“Pak Adolf … maaf, tadi Non Jill pergi ….” Pak Ujang melapor dengan napas tersengal menginterupsi perbincangan Adolf dengan salah satu kliennya.
“Jill,” gumam Adolf dengan raut wajah cemas.
Jadi ingat jika ia datang ke sini bersama sang putri, Adolf terlalu asyik berbincang dengan pak Wijaya-kliennya yang tidak sengaja bertemu di resto ini.
“Tadi … Non Jill pergi meninggalkan resto ini, Pak … maaf Pak, saya enggak bisa ngejar.”
“Pak Adolf, sebaiknya kita sambung pembicaraan kita nanti … sepertinya ada hal yang lebih penting yang membutuhkan perhatian Anda.”
Pak Wijaya mengerti, ia pun harus kembali ke meja di mana keluarganya berada.
“Baik, Pak Wijaya … sampai bertemu hari Senin di kantor.”
Pak Wijaya akhirnya meninggalkan meja Adolf sehingga daddynya Jill bisa fokus kembali pada putrinya.
“Jill pergi menggunakan apa?” Adolf bertanya kepada Pak Ujang.
“Naik mobil, Pak … tapi enggak tahu mobil punya siapa.”
Pak Ujang merasa bersalah karena tidak bisa menahan Jillian.
Adolf mengembuskan napas gusar, diraihnya ponsel untuk mengabarkan pembatalan pertemuan dengan Kenzo.
Kedua alisnya terangkat melihat ada satu pesan dari Kenzo, lantas membacanya.
Kenzo : Pak Adolf, Jillian bersama saya. Ceritanya lucu dan menarik kenapa dia bisa bersama saya, akan saya ceritakan hari senin di kantor Pak Adolf dan saya pastikan dia sampai ke rumah dengan selamat.
Adolf terkekeh membuat Pak Ujang melongo bingung.
“Duduk di sini, Jang … temani saya makan, saya lapar.”
“Saya enggak berani, Pak.”
“Duduk, Jang … jangan biarkan saya makan sendiri.”
Dengan tanda tanya besar di benaknya karena belum mengerti kenapa sang tuan malah terkekeh lalu memintanya makan malam bersama dan bukannya mencari Jillian—mau tidak mau pak Ujang akhirnya duduk mengikuti perintah Adolf.
Mungkin sambil makan malam beliau akan menceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi.
***
Di dalam mobil SUV Premium BMW X7 berwarna hitam yang dikemudikan sendiri oleh Kenzo—keheningan membentang cukup lama.
Jillian melamun sambil menetralkan detak jantungnya yang berdetak kencang karena perpaduan emosi sedih, kecewa dan takut.
“Hobby kamu itu masuk mobil orang yang enggak kamu kenal, ya?” celetuk Kenzo membawa Jillian kembali dari lamunan.
Refleks gadis cantik yang masih berkeringat bercampur air hujan di pelipisnya itu menoleh.
Jillian sudah menarik napas untuk menanggapi ucapan Kenzo namun ketika memperhatikan lebih jelas wajah pria tampan itu—ia kembali terdiam.
Benaknya berpikir sejenak lalu ekspresi wajah Jillian berubah antusias.
“Om yang waktu beberapa hari lalu ada di kantor Daddy ya? Aku salah masuk mobil Om waktu itu.”
Kenzo mengangguk dengan pandangannya fokus ke depan, ekspresinya datar tanpa senyum.
“Maaf Om, enggak sengaja.”
“Enggak sengaja, atau memang takdir?” gumam Kenzo yang masih bisa Jillian dengar.
“Heu? Maksudnya?” Jillian belum mengerti.
Kenzo menggelengkan kepalanya samar menghasilkan decakan sebal Jillian.
“Turunin aku di depan aja, Om ….”
“Kamu mau pulang naik apa?” Barulah Kenzo menoleh sekilas.
“Taxi.”
Kenzo tidak menanggapi juga tidak menghentikan laju kendaraannya.
“Om … berhenti di depan!” Jillian berseru setengah panik, mulai khawatir dengan keselamatannya.
“Kamu sudah mengacaukan rencana makan malam saya, sekarang kamu harus temani saya makan malam.”
Jillian mengerjap, raut was-was masih tercetak di wajah cantiknya.
“O-Om … kenal daddy aku, kan?” tanya Jillian terbata.
Matanya memicing seakan mengancam Kenzo jika berani macam-macam maka akan berhadapan dengan daddynya.
Kenzo menganggukan kepala sebagai jawaban.
“Om … kliennya Daddy ya?”
Kenzo menganggukan kepalanya lagi.
Jillian mengembuskan napas lega. “Jangan kasih tahu daddy kalau aku lagi sama Om, ya … please.”
Seringai terbit di sudut bibir Kenzo memberi kesan misterius di wajah tampannya.
“Kenapa?”
“Aku enggak mau dijodohin sama pria tua klien daddy ….”
Tanpa segan Jillian curhat, was-wasnya lenyap setelah mengetahui pria yang di sampingnya adalah klien dari sang daddy.
“Kenapa enggak mau?”
“Dia udah tua Om, aku kenal sama om Wijaya … aku juga kenal anaknya yang seumuran sama aku, aku tahu Om Wijaya duda tapi ya masa daddy mau jodohin aku sama dia.”
Jillian mengesah frustrasi menendang-nendang kakinya kesal.
“Waktu aku keluar dari toilet, aku liat daddy lagi ngobrol sama om Wijaya … aku enggak nyangka daddy jahat banget mau jual aku,” sambung Jillian bersedih.
Kenzo tersenyum di dalam hati, sekarang ia mengerti jika telah terjadi kesalah pahaman.
“Pak Adolf sayang sama kamu.”
Jillian menoleh dramatis. “Enggak, daddy mau nyingkirin aku.”
“Kita sampai, temani saya makan malam … kamu harus tanggung jawab,” kata Kenzo tidak menanggapi celotehan Jillian.
“Iyaaa,” sahut Jillian memanjangkan kata membalas keketusan Kenzo.
Dari pada pulang dan sudah dipastikan sang daddy juga ada di rumah dan akan mencecarnya—sebaiknya Jillian menemani makan malam pria yang telah menolongnya.
Jillian turun dari mobil menyusul Kenzo yang tengah memberikan kunci mobil kepada petugas valet.
“Tapi Om janji jangan kasih tahu daddy kalau sekarang aku lagi sama Om.”
Percuma saja ia kabur jika Kenzo memberitau daddynya dan Pak Ujang menjemput.
“Maaf Jil, aku sudah memberitau daddy kamu supaya beliau enggak khawatir.” Batin Kenzo yang menjawab.
“Om, jawab dulu!!” seru Jillian yang telah menghentikan langkah menuntut kesanggupan Kenzo.
“Iya,” balas Kenzo penuh penekanan, pria itu sempat menoleh kemudian melanjutkan langkahnya
“Nama Om siapa?” Jillian bertanya sambil menyamakan langkah lebar Kenzo.
Pria itu memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana.
Cara jalannya gagah ditunjang postur tubuh tinggi nan tegap.
“Kenzo.” Pria itu membalas cepat.
Jillian mengerutkan keningnya berpikir, jika tidak salah—beberapa kali ia mendengar nama itu keluar dari mulut daddynya.
Berarti memang benar pria dengan tubuh tinggi menjulang dan pundak seluas samudra itu adalah klien daddynya.