Sebelas Milyar

767 Kata
“Menurut kamu Kenzo itu gimana?” Adolf Guzman bertanya pada putrinya yang diam saja selama sarapan pagi. “Enggak gimana-gimana,” sahut Jillian malas. “Jadi ….” Adolf Guzman menjeda dan Jillian tidak berminat baik menyelesaikan sarapannya maupun mendengar pernyataan kelanjutan sang daddy. Jillian beranjak dari kursi makan. “Jill pergi, Dad.” “Jil,” panggil Adolf Guzman menghentikan pergerakan Jillian yang tengah berjalan menjauh. Jillian menunggu tanpa bersedia membalikan badannya. “Mau ya Jill … menikah dengan Kenzo … dia pria baik, Jill … dia bertanggung jawab dan—“ “Dad!!” Jillian membalikkan badannya. “Daddy enggak liat baju apa yang dipakai Jill? Ini seragam SMA, Dad!” Jillian mencubit kemeja sekolahnya di bagian kerah. “Umur Jillian masih belasan, Daddy itu dimana sih pikirannya? Jillian enggak mau nikah sama siapapun sekarang, Dad ….” Jillian pergi sambil menghentakan sepatu Gucci-nya di sepanjang lorong hingga tiba di pintu utama. Masuk ke dalam kabin mobil di bagian belakang dari pintu yang di buka pak Ujang, melempar tas dengan kasar ke jok di sampingnya—Jillian menghentakan kaki karena kesal. Kesal karena Daddy memaksanya menikah dan kesal karena setelah tadi ia kembali bertengkar dengan Adolf Guzman—bingung bagaimana cara menagih ijin dan uang jajan untuk liburan. “Pak Ujang,” panggil Jillian lembut karena membutuhkan pertolongannya. “Ya Non?” Pak Ujang melirik Jillian dari kaca spion tengah. “Pak, mobil Ferrari hadiah ulang tahun Jill yang ke tujuh belas tahun ‘kan jarang dipake tuh ….” Jillian menjeda. “Iya, Non … kenapa jarang dipake?” Pak Ujang menanggapi. “Jakarta macet, gimana mau kebut-kebutan pakai mobil itu … jadi, dari pada enggak dipake, Pak Ujang bisa jualin enggak?” “Bisa Non, Pak Ujang punya kenalan or—“ Kalimat Pak Ujang terhenti karena tahu maksud dari Jillian sebenarnya. Ingin menjual sport car tersebut tanpa sepengetahuan Adolf Guzman. “Apa pak Adolf sudah setuju kalau Non Jill jual mobil itu?” Gelengan kepala dan senyum manis menjadi jawaban Jill atas pertanyaan pak Ujang. Pak Ujang mengembuskan napas pelan. “Sudah kuduga,” batinnya bicara. “Kalau begitu nanti Pak Ujang dibilang penadah, Non … Pak Ujang enggak berani, ah … Non Jill, ijin dulu sama Daddy.” “Pak Ujang, enggak asyik!” seru Jill merajuk dengan nada rendah. “Non Jill lagi butuh uang ya?” “Iya, Pak Ujang … Jill mau liburan.” “Butuh uang berapa Non? Siapa tahu Pak Ujang bisa bantu.” “Sebelas Milyar,” jawab Jill pelan. “Ya Tuhan, Noooooon.” *** Setelah tidak berhasil membujuk Pak Ujang untuk menjual mobil Ferari-nya—Jill memikirkan cara kembali bagaimana agar bisa mendapatkan uang sejumlah sebelas Milyar untuk liburan. Ia melamun menatap jendela sepanjang mata pelajaran Sejarah. Sebuah Hellikopter mendarat di atap gedung kelas sepuluh yang berada di samping gedung di mana Jillian berada sekarang, rooftop gedung itu memang sebuah landasan Heli. Lidah Jillian berdecak. “Si Bima pasti lupa bawa tas lagi ke sekolah,” gumam Jillian. Benar saja, Bima teman sekolahnya dari kelas IPA berlari memburu pria berpakaian safari yang baru turun dari Hellikopter membawa tas sekolah. Pria yang merupakan ajudan ayahnya Bima itu kembali naik ke dalam Hellikopter setelah urusannya selesai. Pemandangan tersebut sudah tidak aneh lagi di sekolah yang menerapkan kurikulum Internasional dengan biaya fantastis. Tidak ada beasiswa sehingga di sekolah itu semua sama—hanya anak-anak dari para orang kaya Negri ini saja yang bersekolah di sana. “Jill, Pak Seno udah ngeliatin lo dari tadi sambil nerangin … lo jangan ngelamun terus.” Callista yang duduk di meja sebelahnya memberitau disertai sikutan di lengan Jillian. Jillian mengalihkan tatapannya dari jendela ke papan tulis di mana Pak Seno sedang mencoret-coret benda tersebut dengan spidol, entah menuliskan apa Jillian sudah tidak peduli lagi. Benaknya masih tentang bagaimana cara mendapatkan sejumlah uang untuk liburan. Sebuah pop up notifikasi pesan masuk membuat Jillian harus menunduk menatap ponselnya di bawah meja. Jillian membuka aplikasi pesan, bibirnya seketika tersenyum tatkala menemukan pesan masuk dari Rangga. Rangga : Sayang, jadi nginep ‘kan? Astaga, Jillian lupa meminta ijin kepada daddy. Kadung kesal karena sang daddy terus saja memaksanya agar segera menikah. Rangga cukup lama memandang layar ponselnya, melihat status Jillian yang sedang mengetik kemudian pesan Jillian masuk ke ruang chat mereka. Jillian : Jadi. Satu kata itu yang Jillian ketik sedari tadi sambil berpikir. Meski satu kata tapi mampu membuat Rangga tersenyum lebar, berbanding terbalik dengan perasaan Jillian yang resah dan gundah. Pikirannya kini terbagi antara ijin untuk menginap dan uang jajan liburan. Kepala Jillian pusing mencari cara bagaimana mendapatkan dua ijin tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN