Adi mengajakku ke tepi pantai untuk membicarakan entah tentang apa. Kami duduk di sebuah batang kayu yang memang sengaja dibuat untuk tempat duduk. Seharusnya suasana pantai yang tenang dan semilirnya angin malam, juga kerlip bintang yang berkilau indah membuat suasana romantis, jika kami adalah sepasang kekasih halal juga saling mencintai. Sayangnya kami adalah dua orang yang berada di sini karena sebuah ikatan bernama anak. Jika tidak ada Lathif, kami mungkin tidak berada di sini. Dan mungkin juga Adi tidak akan pernah menemuiku lagi setelah menyerahkan surat Melati. Namun suratan takdir memang tidak pernah tertebak. Kami dipertemukan kembali dan justru kian terikat karena hadirnya seorang anak. Juga Adi yang kulihat begitu tulus menyayangi Lathif. “Anyelir.” Suara berat Adi membangun