I Love You, Baby.

1233 Kata
"bersiaplah untuk menjadi istriku, Magika," ujar Juan dengan suara penuh keyakinan. Ia menatap layar ponselnya sejenak, memikirkan rencananya yang sudah hampir tercapai. Namun, sebelum ia bisa larut lebih jauh dalam pikirannya, terdengar suara ketukan pintu yang memecah keheningan ruangan. Juan langsung tersadar dan dengan cepat menjawab, "Masuk!" Pintu ruangan itu terbuka perlahan, dan seorang wanita masuk dengan langkah anggun. Wanita itu tampak percaya diri, membawa sebuah tablet di tangannya. Wajahnya cantik, dengan rambut hitam yang berpadu dengan warna coklat tua, terurai dengan indah. Ia mengenakan setelan blazer hitam yang dipadukan dengan rok pendek, serta sepatu berhak tinggi yang memberikan kesan elegan pada penampilannya. Wanita itu melangkah mantap menuju meja Juan, di mana ia berhenti tepat di dekatnya. Juan memandangnya dengan senyum tipis, "Ada apa, Nadia?" tanyanya dengan suara lembut, namun tetap tegas. Nadia adalah sekretaris pribadi Juan. Ia berhenti sejenak di samping meja, lalu mulai menjelaskan jadwal Juan hari itu dengan tenang dan profesional. “Saya akan menyampaikan schedule Anda hari ini, Tuan.” Setiap kata yang diucapkannya terdengar jelas dan penuh perhatian, seolah ia sudah menghafal dengan sempurna semua rincian pekerjaan Juan. Juan memperhatikan Nadia dengan seksama, mendengarkan setiap detail yang disampaikannya tanpa mengalihkan pandangannya. Sesekali ia mengangguk atau memberikan respon singkat, tetapi matanya tidak pernah lepas dari Nadia. Nadia merasa salah tingkah ketika mendapati Juan terus memandangnya seperti itu. Meski ini bukan kali pertama, setiap kali tatapan intens Juan mengarah padanya, ia selalu merasa gugup. Jantungnya berdetak lebih cepat, dan pipinya terasa memanas. Selama tiga tahun menjadi sekretarisnya, Nadia berusaha menjaga profesionalisme, namun pandangan Juan dalam setahun terakhir membuat pikirannya berlarian ke berbagai arah. "Apakah dia menyukaiku?" pikir Nadia, mencoba menepis kemungkinan itu. Tapi setiap kali tatapan itu muncul, keyakinannya goyah. Setelah selesai menyebutkan seluruh jadwal Juan, Nadia mencoba menguasai dirinya dan bertanya, "Hanya itu schedule Anda, Tuan. Apa ada pekerjaan lain yang harus saya kerjakan segera?" Juan menatapnya sebentar, kemudian menjawab dengan tenang, "Persiapkan saja materi saya untuk rapat nanti siang." "Baik," jawab Nadia, sedikit menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Dengan langkah cepat, Nadia keluar dari ruangan Juan, mencoba meredakan perasaannya. Setelah pintu tertutup, ia bersandar sejenak di dinding luar, menghela nafas panjang. "Kenapa aku jadi seperti ini? Aku harus fokus," gumamnya pada diri sendiri, sebelum berjalan menuju mejanya untuk mulai mempersiapkan materi rapat. Nadia duduk di mejanya, jari-jarinya mengetuk perlahan permukaan meja sembari pandangannya menerawang. Ia membayangkan wajah tampan Juan, ekspresi tegas yang selalu menghiasi wajahnya, dan tatapan mata yang sering kali membuatnya salah tingkah. "Tuan Juan itu sudah sangat matang," gumam Nadia pelan, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Tapi setahuku dia belum pernah menikah. Apa dia menyiapkan sesuatu untukku?" Pikirannya melayang ke berbagai momen kecil saat Juan menatapnya dengan penuh minat—tatapan yang ia yakini bukan sekadar perhatian biasa antara atasan dan sekretaris. "Dia pasti ada rasa padaku," Nadia membatin, penuh percaya diri. Ia menghela napas panjang, memantapkan hatinya. "Kalau benar dia memang punya niat, aku siap. Aku akan menunggu." Senyum percaya diri kembali muncul di wajahnya, dan ia mulai mengetik dokumen persiapan rapat dengan lebih semangat, membayangkan masa depan yang mungkin saja ada antara dirinya dan Juan. Di dalam ruangannya yang luas dan mewah, Juan duduk bersandar di kursi kulit hitamnya. Jari-jarinya mengetuk pelan meja kayu mahoni sambil memikirkan sesuatu. Pandangannya menerawang keluar jendela besar yang memberikan pemandangan kota yang sibuk. “Nadia itu cantik dan seksi,” gumamnya pelan, suara beratnya memenuhi ruangan. “Tapi barusan, aku mencoba menatapnya lagi... entah kenapa, nggak ada rasa ‘klik’ di hatiku.” Juan menghela nafas panjang, memijat pelipisnya sejenak. Pikirannya kemudian beralih pada sosok lain yang akhir-akhir ini memenuhi benaknya. “Kenapa malah aku sukanya sama Magika? Ah, entahlah.” Ia tersenyum kecil, membayangkan wajah ceria Magika yang polos namun memikat. “Mungkin Magika akan membawa hoki untukku. Dia sangat menarik.” Juan mengusap dagunya yang tegas, pikirannya terus bermain dengan bayangan Magika. Ada sesuatu tentang gadis itu yang membuatnya merasa berbeda, sesuatu yang tidak ia temukan dalam hubungan profesionalnya dengan wanita manapun, termasuk Nadia. “Aku harus memastikan dia jadi milikku,” ujarnya akhirnya, dengan nada penuh tekad. Di meja kerjanya yang sederhana namun rapi, Magika terlihat sibuk memeriksa dokumen dan mengetik di laptopnya. Ia membaca setiap detail dengan saksama, memastikan tidak ada kesalahan. Dalam hatinya, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik. "Aku nggak mau mengecewakan Kak Terama," gumamnya pelan sambil mengetik cepat. Namun, ketika jarum jam di dinding ruangan menunjukkan pukul sepuluh, perutnya mulai memberontak. Magika berhenti sejenak, mengusap perutnya, dan berkata pelan, "Duh, aku lapar lagi." Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan memandang langit-langit sambil berpikir, "Kayaknya makan pisang keju coklat enak banget sekarang." Bayangan pisang keju yang hangat dengan coklat yang meleleh membuatnya semakin lapar. Tapi kemudian Magika menggeleng cepat, mengembalikan fokusnya. "Ah, tapi aku harus nunggu waktu istirahat," ujarnya tegas, mencoba melawan godaan. Ia kembali menatap layar laptopnya, bertekad menyelesaikan tugas-tugas sebelum waktu makan siang tiba. "Semangat, Magika! Demi kerjaan yang bagus dan Kak Terama," ucapnya dalam hati sambil kembali mengetik. Di ruangannya yang sederhana namun nyaman, Magika tengah sibuk menyusun jadwal tugas Terama untuk seminggu ke depan. Ia menatap layar laptop dengan fokus, jari-jarinya mengetik cepat sambil sesekali mencoret-coret agenda di notepad kecil di sebelahnya. Ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah sebelas, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Magika berdiri dan berjalan ke pintu. Saat ia membuka pintu, seorang OB berdiri di sana dengan senyum ramah. "Maaf, Nona Magika, ini untuk Anda," ucap OB sambil menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna coklat. Magika mengernyit bingung. "Untuk saya? Dari siapa?" tanyanya, masih memegang gagang pintu. OB mengangguk sambil menjawab, "Iya, Nona. Snack untuk Anda. Saya hanya diminta mengantarkan." Magika tersenyum dan berkata, "Oh, baik. Terima kasih, ya." Ia menutup pintu perlahan, lalu berjalan kembali ke mejanya dengan kotak di tangan. Duduk di kursinya, rasa penasaran Magika memuncak. Ia membuka kotak itu perlahan, dan matanya langsung berbinar melihat isi di dalamnya. "Pisang coklat keju!" serunya pelan, mulutnya menganga. Ia memandangi snack itu sejenak sebelum refleks menatap ke sudut-sudut ruangan, mencari kemungkinan adanya kamera tersembunyi. "Apa ini dari Kak Terama? Dia tahu aku lagi pengen ini? Pasti dia pasang CCTV atau alat perekam disini," bisiknya dengan penuh semangat. Magika tersenyum lebar, menutup kotak itu dengan hati-hati. "Ah, Kak Terama, romantis banget sih!" gumamnya sambil memegang kotak snack itu dengan dua tangan, merasa sangat spesial. Ia langsung bersemangat untuk kembali bekerja, dengan senyuman tak henti-henti menghiasi wajahnya. Di ruangannya yang megah dan elegan, Juan duduk bersandar di kursinya dengan santai. Sebuah senyuman kecil tersungging di wajahnya, penuh dengan rasa puas. Matanya tertuju pada layar ponsel di tangannya, memperlihatkan rekaman CCTV dari ruangan Magika. Di layar, Magika tampak tersenyum lebar sambil menikmati pisang coklat keju. Gerak-geriknya begitu natural dan ceria, membuat Juan terpaku sejenak. Ia mengamati setiap ekspresi wajah Magika dengan intens. "Biarlah Magika berpikir itu dari Terama," gumam Juan pelan, senyumnya semakin lebar. "Dia kan belum mengenalku. Tapi nanti, aku yang akan memilikimu seutuhnya, sayang." Juan mengetukkan jarinya pelan di meja kerjanya, tatapannya tak lepas dari layar. Magika terlihat sangat menikmati snack yang ia kirimkan secara diam-diam. "I love you, baby," ucap Juan pelan, suaranya dipenuhi keyakinan. "Kamu belum tahu aku, tapi aku sudah tahu segalanya tentangmu. Dan aku pastikan, tak lama lagi kamu akan jadi milikku." Senyumnya berubah menjadi seringai tipis. Ia mematikan ponselnya, tapi bayangan Magika masih terpatri jelas di pikirannya. Dengan hati penuh keyakinan, Juan bersiap melangkah lebih jauh untuk memenangkan hati gadis yang kini menjadi obsesinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN