"Kenapa Dad tega melakukan ini! Mom membutuhkanmu, mom mencintaimu! Tolong Dad, kita ke rumah sakit sekarang. Mom ... mom mungkin sudah tidak punya waktu lagi!"
"Diam! Aku bahkan tidak peduli jika dia mati! Pergi!"
"Kau tidak berperasaan, Dad! Kau pria paling mengerikan di muka bumi! Kau kejam! Sangat kejam!"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Laura Catalina Abraham.
Ditampar begitu keras sampai tubuhnya terhuyung dan wajahnya terbanting ke kanan.
Rasa panas yang begitu menusuk membuat Laura nyaris tidak bisa bernapas. Rasa perih menguar, lalu di barengi oleh rasa asin dari darah yang keluar melalui bibirnya yang pecah.
Bukan pertama kalinya Charles Abraham menyakitinya secara fisik, juga bukan pertama kalinya Laura merasa tidak diinginkan.
Kasar, kejam, tidak punya perasaan. Begitulah ayahnya.
"Dasar kau anak jalang!"
Laura perlahan mengangkat pandangan, tangan rapuhnya dengan gemetar menyentuh pipinya yang berdenyut.
"Beraninya kau datang ke sini dan mengacaukan jadwal pertemuanku!"
"Kenapa, Dad?"
Laura mendongak penuh tantangan pada ayahnya.
"Aku anakmu juga. Kenapa Dad hanya jahat padaku dan Mom!"
Plak!
Untuk kedua kalinya, pipi mulus Laura menerima tamparan. Kali ini jauh lebih keras, sampai Laura merasa telinganya berdenging dan pandangannya buram.
Hebatnya, Laura tidak sampai terjatuh. Oh, mungkinkah itu semua karena setelah menerima tamparan kedua. Kerah blusnya langsung dicengkeram oleh pria itu?
Ditarik, lalu Laura dihempaskan ke lantai.
Bruk!
Laura jatuh terduduk sambil merintih kesakitan.
"Kau itu hanya anak dari perjodohan! Brengsk! Kalau bukan karena wasiat nenekmu yang menyebalkan itu, aku tidak akan pernah menikahi ibumu yang sakit-sakitan itu. Dasar anak i diot!"
Laura mencoba berdiri, tapi lututnya bergetar.
Air mata mengalir turun ke pipi mulus Laura yang saat ini lebam karena tamparan keras ayahnya.
Kasar, kejam, begitulah Laura mengenal pria itu. Sejak kecil, ia tidak pernah mendapatkan apa itu kasih sayang. Sejak kecil, ayahnya seperti buldoser yang selalu menyiksa ibunya dengan kata-kata tajam.
Pria itu bahkan terang-terangan meninggalkan mereka dan memilih hidup bersama istri keduanya dan kelima anaknya yang lain.
"Mom tidak pernah menuntut apa pun darimu. Kumohon, kali ini saja, Dad. Kumohon ... mom hanya ingin kau datang. Mom merasa waktunya tidak lama lagi."
"Omong kosong!"
Charles maju ke depan, dan tangannya dengan kasar meraih segumpal rambut merah Laura, mencengkeramnya sangat kuat sampai Laura menjerit kesakitan.
"Dad! Tolong ... sakit!"
"Sudah cukup aku harus menanggung malu karena ibumu yang cacat itu! Kau pikir aku ini apa? Pria yang akan meneteskan air mata karena wanita lemah itu? Jangan bermimpi, Bodoh!"
Charles memberi isyarat pada dua bodyguardnya agar membawa Laura dari sana.
"Bawa dia pergi dari sini dan pastikan dia tidak muncul di depan mataku sampai ibunya mati!"
Padahal, selama ini sudah berusaha keras menghindari gadis itu. Karena bahkan melihat wajahnya ia muak, karena Laura begitu mirip dengan ibunya.
"Tidak! Lepaskan aku! Aku masih ingin bicara dengan ayahku!"
Laura berteriak, ia meronta dan mencakar tangan bodyguard itu.
Charles geram, ia sangat geram. Ia tidak pernah menyangka putri dari istri pertamanya itu akan datang ke club ini dan menyusup ke ruangan untuk mengacaukan jadwal pertemuannya dengan rekan bisnis besar.
Sekarang, pria itu ada di sudut ruangan. Duduk di balik bayang-bayang ruangan VIP itu.
Memperhatikan musuhnya yang tengah berinteraksi dengan sang putri. Orang yang selama ini menjadi target.
Melihat bagaimana Charles begitu kejam pada putrinya sendiri, telah membuktikan betapa pria itu sangat bengis.
Laura memberontak kesetanan dari tangan bodyguard sang ayah.
"Lepaskan! Lepaskan aku!"
"Aarrghhh!"
Si bodyguard kesakitan saat Laura menggigit tangannya.
Charles benar-benar geram, ia tidak pernah peduli kapan ia harus marah atau menyakiti orang lain. Ia tidak pernah menahan diri bahkan jika itu untuk putrinya sendiri, atau melakukannya di depan rekan bisnisnya. Ia seorang mafia, tidak butuh belas kasih.
"Dad! Kau harus menemui mom, Dad! Kumohon, kumohon!"
"Dasar anak kurang ajar! Kau memang harus diberi pukulan keras agar mengerti ucapanku!"
Sambil menggertakkan gigi, Charles meraih pergelangan tangan putrinya, tapi Laura memberontak dengan keras.
Pemberontak itu membuat Laura hilang keseimbangan hingga ia terdorong mundur dan jatuh tepat di depan sofa, tempat di mana rekan bisnis ayahnya duduk diam memperhatikan dengan sepasang mata hijau tanpa emosi. Rahang Charles mengetat marah.
"Mr. Daveraux, sepertinya pertemuan kita harus ditunda sebentar. Aku harus memberi pelajaran pada anak jalang itu dulu."
Dengan marah, Charles mengambil satu langkah, tapi sebelum Charles bergerak. Sosok yang duduk di sudut sambil memperhatikan mereka akhirnya buka suara, "Bangun."
Mendengar suara berat yang menggetarkan itu, Laura sontak mendongak, dan saat melakukannya. Matanya secara langsung bertatapan dengan mata hijau yang tampak buas itu.
Adam Daveraux, duduk membungkuk dengan kedua tangan berada di atas lututnya yang terbuka lebar. Saat pria itu menunduk, wajahnya persis berada di dekat wajah Laura.
Sejak kapan ada pria itu di sana?
Terpana, Laura hanya terpana.
Siapa dia?
Dia pasti rekan ayahnya, tapi ... tapi kenapa mata hijau itu terasa sangat menakutkan. Dia begitu mematikan.
Mulut Laura terbuka kecil, bibirnya yang mungil dan mengeluarkan darah itu tampak bergetar.
Si pria menyentuh dagu Laura dengan ujung jari telunjuknya.
Mengamati setiap senti wajah cantik itu. Dari rambut, mata, hidung, bibir.
"Naik."
"Apa—"
Pria itu menyentak Laura hingga bangkit dari lantai, lalu dengan kedua tangannya yang kuat. Adam menempatkan Laura ke atas pahanya yang keras karena otot-otot.
Laura terkesiap, napasnya mulai tidak beraturan. Pikirannya kosong dan tatapannya tampak linglung.
Laura tidak tahu kenapa hanya terpana di atas pangkuan pria itu, lupa caranya menarik napas saat ibu jari pria itu mengusap darah dari sudut bibirnya, kemudian menjilat noda merah itu seperti Vampire menikmati manisnya darah.
"Aku akan mengambilnya," kata Adam, tanpa menoleh ke arah Charles.
Ayah kandung gadis itu mengerutkan kening.
"Apa maksudmu?"
Adam masih menatap mata Laura yang berkaca-kaca. Jelas Adam tidak menutupi rasa tertariknya pada gadis itu, meskipun mata hijaunya tetap dingin tanpa menunjukkan emosi apa pun.
"Kau berkata, kau ingin aku menikahi salah satu putrimu untuk membentuk ikatan kerja sama, bukan? Aku akan mengambil putrimu yang ini."
"Apa kau berniat menjadikannya b u dak? Dia anak dari wanita yang terus sakit-sakitan, yang bahkan tidak layak jadi pelayan rumah."
Mata cokelat Charles menatap Laura dengan tatapan mencemooh.
"Kurasa dia lebih pantas dipasung."
Tangan Adam, tanpa izin melingkari pinggang Laura. Bahkan sampai pada adegan itu, Laura masih belum mendapatkan kesadaran penuh. Kesediaan Adam, uluran tangannya adalah di luar jangkauan Laura.
Pria itu tanpa meminta Laura beranjak dari atasnya, langsung berdiri dengan menggendong Laura ala pengantin.
Ekspresi di wajahnya kaku, tidak ada senyum, tidak ada sikap ramah, hanya ekspresi tegas dan tekad tak tergoyahkan.
"Kalau begitu, kita sepakat, Mr. Abraham. Saat ini putrimu tawananku."
Saat itu, Laura langsung tersadar dari apa yang terjadi di antara ayahnya dan pria itu. Ia langsung memberontak dari gendongan si pria, mulai meronta-ronta minta dilepaskan.
"Tidak, apa maksudmu? Apa kau berniat membeliku? Kau pikir aku barang, hah! Lepaskan aku!"
Laura meninju kuat-kuat d a da Adam, tapi otot-otot keras di sana terasa keras bak perisai.
"Dad! Apa maksudmu? Kau tidak berniat membiarkannya membawaku kan? Aku tidak mau, Dad! Aku datang ke sini untuk mom!"
Charles yang saat itu duduk di sofanya mengusap-usap dagu. Ia tahu, Adam Daveraux adalah musuhnya. Sejak awal, ia datang ke sana untuk mengubah minat Adam dari putri kesayangannya, Mia Abraham.
Karena ia tidak sudi putrinya disentuh tangan musuhnya, tapi jika Adam menginginkannya menjual Laura? Itu opsi yang sangat brilian. Tentu saja ia akan setuju. Bahkan jika Adam mencincang gadis itu, ia tidak peduli.
"Silakan bawa dia. Anak berguna itu mungkin bisa memberimu kepuasan di ranjang dengan rengekan bodohnya."
Mata Laura melotot.
"Dad! Tolong jangan lakukan ini!"
Laura menangis tersedu-sedu, meskipun begitu Adam tidak melepaskan Laura.
"Kau akan ikut denganku."
Gadis itu histeris.
"Tidak! Lepaskan aku!"
Ia meraung, "Dad, tolong! Jangan biarkan pria ini membawaku! Mom sedang sakit, mom membutuhkanku, Dad!"
Adam langsung membawa Laura yang memberontak kesetanan meninggalkan tempat itu.
Laura menangis, meraung dan memohon agar pria itu tidak membawanya.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku!"
"Diam!" Adam mencondongkan tubuhnya ke arah Laura, lalu memangut bibir gadis itu untuk menghentikan protesnya.
Laura membelalak, spontan mendorong Adam dan berkelit, tapi Adam segera menahan kedua tangan gadis itu. Sementara mulutnya memberikan ciuman dalam, keras dan menuntut. Seolah-olah Adam ingin menyalurkan kemarahan serta dendam yang terpendam di sana.
"Arrgh! Lepaskan aku!" Laura menjerit, lalu terkulai lemas di kursi mobil karena kehabisan napas. Adam masih berada di sana, begitu dekat.
"Kau masih perawan?"
Saat mendengar pertanyaan itu, Laura nyaris ingin pingsan. Wajahnya pucat pasih karena ketakutan.
"T-tidak, tidak! Aku sudah punya kekasih! Aku sudah pernah melakukannya. Aku sudah sering melakukannya, Tuan!"
"Oh ya? Aku suka yang berpengalaman. Kalau begitu, mari kita buktikan."