil hitam milik Damian.
Damian menutup pintu mobil dan berlari ke arah pintu yag lain lalu masuk dan sgera menyalakan mesin mobiil itu.
Kaca mobil sudah ditutup, AC mobil juga sudah menyala hingga hawa dingin menyerbu seluruh ruang di daam mobil itu. Aroma wangi dari pengarum ruangan juga mulai menyeruak membuat mood yang tadinya malas dan lemas pun mulai terliat bersemangat.
Damian melirik sekilas ke arah Bianca yang belum memasang sabuk pengaman ditubuhnya.
"Maaf Bi. Aku pasangin sabuk pengamannya ya? Sekali lagi maaf," ucap Damian begitu sopan.
Damian menarik sabuk pengaman dan engunci tubuh Bianca agar selama perjalanan nanti lebih safety.
Bianca hanya mengangguk kecil dan tetap menunduk.
Damian segera memegang bundaran setir dan perlahan mulai menjalankan mobilnya menuju jalan besar.
Damian menyalakan musik dnegan alunan lembut seperti jazz. Volumenya tida terlalu besar.
"Arah jalannya benar kan?" tanya Damian pada Bianca kembali memecah keheningan di antara mereka berdua.
"Be -benar Pak," jawab Bianca masih gugup.
"Bi ... Santai aja. Ini lagi di luar Kampus, dan kita bukan lagi bimbinganskripsi. Aku harap kamu bersikap nrmal saja. Anggap aku teman kamu seperti kamu menganggap teman atau sahabat kepada Anjani," jelas Damian panjang lebar.
"Iya Pak ..." jawab Bianca dengan bibir bergetar.
Damian kembali fokus menyetir. Ia juga ragu ingin menanyakan perihal yang menyangkut privasi Bianca.
Bianca mulai berani menatap ke arah depan. Cuaca malam ini begitu cerah sekali. Langit malam terlihat sangat terang karena malam ini diterangi oleh bulan purnama.
Tatapannya begitu koson. Entah apa yang Bianca lihat di depan itu. Jalanan yang lengang, atau lampu mobil yang menyala terang menembus kegelapan.
Hatinya hampa, dadana masih sesak. Desakan isak tangis mulai terasa ingin menyeruak hingga kerongkongan. Batinnya terluka. Ini yan disebut sakit tak berdarah.
"Bianca?" panggil Damian lembut.
"Iya Pak?" jawab Bianca lirih. Bianca menoleh ke arah Damian yang juga sedang menatapnya dengan senyum tertahan.
Damian tidak mungkin terus menerus tersenyum. Hatinya ikut merasakan sedih melihat wajah Bianca yang kuyu dan begitu lemah.
"Kamu kenapa?" tanya Damian hati -hati.
"Saya? Enggak apa -apa, Pak," ucap Bianca berushaa tenang.
Tangisnya ingin meledak. Kenapa suara Damian begitu menenangkan sekali. Boleh tidak, kalau saat ini, Bianca meminjam pundak Damian untuk meletakkan kepalanya sebentar saja dan menangis keras agar sesak di dadanya semakin hilang rasanya.
Ini benar -benar berat sekali. Perjuangan, pengorbanan dan hubungan yang ia bina selama hampir empat tahun dengan ketulusan, kasih sayang, cinta yang luar biasa besar, kesetiaan, kesabaran, tetapi hancur dalam waktu tidak sampai lima menit.
Bianca baru merasakan hancur -sehancurnya. Bagi Biana, Arjuna adalah hidupnya, nyawanya yang membuat ia bertahan selama ini.
Kehilangan Arjuna, seperti kehilangan separuh napasnya sendiri.
"Bukan karena tadi kan? Eum ... Maksudku soal skripsi yang harus kamu revisi," ucap Damian merasa bersalah.
Bianca menggelengkan kepalanya cepat, "Bukan Pak. Ini masalah pribadi saya."
"Masalah pribadi? Kalau boleh tahu, apa itu? Kenapa kamu sampai menangis dan lihat saja, kedua mata kamu bengkak," ucap Damian mulai bisa berbincang lebih terasa akrab.
Bianca tersenyum kecut, "Ini urusan saya, Pak. Bapak gak perlu ikut campur."
Suara Bianca begitu tegas. Ia sedang tidak ingin di ajak bicara apapun. Saat ini, Bianca hanya ingin pulang lalu masuk kamar dan tidur sepanjang malam tanpa ada yang mengganggu dirinya.
"Oke. Tapi, Kalau kamu berubah pikiran. Aku siap menjadi teman bicara kamu," ucap Damian penuh harap.
Ini awal agar Damian bisa mendekati Bianca yang sedang rapuh.
***
"Papa gak mau, kejadian serupa tejadi lagi, Juna! Kayla itu manusia, dia perempuan cantik yang dibanggakan orang tuanya. Kamu tinggalkan begitu saja di Butik tanpa bicara sepatah kata pun hanay demi kekasih miski kamu itu?" ucap Reza murka.
"Bianca namanya. Bukan kekasih miskin, Pah!" belas Arjuna.
"Ahh ... Sama saja! Kekasih kamu itu au namanya Bianca, Rosa, Idah, tetap saja miskin! Beda sama Kayla yang setara dengan kita," elas Reza begitu kesal dengan putranya.
"Tapi, Bianca yang merubah Juna menjadi seperti sekarang ini, Pah! Kalau bukan karena Bianca, Juna belum lulus dan tidak akan pernah semangat bekerja di baik meja kantor milik Papa!" ucap Arjuna marah.
"Kamu berani melawan Papa kamu sendiri? Kamu sia, angkat kaki dari rumah ini dan kita tidak akan memiliki hbungan apa -apa lagi. Silahkan, kalau kam siap?! Jangan pernah bilang kam bisa mandiri kalau semua kebutuhan kamu, masih Papa yang tanggung!" bentak Reza pada putra bungsunya.
"Argh! Juna capek! Juna mau istirahat!" ucap Juna dengan suara tak kalah keras.
Juna banagkit berdiri dan berjalan menuju kamar tidurnya.
"Jelas capek! Pacaran dengan orang miskin! Kmau itu hanay dimanfaatkan saja!" ucap Reza begitu sinis.
"Udah Pah. Juna butuh istirahat," ucap Lita sambil mengusap pundak Reza.
"Kamu itu! Belain terus Arjuna. Makanya dia jadi pembangkang seperti itu! Seharusnya kamu itu, bisa buat anak kamu lebih nurut sama orang tuanya!Bukan mmebangkang dan durhaka!" ucap Reza begitu kasar.
"Pa ... Juna itu sudah besar. Seharusnya kita tidak memaksakkan Arjuna untuk menikah dengan Kayla. Bianca juga cantik, dia berpendiidkan, baik, ramah. Mama pernah ketemu," ucap Lita berusaha menjelaskna pada Reza, suaminya.
"Aku gak mau dnegar apapun, Ma! Kamu iitu seharusnya dukung suami! Bukan malah ikut menjatuhkan aku!" sentak Reza yang kemudian pergi menuju kamar tidurnya juga.
Lita hanya bisa menarik napas dalam. Suaminya itu memang sangat keras kepala dan galak.