Jakarta tahun 2065.
Namaku Noru Baya G. Aku adalah seorang anak
biasa berusia tujuh belas tahun yang baru saja duduk di bangku kelas sebelas
sekolah menengah atas. Sehari-hari aku menjalani kehidupan yang normal. Hidup
di rumah, di sekolah, di tempat les, semuanya sangat biasa hanya sama saja
seperti anak lain di luar sana. Sama seperti anak lain aku mengobrol dan bicara
seperti anak lain. Hanya menyukai hal-hal yang anak lain sukai. Hanya
memikirkan hal-hal yang para anak lain pikirkan. Lakukan bermacam tindakan yang
umum dilakukan oleh anak kebanyakan. Saling bersosialisasi, membentuk kumpulan
demi kumpulan bernama circle, saling berkawan dengan banyak orang. Semua hal
yang sangat biasa untuk aku pribadi.
Aku selalu menikmati setiap sudut kecil
segi kehidupan yang aku miliki. Sekalipun aku hidup tanpa seorang ibu. Dan
kasih sayang ayah terasa sangat jauh dari kalbu. Aku
bisa terus hidup karena dorongan dari semua orang dalam hidupku.
Kadang
yang namanya sosialisasi memang sangat menipu. Demi terlihat seperti orang
normal, orang biasa yang keberadaannya tak akan mengancam eksistensi siapa pun,
kadang siapa pun orangnya akan rela lakukan hal apa pun termasuk yang paling
mengerikan dan tak bisa dibayangkan dengan akal sehat. Demi diterima dalam
kehidupan sosial yang memadai, tiap orang tanpa ragu akan rela jika dirinya
harus jadi apa pun demi menyesuaikan diri dengan siapa pun dan bagaimana pun
situasi hidup yang harus mereka jalani. Prasyarat itu juga berlaku untuk diriku
yang bernama Noru ini.
Hingga
datang suatu malam di mana semua hal yang dulu sangat aku percaya dengan lubuk
hatiku terasa tak lagi sama alias sangat berubah. Entah dari kehidupan sosial
yang aku jalani. Kehidupan pribadi yang harus aku lewati. Bahkan tak pelak juga
kehidupan kedua orang tua yang telah melahirkan aku ke dunia ini sebagai
entitas dan individu biasa yang sama sekali tidak akan mencolok jika dibanding
dengan orang lainnya. Bahkan kehidupan homunculus yang berada dalam kepalaku.
Semuanya berubah.
Noru
Baya G. yang normal menjadi Noru Baya G. yang berbeda, tak lagi sama bahkan
jika dilihat dari segi mana pun juga. Aku sendiri tak menghendaki hal itu untuk
terjadi. Aku hanya berharap walau kakiku hanya satu saat ini, tak lagi sama
dengan kebanyakan manusia normal lainnya, aku bisa tetap jadi seseorang seperti
dulu. Yang sama saja dengan dulu. Aku berharap tak ada hal yang bisa merubahku.
Hanya kehilangan satu anggota tubuh saja aku rasa bukan hal yang besar dan
harus sangat dipusingkan. Bukankah banyak orang lain di luar sana yang memiliki
lebih banyak kekurangan dan kehilangan ketimbang dengan diriku? Yah, aku
percaya diri bahwa apa yang aku lamai ini pasti bukan sesuatu yang perlu sangat
dipusingkan untuk saat ini bahkan nanti atau kapan saja, bukan?
Haaarrrghh.
Namun, ternya aku tidak bisa lakukan semua itu. Aku tidak sekuat dan
sehebat yang aku harapkan. Aku sama sekali tidak setangguh yang aku inginkan.
Bahkan walau ia tak ingin pada kenyataannya Noru Baya G sudah berubah. Tak akan
bisa lagi sama seperti yang sebelumnya. Yang harus ia lakukan sekarang hanya
menerima hal itu, pikirnya. Namun, harus ia sadari bahwa hal itu sama sekali
tidak sesederhana yang ia kehendaki. Ia tak bisa mengendalikan diri sesuai
dengan apa yang dirinya sendiri ingini. Ia bukan lagi penguasa untuk alam bawah
sadarnya.
*
Saat
itu para anak di sekolah asyik bermain sepak bola atau tenis. Namun, saat itu
sebagai anak yang seumuran dengan mereka satu-satunya yang bisa aku mainkan
hanya bola bekel, hahaha, mirip dan terasa menyedihkan sekali, bukan. Aku tidak
bisa lagi hidup normal seperti anak lain seperti yang selalu aku harap dan
inginkan ejak dulu. Meski bukan berarti juga hidupku telah berakhir hanya
karena kakiku saat ini cuma satu. Hanya saja melihat pantulan diriku baik di
permukaan cermin maupun permukaan air benar-benar buat aku merasa jengah dan
tak bisa menahan diri untuk tak merasa sedih, sedih, jauh lebih dalam dan sedih
lagi.
Namaku
Noru Baya G., untuk sekarang kaki yang aku punya hanya satu. Satu buah yang
mana buat aku tak ubahnya terlihat seperti sebuah boneka rusak yang tak
berdaya.
Saat
Ayah pulang dan mengetahui hal yang harus aku alami sampai punya penampilan
seperti ini, ia langsung marah besar dan mengeluarkan sumpah serapah yang belum
pernah aku dengar sebelumnya. Aku telah menzalimi diriku sendiri, begitu alasan
yang pria itu rasa sanggup membenarkan apa yang baru saja ia lakukan. Tanpa
lelah sudah berulang kali aku coba jelaskan alasan mengapa aku lakukan hal yang
buat aku berakhir jadi seperti ini. Tapi, ia tetap tak bisa menerima, tetap tak
sudi untuk mengerti. Bagi dirinya ini merupakan suatu aib, musibah besar, yang
tak bisa diampuni bahkan dengan apa pun juga di dunia. Ini hanya tebakanku saja
tapi jika melihat dari cara bicara dan raut wajah yang ia gunakan saat melihat
satu kakiku yang buntung ini aku seolah dibuat yakin bahwa semua yang aku
pikirkan itu memang benar. Ayah sudah putus asa bahkan dengan kemarahan dirinya
sendiri. Aku sangat yakin pada hal itu.
*
Walau
sikap dan reaksi Ayah di rumah cukup buat aku merasa sangat kecewa, tapi untung
saja tak ada apa pun yang berubah dengan sikap dari semua teman di sekolah.
Mereka menunjukkan simpati yang buat aku merasa sangat bahagia dan bisa jadi
jauh lebih semangat dalam menjalani masa depan tanpa satu buah kaki. Tapi, tak
lama kemudian langsung aku sadari lagi bahwa mereka hanya menunjukkan semua
perasaan itu untuk wujud simpati bahkan rasa kasihan saja. Mereka bukan berarti
mengerti. Keadaan tubuhku yang dalam waktu singkat jadi anak cacat ternyata
tetap saja bisa buat orang lain menunjukkan respon tidak bersahabat alias
negatif. Tak pelak buat beberapa anak mulai mengambil jarak. Tidak semua juga
sih, hanya beberapa. Namun itu tanpa aku sadari ternyata cukup beri pengaruh
pada anggapan yang aku miliki pada semua orang secara garus besar.
Penarikan
demi penarikan terus aku lakukan demi mendapat perasaan terlindungi. Melindungi
diri sendiri. Aku harus melindungi jiwa dan mentalku sendiri jika tak lagi
sampai ingin merasa tersakiti. Hanya satu tujuan yang aku pikirkan ketika itu;
aku harus menemukan orang lain yang sama dengan aku. Yang tak akan lakukan apa
pun yang bisa menyakitiku baik saat ini, nanti, atau kapan saja yang tak ingin
aku ketahui.