Zavian langsung berdiri dengan amarah yang meluap-luap.
"Kurang ajar! Dasar cowok nggak tahu terima kasih. Kalau aku ketemu sama dia, aku hajar dia.” Zavian menoleh pada Maurel yang kaget. “Udah! kamu jangan nangis lagi. Ada aku di sini. Aku akan hibur kamu, biar kamu lupain dia. Dia emang nggak pantes dapatin cinta dari kamu," ujar Zavian penuh emosi.
Tingkahnya sungguh lucu, Maurel pun tak bisa menahan tawa.
Zavian menoleh pada Maurel dan dia merasa heran saat perempuan itu tertawa kecil. Dia merasa melakukan hal yang benar dan biasa, tapi kenapa Maurel tertawa?
"Kenapa kamu ketawa? Emang ada yang lucu?" Zavian tidak sadar kalau tingkahnya begitu lucu, seperti seorang ayah pada anaknya. Yang tidak terima anaknya disakiti.
"Kamu lucu. Kamu kan nggak kenal sama dia, kenapa kamu marah banget sama dia?" seru Maurel.
"Iyalah marah. Aku paling nggak suka lihat cowok mainin perasaan cewek. Walaupun aku bukan cowok baik-baik, tapi aku nggak akan pernah mainin perasaan cewek," geram Zavian mengingat tunangan Maurel yang tega pergi meninggalkan Maurel.
Maurel tersentuh. Setelah sekian lama dia kesepian dan tak ada yang perhatian padanya, kini ada juga orang yang memberinya perhatian. Sesuatu yang dia dambakan sejak dulu dan itu sukses membuatnya bahagia.
Ada perasaan aneh di hatinya, yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Itu semua karena dia sudah lama sendiri dalam menghadapi masalah hidup. Ketika ada seseorang memberikan perhatian, dia pun langsung terbawa perasaan.
"Oh, iya. Besok ada acara nggak?" tanya Zavian lagi.
Maurel terdiam sambil mengingat acara untuk besok. "Enggak ada."
"Gimana kalau kita jalan-jalan? Dengan jalan-jalan, kita bisa senang-seneng dan lupain semua masalah kamu. Jangan pikirin dia terus, dia itu nggak penting buat dipikirin," girangnya Zavian. "Hidup ini sangat singkat, Maurel. Jangan kamu sia-siakan umurmu demi seseorang nggak penting kayak dia," tambah Zavian lagi memberi nasihat.
Maurel semakin dibuat tercengang oleh Zavian. Sudah lama tidak ada yang mengajaknya jalan-jalan. Dia selalu menutup diri setelah ditinggalkan tunangannya. Sekian lama hal itu terjadi, lelaki yang baru dia kenal justru mengajaknya jalan-jalan. Apa dia harus menerimanya?
“Aku harap kamu nggak nolak. Anggap aja ini sebagai bentuk pertanggungjawabanku padamu,” tambah Zavian lagi.
Pertanggungjawaban? Maurel semakin terkejut mendengar hal itu. Baginya kata-kata itu sangat berarti, karena orang yang dia cintai pun tidak bertanggungjawab padanya. Dia hanya memberikan luka yang dalam setelah semua cinta dia berikan.
Maurel tersenyum dan dia pun menyetujui.
“Ya, udah. Besok aku jemput kamu, ya? Aku mau pulang dulu, udah malem.”
***
Zavian dan Maurel sudah berada di sebuah wahana permainan terbesar di kota tersebut.
“Kamu mau naik apa? Yang menguji adrenalin atau yang biasa aja?” tanya Zavian saat mereka baru saja memasuki pintu masuk.
Maurel menatap tempat itu dengan sedih. Dulu dia sering ke sini bersama kedua orang tuanya. Dia pun merasa rindu dengan mereka. Tak terasa air matanya menetes, mengutarakan kerinduan yang begitu dalam.
“Dulu ... mama sama papa sering ajak aku ke sini. Sekarang mereka udah nggak ada. Aku rindu sama mereka,” ratap Maurel penuh rasa kangen.
“Kamu jangan sedih terus. Kalau mereka lihat kamu kayak gini, pasti mereka juga ikut sedih. Mereka bisa lihat kamu dari sana, lho. Sama seperti kedua orang tuaku,” ujar Zavian.
Dia tahu bagaimana rasanya tersiksa rindu pada seseorang yang tak bisa lagi ditemui. Dia pun merasakan hal yang sama saat dia ingin bertemu dengan kedua orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
Maurel menatap Zavian penuh tanda tanya. “Maksud kamu?”
“Kedua orang tuaku juga udah lama meninggal dan aku dibesarkan oleh kakek dan nenek. Kakek juga sekarang udah meninggal dan aku hanya bersama nenek. Kata nenek, orang yang udah mati masih bisa lihat kita dan ikut merasakan pula kesedihan yang kita rasakan. Jadi ... aku nggak pernah sedih lagi kalau lagi inget mereka,” sambung Zavian lagi.
“Terus apa ... yang kamu lakuin kalau lagi kangen dan inget mereka?” Maurel penasaran.
“Aku datang ke makam mereka dan berdoa untuk mereka. Aku ceritakan apa yang aku rasakan dan kamu tahu apa yang terjadi setelah itu?”
Maurel menggeleng tidak tahu.
“Aku merasa jauh lebih tenang. Aku merasa mereka masih ada dan selalu ada di setiap aku butuh mereka.”
Kata-kata Zavian membuatnya kaget. Dia tidak menyangka kalau mereka punya nasib yang sama. Maurel pun merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan Zavian, walaupun mereka dipertemukan dengan cara yang tidak diinginkan.
“Udah, jangan sedih mulu. Lebih baik sekarang kita senang-senang. Ayo naik itu,” tunjuk Zavian pada salah satu wahana permainan yang menyenangkan.
Maurel pun mengangguk dan menaiki itu bersama Zavian. Entah kenapa dia merasa jauh lebih senang menaiki wahana itu bersama Zavian, padahal saat dia naik itu dengan kedua orang tuanya, tidak seperti ini.
Perempuan cantik itu pun perlahan melupakan masalah-masalahnya. Tak lagi merasa sedih dan kecewa, kini giliran Maurel yang mengajak Zavian menaiki wahana yang lain.
Tak hanya satu, hampir seluruh wahana di sana mereka naiki hingga mereka pun merasa capek.
“Kamu capek, ya? Tunggu di sini sebentar, ya?”
Zavian menyuruh Maurel duduk di salah satu kursi restoran, sedangkan dia pergi untuk memesan minuman dan beberapa camilan.
Tak lama kemudian, dia pun datang membawa makanan dan minuman.
“Ini minum dulu. Ada camilan juga. Enak-enak, lho.”
Jantung Maurel berdetak kencang. Tidak biasanya dia merasakan hal ini. Dia merasa melayang diperlakukan seperti itu oleh Zavian. Seakan dia adalah wanita istimewa bagi lelaki lajang tersebut.
Maurel menjadi salah tingkah dan dengan malu-malu meminum dan memakan camilan tersebut.
***
Setelah menghabiskan waktu dengan menaiki wahana permainan, keesokan malamnya Zavian mengajak Maurel makan malam.
Hati Maurel yang dulu terluka, perlahan sembuh. Dia pun mulai melupakan semua yang terjadi padanya. Semua itu berkat Zavian yang selalu menghibur dan menemaninya.
Sekarang Maurel merasa menjadi manusia yang baru. Tak ada lagi masalah, tak ada lagi penderitaan. Yang ada rasa bahagia yang dibawa oleh Zavian padanya.
Di depan cermin, Maurel memagut wajahnya yang sedang disapu oleh kuas makeup. Dia terus tersenyum membayangkan perlakuan Zavian yang begitu manis kemarin.
Dia merasa malu sendiri ketika mengingat gugupnya dia di depan Zavian. Zavian mengusap bibirnya yang kotor akibat makan berantakan.
“Ih, kok, aku kayak gini, sih? Senyum-senyum sendiri kayak orang gila,” rutuk Maurel malu danjuga kesal pada diri sendiri.
Dia pun tidak tahu kenapa dia merasakan hal itu. Apa semua ini karena dia sudah mulai suka pada Zavian?
Belum terjawab pertanyaan Maurel, terdengar sebuah bel dari luar. “Itu pasti Zavian. Kok, cepet banget, sih, datangnya? Kan aku belum selesai dandan. Masih jelek kan ini,” gerutu Maurel.
Dia takut terlihat jelek di mata Zavian. Dia ingin tampil cantik dan memukai di depan lelaki itu.
Dia pun segera memperbaiki penampilannya. Setelah hampir setengah jam, Maurel baru merasa puas dengan penampilannya. Dia pun berjalan dan membuka pintu.
Zavian bengong melihat Maurel yang berdandan sangat cantik. Sangat berbeda dengan penampilannya kemarin. Dia pun tidak berhenti tersenyum. Mengagumi kecantikan perempuan itu.
“Kamu cantik banget malam ini,” puji Zavian.
Maurel tersenyum malu dan pipinya pun mendadak memerah karena senang.
“Ayo jalan?” Zavian menyodorkan tangan untuk digandeng.
Maurel gugup dan tidak yakin untuk menggandeng tangan Zavian.