MEDIASI

1001 Kata
Pagi ini, Septian terlihat terburu-buru. Ia sampai harus ijin datang terlambat dengan cara berbohong. Sejak Rachel pergi, tak sehari pun Septian lalui tanpa msalah. Terlebih, Dita selalu mencuri kesempatan untuk bercinta dengan pria yang berstatus anak dari majikannya itu. Sikap Septian lah yang mendasari Dita untuk mencuri kesempatan agar bisa berdekatan dengannya. Pria itu berubah total sejak kepergian Rachel. Oleh karena itu, Dita harus memutar otak untuk bisa menikmati waktu dengan Septian. Bahkan, tak peduli bila harus mencampur minuman Septian dengan obat-obatan. "Kamu kayaknya kesiangan terus belakangan ini?" tanya Reni yang melihat sang putra belum selesai memakai sepatu. "Iya, Ma. Aku pergi, ya," pamitnya. Baru saja ia akan melangkah pergi, ponselnya berbunyi. Tertera nomor dari sebuah instansi pemerintahan. Langkahnya pun terhenti demi mengangkat panggilan itu. "Halo, selamat pagi," sapa Septian. Mama Reni yang masih berdiri tak jauh dari Septian, menatap bingung. Dengan kedua alis yang terangkat, ia memberi isyarat bertanya. Namun, Septian meminta Reni untuk sabar. "Apa? Sidang perceraian yang pertama?" Septian sangat terkejut mendengar penuturan orang yang meneleponnya. Dita yang baru keluar dari arah dapur, ikut bergabung saat mendengar kata-kata itu. Senyum tipis terukir di wajahnya. Tak lama, Septian mengakhiri panggilan dengan jawaban, bila ia menyanggupi untuk hadir. "Baik. Saya akan hadir. Terima kasih atas infonya." Septian memijit kepalanya yang semakin berdenyut nyeri. "Jadi, istri kamu itu sudah mendaftarkan gugatan cerai? Bagus! Kabulkan saja, biar kita lihat, bisa apa dia tanpa kamu!" ucap Reni menggebu-gebu. Hal ini begitu ia tunggu sejak lama. "Aku nggak akan pernah menceraikan Rachel! Mama gak usah manas-manasin keadaan! Bagaimana pun, aku tetap mencintai dia!" tolak Septian tegas. Lagi, lagi, dia harus menghubungi kantor karena masalah ini. Lima menit Septian menghubungi pihak kantor untuk ijin tidak bekerja dulu. Ia beralasan, memiliki masalah penting yang harus diselesaikan. "Mama nggak manas-manasi, tapi itu kemauan dia. Artinya Rachel lebih memilih jadi gembel daripada hidup sama kamu. Lagian, mama yakin, suatu saat dia pasti nyesel pisah dari kamu! Udah mandul, belagu lagi! Dasar wanita tak tahu diuntung!" Reni terlihat begitu yakin dengan ucapannya. "Aku setuju dengan Bu Reni. Udahlah, Mas, biarin aja dia pergi. Lagian, Mbak Rachel sendiri, kok, yang minta pisah. Kenapa juga harus kamu tahan-tahan? 'Kan masih ada aku di sini," ujar Dita dengan nada manja. Ia bergelayut di lengan Septian. Akan tetapi, Septian segera melepas tangan Dita dari lengannya. "Hust! Kamu ini. Jangan rusak citra anak saya yang baik, ya!" Reni menatap tajam pada Dita. Gadis itu hanya mencebikkan bibirnya. Namun, dalam hati ia benar-benar bersorak senang karena berita ini. Tidak lama lagi, rencananya untuk menjadi istri Septian akan menjadi kenyataan. Seperti itulah isi pikiran Dita sekarang. "Nanti mama ikut sama kamu!" putus Reni. Dia tidak akan melewatkan kesempatan ini. "Aku juga!" sambar Dita. "Dengan catatan, kamu tidak boleh mempermalukan Septian di sana. Apalagi, mencari kesempatan." Mama Reni memberi peringatan pada Dita. "Oke, Bos!" Gadis itu memberi hormat pada ibu dari kekasih hatinya. Sementara itu, Septian tak peduli dengan permintaan keduanya. Pikirannya terlalu sibuk mencari cara agar perceraian ini batal. Apa pun akan dia lakukan, meski harus berlutut di hadapan orang banyak. Asal Rachel tak menceraikannya. Akan tetapi, kalau Rachel bersikeras, maka tidak ada cara lain selain melempar kesalahan padanya. Septian tersenyum licik. *** Siang hari, Septian, Reni, dan Dita tiba di pengadilan agama. Di sana, mereka melihat penampilan Rachel yang begitu modis, elegan, dan cantik. Sangat berbeda dengan Rachel yang selama ini mereka kenal. Namun, mereka tak sempat berbincang karena Rachel dan Septian segera menuju ruang mediasi lebih dulu. Agenda hari ini adalah mediasi. Rachel dan Septian tetap pada pendirian masing-masing. Satu ingin berpisah, lainnya tidak. Hakim berusaha untuk tidak langsung menerima keinginan Rachel. Bagaimanpun, pernikahan adalah hubungan yang begitu sakral di mata Tuhan. Tidak baik bila mereka berpisah. "Kenapa Anda begitu ingin berpisah dari suami?" Sejak mediasi berlangsung, Rachel tidak menyatakan alasannya untuk berpisah. "Kami sudah tidak memiliki kecocokan," jawab Rachel cepat. Alasannya begitu klise. "Sayang, di mana letak ketidak cocokkan kita? Aku tidak pernah melarangmu bertemu dengan siapa pun. Bahkan, saat aku mendapatimu berselingkuh, aku tetap memaafkanmu, 'kan? Apa keputusan saya salah, Pak Hakim?" tanya Septian mengiba. Wajahnya dibuat semelas mungkin, agar pihak pengadilan mempercayainya. Sungguh, Rachel merasa mual melihat tingkah Septian. Bisa-bisanya pria itu memutar balikkan fakta di depan hakim. Orang lebih mengenalnya dengan istilah playing victim. Rachel benar-benar menyesal pernah jatuh cinta pada makhluk di depannya ini. Yang sayangnya, cinta itu masih bertahta di sana. "Menurut saya tidak. Seharusnya, Ibu Rachel senang karena kesalahannya tak lagi di ungkit oleh Pak Septian. Sangat jarang ada laki-laki yang mau memaafkan perselingkuhan yang dilakukan seorang istri." Hakim mengutarakan pendapatnya. Namun, Rachel tetap pada pendiriannya. "Saya ingin tetap bercerai!" tegas Rachel tanpa memandang Septian. "Ayolah, Sayang. Kita mulai semua dari awal, ya, kamu mau 'kan? Aku akan berusaha melupakan pengkhianatan yang kamu lakukan." Septian terus membujuk Rachel. "Sudahlah, Mas. Ini memang jalan yang terbaik untuk kita. Kalau kita terus bersama, yang ada kita akan terus saling menyakiti," ucap Rachel dengan suara bergetar. Sekuat tenaga Rachel menahan diri, agar air mata yang sudah tertampung di pelupuk mata tak jatuh. Kepalanya terasa berdenyut kencang saat ini. Hakim yang melihat jalannya mediasi dengan alot, tak bisa melanjutkannya lagi. "Mediasi kali ini saya nyatakan gagal. Mediasi hanya bisa berjalan, saat penggugat dan tergugat menjalani satu kesepakatan. Untuk itu, akan ada mediasi kedua, yang akan dilakukan minggu depan." Mediasi pun akhirnya dijadwalkan ulang. Hakim menjabat tangan Septian dan Rachel bergantian. Kemudian, berjalan mendahului mereka. Saat Rachel akan keluar, Septian menahannya. "Sudah aku bilang, aku tidak akan menceraikanmu. Jadi, sebaiknya tarik kembali gugatanmu." Septian berbicara lirih di telinga Rachel. "Aku tidak akan pernah menarik gugatan itu!" Rachel mencoba melepaskan diri dari cekalan Septian. "Ayolah, Rachel! Lupakan saja masalah Dita. Aku pun akan melupakan masalah Ryan. Aku janji, tidak akan menyakitimu lagi. Kembalilah. Aku masih sangat mencintaimu." Raut wajah Septian begitu memelas. Sesaat Rachel menatap mata pria yang masih bertahta di hatinya. Namun, ia langsung berpaling. Entah mengapa, pengkhianatan yang Septian lakukan terus membayanginya. Apalagi, pria itu juga sudah memfitnahnya di pengadilan. "Tidak! Aku tidak akan bisa memaafkanmu!" tegas Rachel tanpa menatap Septian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN