Wajah? - 1

1002 Kata
Jakarta tahun 2065. Namaku Noru Baya G. Aku adalah seorang anak biasa berusia tujuh belas tahun yang baru saja duduk di bangku kelas sebelas sekolah menengah atas. Sehari-hari aku menjalani kehidupan yang normal. Hidup di rumah, di sekolah, di tempat les, semuanya sangat biasa hanya sama saja seperti anak lain di luar sana. Sama seperti anak lain aku mengobrol dan bicara seperti anak lain. Hanya menyukai hal-hal yang anak lain sukai. Hanya memikirkan hal-hal yang para anak lain pikirkan. Lakukan bermacam tindakan yang umum dilakukan oleh anak kebanyakan. Saling bersosialisasi, membentuk kumpulan demi kumpulan bernama circle, saling berkawan dengan banyak orang. Semua hal yang sangat biasa untuk aku pribadi. Aku selalu menikmati setiap sudut kecil segi kehidupan yang aku miliki. Sekalipun aku hidup tanpa seorang ibu. Dan kasih sayang ayah terasa sangat jauh dari kalbu. Aku bisa terus hidup karena dorongan dari semua orang dalam hidupku. Kadang yang namanya sosialisasi memang sangat menipu. Demi terlihat seperti orang normal, orang biasa yang keberadaannya tak akan mengancam eksistensi siapa pun, kadang siapa pun orangnya akan rela lakukan hal apa pun termasuk yang paling mengerikan dan tak bisa dibayangkan dengan akal sehat. Demi diterima dalam kehidupan sosial yang memadai, tiap orang tanpa ragu akan rela jika dirinya harus jadi apa pun demi menyesuaikan diri dengan siapa pun dan bagaimana pun situasi hidup yang harus mereka jalani. Prasyarat itu juga berlaku untuk diriku yang bernama Noru ini. Hingga datang suatu malam di mana semua hal yang dulu sangat aku percaya dengan lubuk hatiku terasa tak lagi sama alias sangat berubah. Entah dari kehidupan sosial yang aku jalani. Kehidupan pribadi yang harus aku lewati. Bahkan tak pelak juga kehidupan kedua orang tua yang telah melahirkan aku ke dunia ini sebagai entitas dan individu biasa yang sama sekali tidak akan mencolok jika dibanding dengan orang lainnya. Bahkan kehidupan homunculus yang berada dalam kepalaku. Semuanya berubah. Noru Baya G. yang normal menjadi Noru Baya G. yang berbeda, tak lagi sama bahkan jika dilihat dari segi mana pun juga. Aku sendiri tak menghendaki hal itu untuk terjadi. Aku hanya berharap walau kakiku hanya satu saat ini, tak lagi sama dengan kebanyakan manusia normal lainnya, aku bisa tetap jadi seseorang seperti dulu. Yang sama saja dengan dulu. Aku berharap tak ada hal yang bisa merubahku. Hanya kehilangan satu anggota tubuh saja aku rasa bukan hal yang besar dan harus sangat dipusingkan. Bukankah banyak orang lain di luar sana yang memiliki lebih banyak kekurangan dan kehilangan ketimbang dengan diriku? Yah, aku percaya diri bahwa apa yang aku lamai ini pasti bukan sesuatu yang perlu sangat dipusingkan untuk saat ini bahkan nanti atau kapan saja, bukan? Haaarrrghh.  Namun, ternya aku tidak bisa lakukan semua itu. Aku tidak sekuat dan sehebat yang aku harapkan. Aku sama sekali tidak setangguh yang aku inginkan. Bahkan walau ia tak ingin pada kenyataannya Noru Baya G sudah berubah. Tak akan bisa lagi sama seperti yang sebelumnya. Yang harus ia lakukan sekarang hanya menerima hal itu, pikirnya. Namun, harus ia sadari bahwa hal itu sama sekali tidak sesederhana yang ia kehendaki. Ia tak bisa mengendalikan diri sesuai dengan apa yang dirinya sendiri ingini. Ia bukan lagi penguasa untuk alam bawah sadarnya. * Saat itu para anak di sekolah asyik bermain sepak bola atau tenis. Namun, saat itu sebagai anak yang seumuran dengan mereka satu-satunya yang bisa aku mainkan hanya bola bekel, hahaha, mirip dan terasa menyedihkan sekali, bukan. Aku tidak bisa lagi hidup normal seperti anak lain seperti yang selalu aku harap dan inginkan ejak dulu. Meski bukan berarti juga hidupku telah berakhir hanya karena kakiku saat ini cuma satu. Hanya saja melihat pantulan diriku baik di permukaan cermin maupun permukaan air benar-benar buat aku merasa jengah dan tak bisa menahan diri untuk tak merasa sedih, sedih, jauh lebih dalam dan sedih lagi. Namaku Noru Baya G., untuk sekarang kaki yang aku punya hanya satu. Satu buah yang mana buat aku tak ubahnya terlihat seperti sebuah boneka rusak yang tak berdaya. Saat Ayah pulang dan mengetahui hal yang harus aku alami sampai punya penampilan seperti ini, ia langsung marah besar dan mengeluarkan sumpah serapah yang belum pernah aku dengar sebelumnya. Aku telah menzalimi diriku sendiri, begitu alasan yang pria itu rasa sanggup membenarkan apa yang baru saja ia lakukan. Tanpa lelah sudah berulang kali aku coba jelaskan alasan mengapa aku lakukan hal yang buat aku berakhir jadi seperti ini. Tapi, ia tetap tak bisa menerima, tetap tak sudi untuk mengerti. Bagi dirinya ini merupakan suatu aib, musibah besar, yang tak bisa diampuni bahkan dengan apa pun juga di dunia. Ini hanya tebakanku saja tapi jika melihat dari cara bicara dan raut wajah yang ia gunakan saat melihat satu kakiku yang buntung ini aku seolah dibuat yakin bahwa semua yang aku pikirkan itu memang benar. Ayah sudah putus asa bahkan dengan kemarahan dirinya sendiri. Aku sangat yakin pada hal itu. * Walau sikap dan reaksi Ayah di rumah cukup buat aku merasa sangat kecewa, tapi untung saja tak ada apa pun yang berubah dengan sikap dari semua teman di sekolah. Mereka menunjukkan simpati yang buat aku merasa sangat bahagia dan bisa jadi jauh lebih semangat dalam menjalani masa depan tanpa satu buah kaki. Tapi, tak lama kemudian langsung aku sadari lagi bahwa mereka hanya menunjukkan semua perasaan itu untuk wujud simpati bahkan rasa kasihan saja. Mereka bukan berarti mengerti. Keadaan tubuhku yang dalam waktu singkat jadi anak cacat ternyata tetap saja bisa buat orang lain menunjukkan respon tidak bersahabat alias negatif. Tak pelak buat beberapa anak mulai mengambil jarak. Tidak semua juga sih, hanya beberapa. Namun itu tanpa aku sadari ternyata cukup beri pengaruh pada anggapan yang aku miliki pada semua orang secara garus besar. Penarikan demi penarikan terus aku lakukan demi mendapat perasaan terlindungi. Melindungi diri sendiri. Aku harus melindungi jiwa dan mentalku sendiri jika tak lagi sampai ingin merasa tersakiti. Hanya satu tujuan yang aku pikirkan ketika itu; aku harus menemukan orang lain yang sama dengan aku. Yang tak akan lakukan apa pun yang bisa menyakitiku baik saat ini, nanti, atau kapan saja yang tak ingin aku ketahui.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN