Membawa Jillian Pulang

1311 Kata
Sesungguhnya Jillian memang lapar, ia juga belum sempat makan malam tadi. Kenzo memberikan buku menu kepada Jillian yang langsung diterimanya. Kenzo mengawasi setiap gerak-gerik Jillian, bagaimana kening gadis itu mengerut saat berpikir menu apa yang akan dimakannya malam ini. Dan saat bibir keriting sensual Jillian tiba-tiba mengerucut, tanpa sadar Kenzo menelan saliva. Lalu pandangan Kenzo beralih pada hidung Jillian yang lancip dan netra coklat yang sama dengan netranya. Jillian memang cantik dari segi wajah dan siapa sangka jika Jillian masih SMA atau lebih tepatnya akan lulus SMA karena body Jillian sudah terbentuk sempurna seperti wanita dewasa. Kenzo bisa menilai dari dua gundukan yang menyembul di d**a Jillian mengintip dari balik kerah dressnya yang rendah juga b****g yang besar sehingga pada saat gadis itu duduk menopang satu kakinya di atas kaki yang lain maka bulatan b****g sexy itu semakin tercipta melekat sempurna di mini dress bodycon yang dikenakannya. “Om … mau pesen apa?” panggil Jillian, nyaris Kenzo terhenyak tapi ia menyamarkan dengan berdekhem dan mengalihkan tatapan pada si pelayan lalu menyebutkan menu makan malam pesanannya. Ia sudah hapal dengan menu di resto yang menjadi langganannya dalam menjamu klien. Entah sejak kapan Jillian selesai membacakan menu pada si pelayan, Kenzo terlalu larut mengagumi fisik Jillian. Chapter 5 “Udah lama Om jadi kliennya, Daddy?” Jillian bertanya tidak serius hanya untuk membunuh hening karena Kenzo diam saja duduk tenang di kursinya. “Baru tiga tahun terakhir tapi saya kenal Pak Adolf semenjak saya menjadi pegawai rendahan di perusahaan yang sekarang saya pimpin,” jawab Kenzo serius. “Wuiiii, hebaaat.” Jillian tidak sesungguhnya takjub, ia hanya mengikuti alur pembicaraan mereka saja. “Jadi, selain kamu enggak mau dijodohin sama pria tua … apa lagi alasan kamu menolak perjodohan?” Kenzo sedang mencari tahu karakter asli Jillian. “Aku baru mau lulus SMA … masih mau seneng-seneng sama teman-teman, party, clubbing, vacation … pokoknya aku mau nikah setelah puas menikmati hidup.” Sekarang Jillian serius dengan ucapannya. “Memangnya kalau menikah, kenikmatan hidup kamu akan berkurang?” Jillian terpekur, menggigit bibir bagian bawah tampak berpikir. “Kayanya sih begitu.” Jillian masih SMA, ia tidak mengerti dengan apa yang ditanyakan Kenzo. Yang ia tahu adalah ketika menikah, seorang wanita akan diam di rumah mengurus rumah tangga, anak dan suaminya seperti mendiang mommy. Seorang pelayan datang mengantarkan minuman lalu pergi setelah Kenzo mengucapkan terimakasih. “Aku juga punya pacar, dia photographer berbakat … tapi daddy enggak suka hanya karena dia lulusan SMA dan sering minjem duit aku … yang namanya hubungan itu ‘kan harus saling membantu, ya ‘kan Om?” Kenzo mengalihkan pandangannya dari wajah cantik Jillian bersama dengan dengkusan samar. Ternyata gadis yang sering membuat jantung Adolf Guzman anfal ini begitu polos dan mudah dimanfaatkan. “Om udah nikah?” Jillian bertanya lagi karena sesungguhnya ia benci diam saja jika bersama orang yang baru ia kenal, hanya akan membuat suasana canggung bukan? Kenzo menggelengkan kepalanya lemah. “Umur Om berapa?” Jadi, selain menyebalkan ternyata Jillian juga cerewet. Kenzo mengetahui satu kepribadian Jillian lagi setelah kepolosan dan yang ada di otaknya hanya bersenang-senang saja. “Tiga puluh satu tahun.” “Tuh, Om saja yang sudah tua gini belum nikah … masa aku yang sembilan belas tahun disuruh nikah?” Jillian jadi memiliki alasan kuat untuk menolak perjodohan daddynya. “Apa dia bilang? Gue udah tua?” Dalam hati Kenzo menggeram tidak terima. Tapi mendengar usia Jillian yang masih sembilan belas tahun membuat Kenzo tercenung. Apakah dirinya akan menjadi pedophil jika menyetubuhi Jillian setelah mereka menikah nanti? Mata Kenzo tidak sengaja melihat gundukan yang menyembul itu lagi. “Mana ada anak kecil, montok kaya dia.” Batin Kenzo menilai. *** “Om tahu rumah aku?” Jillian baru tersadar setelah lama melamun dalam perjalanan pulang, mencari cara untuk kabur dari rumah jika Adolf memaksa menjodohkannya dengan pak Wijaya. “Saya ‘kan klien daddy kamu.” Kenzo menjawab seraya menghempaskan napas kasar. Pria itu tampaknya lelah menanggapi Jillian yang berisik dan kenapa juga banyak sekali pertanyaan yang ada di benak gadis itu. Anak kecil bukannya memang memiliki rasa ingin tahu yang besar? Kenzo memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu masuk utama. Pria itu turun bermaksud pamit kepada pak Adolf. Pintu ganda yang menghubungkan area luar dan dalam terbuka memunculkan sosok Adolf yang tersenyum sumringah. “Kenzo,” sapa Adolf. “Pak Adolf, sesuai janji … saya antar Jillian sampai rumah.” Kening Jillian berkerut mendengar kalimat Kenzo, matanya menatap tidak suka yang menghasilkan kerutan samar di antara alis. “Terimakasih Kenzo, bagaimana makan malamnya?” Anehnya, Adolf tampak senang dan malah menanyakan perihal makan malam mereka. Bukannya semestinya Adolf memarahi Jillian karena kabur saat acara perjodohan? “Berjalan dengan lancar, Pak.” Kenzo yang menjawab dengan lugas. Jillian bisa saja langsung pergi karena rasa kecewa dan sakit hati terhadap sang daddy yang menjodohkannya dengan pria tua tapi entah kenapa ia merasa ada kejanggalan yang harus di cari tahu. “Daddy mau memperkenalkan kamu sama Kenzo tapi kamu malah nyamperin Kenzo duluan.” Pernyataan Adolf yang diakhiri tawa renyah itu menjawab tanda tanya besar di benak Jillian. Saat makan malam ia mendengar cerita dari pak Ujang jika Jillian sepertinya akan kabur lalu malah masuk ke dalam mobil Kenzo-pria yang dijodohkan dengannya. Adolf tidak bisa menunggu sampai hari Senin untuk mengetahui bagaimana cerita makan malam putrinya dengan Kenzo. “A-apa?” Jillian terbata tidak percaya. Jillian menatap Adolf dan Kenzo secara bergantian, jadi si Om tampan yang ia pikir berpihak padanya itu ternyata bersekongkol dengan daddynya? Pantas saja pria itu bersedia mengikuti keinginan Jillian untuk membawanya pergi dari sana. Dan kenapa juga Jillian tidak berpikir kedatangan Kenzo ke restoran itu sendirian pasti untuk bertemu dengan seseorang. Padahal clue bahwa Kenzo adalah klien sang daddy dan belum menikah sudah Kenzo utarakan ketika makan malam. Semestinya ia bisa menebak jika Kenzo adalah klien yang dimaksud Adolf. Tapi kenapa juga Kenzo tidak menceritakan yang sebenarnya padahal mereka duduk berdua saling berhadapan selama beberapa jam. Jillian tidak bisa berkata-kata, entah kenapa ada rasa lega membebaskan dadanya yang sesak mengetahui jika sang daddy tidak jahat dengan menjodohkannya dengan pria yang benar-benar tua seperti pak Wijaya. Setidaknya Kenzo lajang dan tampan meski umur mereka terpaut dua belas tahun. Walau begitu, Jillian tidak sudi menikah dengan Kenzo. Adolf-pria pemilik DNA yang sama dengannya saja tidak mencintainya dan sering mengabaikannya. Jadi, alasan apa yang bisa membuat Kenzo-pria yang baru ia kenal mau mencintai Jillian setelah mereka menikah nanti? “Selamat malam.” Jillian masuk ke dalam rumah begitu saja dengan tampang kesal tanpa bersedia menanggapi ucapan Adolf atau berbasa-basi kepada Kenzo. Langkahnya setengah berlari menaiki anak tangga menghasilkan bunyi hentakan heels di lantai marmer. “Saya enggak bisa bayangkan lucunya pertemuan kalian tadi,” kata Adolf seraya merangkul pundak Kenzo dan membawanya duduk di kursi teras. “Sejujurnya saya hampir nabrak Jill, Pak … terus waktu driver Pak Adolf lari menghampiri Jill … Jill langsung masuk ke mobil saya dan meminta saya membawanya pergi.” Adolf tertawa hingga terbahak, punggungnya terdorong bersandar pada sandaran kursi. “Katanya saat keluar dari toilet, dia melihat Pak Adolf berbincang dengan pak Wijaya jadi Jill pikir Pak Adolf akan menjodohkannya dengan pak Wijaya.” Tawa Adolf yang perlahan mereda kembali mengudara mendengar penjelasan Kenzo. Putrinya salah paham tapi lucunya kesalah pahaman itu mengantarkan Jillian pada Kenzo. “Lalu bagaimana menurut kamu, Kenzo?” Kenzo menipiskan bibir. “Sepertinya perjodohan bukan cara yang tepat untuk membuat Jill menjadi anak baik dan penurut seperti dulu … dia justru akan menjadi-jadi, Pak … buktinya saja dia berpikir untuk kabur.” Kenzo mengemukakan pendapatnya. Hembusan napas terdengar berat keluar dari mulut Adolf. “Saya enggak punya cara lain, Ken … saya harus mencari orang yang bisa menjaga Jillian.” Pandangan Adolf tampak sendu menatap taman di halaman depan rumahnya yang luas. Wajah pria tua itu terlihat pucat dan tubuhnya lemah, Kenzo bisa melihat Adolf sekuat tenaga menutupi kondisinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN