Setelah panggilan telepon dengan Jessie berakhir, Magika mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Pandangannya langsung tertuju pada foto Terama yang diam-diam ia ambil saat mereka di kafe.
Sambil tersenyum penuh harapan, Magika berbisik sangat pelan, seolah takut mimpinya akan pudar jika terdengar lebih keras. "Ah, calon imamku," ucapnya sambil membelai layar ponsel.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar. Sebuah pesan masuk dari kontak bernama "Kak Terama." Mata Magika membulat penuh antusiasme, dan senyum lebarnya merekah tanpa bisa ia tahan. "Ya ampun, dia kirim pesan!" gumamnya penuh semangat.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering, menampilkan nama yang sama. Magika langsung menerima panggilan itu dengan hati yang berdebar kencang.
"Halo, Kak!" ucap Magika ceria, tak mampu menyembunyikan nada bahagianya.
Di seberang sana, suara Terama terdengar tenang dan tegas. "Halo, Magika. Nanti hari Senin, kamu langsung pakai pakaian kantor saja, ya. Tidak perlu baju hitam putih."
"Oh, baik, Kak. Aku siap!" jawab Magika penuh semangat.
Terama melanjutkan, "Kamu harus datang lebih pagi. Jam tujuh sudah ada di kantor, dan langsung ke ruangan saya di lantai dua. Jangan sampai terlambat, ya."
Magika mencatat semuanya dalam ingatannya. "Siap, Kak Terama. Terima kasih sudah memberitahu," ucapnya dengan nada lembut.
Setelah memberikan instruksi tambahan yang singkat, panggilan pun berakhir. Magika menatap layar ponselnya yang kini gelap, tetapi hatinya penuh dengan kebahagiaan. Ia meletakkan ponsel di sampingnya, lalu berguling di tempat tidur sambil memeluk bantal.
"Aku sudah nggak sabar nunggu hari Senin," gumamnya penuh semangat. Ia lalu duduk tegak lagi dan berkata pada dirinya sendiri, "Oke, aku akan lebih sering bertemu Kak Terama. Aku harus bisa menggaet hatinya. Aaa... aku yakin ini jalanku. Aku kan jagonya bikin orang jatuh cinta sama aku!"
Magika tersenyum penuh percaya diri, membayangkan masa depannya yang penuh harapan bersama Terama. Bagi Magika, hari Senin akan menjadi awal dari perjalanan baru yang sangat ia nantikan.
Dan dua hari kemudian, akhirnya hari senin tiba, Magika sudah siap dengan pakaian kerjanya. Ia mengenakan kemeja biru muda berlengan panjang dipadukan dengan celana bahan warna navy. Meski tubuhnya kurang tinggi, Magika pandai memadu padankan warna dan model pakaian, sehingga penampilannya terlihat lebih jenjang dan modis. Sepatu loafers yang serasi melengkapi gayanya, membuatnya tampak penuh percaya diri.
Setelah mematut diri di cermin untuk memastikan semuanya sempurna, Magika melangkah ke dapur. Di sana, aroma sayur bening yang baru matang menyeruak. Ibunya sedang menyusun tempe goreng dan telur ceplok di atas meja makan.
"Bu, sudah matang semua?" tanya Magika sambil tersenyum.
Ibunya menoleh, dan matanya membulat kaget melihat penampilan putrinya. "Magi? Kamu mau ke mana? Sudah rapi sekali?"
Magika tersenyum lebar dan menjelaskan dengan penuh semangat, "Mulai hari ini, aku kerja, Bu! Aku dapat pekerjaan di perusahaan milik kakaknya Kak Terama. Kak Terama kakak kelasku yang dua hari yang lalu jalan sama aku. Doakan aku ya, semoga semuanya lancar."
Wajah ibunya langsung berubah penuh kebahagiaan dan rasa bangga. "Tentu saja, Magi. Semoga kamu betah dan nyaman di tempat kerjamu. Kamu pasti bisa!"
Magika mengangguk, senyumnya semakin lebar. "Makasih, Bu."
Keduanya kemudian duduk bersama di meja makan untuk sarapan. Sayur bening, tempe goreng, dan telur ceplok sederhana itu terasa istimewa pagi ini karena diiringi suasana penuh suka cita. Magika makan dengan lahap, membayangkan awal yang baru di tempat kerjanya. Sesekali ibunya memandangnya dengan senyum haru, merasa bangga karena putri semata wayangnya kini mulai melangkah ke dunia kerja.
Setelah selesai sarapan, Magika mencium tangan ibunya sebelum berangkat. "Aku berangkat dulu, Bu."
"Berhati-hati di jalan ya, Magi. Semoga harimu menyenangkan," jawab ibunya sambil tersenyum tulus.
Magika melangkah keluar rumah dengan hati yang berdebar-debar, siap menjalani hari pertamanya di kantor dan bertemu dengan Terama.
Pukul enam lebih empat puluh lima menit, Magika turun dari angkutan umum dengan semangat. Di hadapannya berdiri sebuah gedung megah dengan tujuh lantai yang ia hitung satu per satu. Ia mendongak, memperhatikan logo besar di bagian atas gedung yang bertuliskan "Lazardi Company."
Magika bergumam pelan, "Jadi ini Lazardi Company. Besar juga perusahaan milik kakaknya Kak Terama ini." Ia terdiam sejenak, membayangkan sesuatu, lalu tersenyum sendiri. "Pasti orangnya sudah tua dan punya keluarga bahagia.”
“Hai Kak, aku akan jadi adik iparmu." Senyumnya semakin lebar di ujung kalimat itu. Membayangkan ia akan berhasil jadi istri Terama.
Tak ingin terlambat, Magika melangkah masuk ke dalam gedung. Pintu kaca otomatis terbuka, menyambutnya dengan suasana profesional yang terasa di udara. Lobby gedung itu luas dan modern, dihiasi lampu gantung kristal yang elegan. Beberapa karyawan sudah mulai berdatangan. Mereka mengenakan pakaian yang sangat modis dan rapi, dengan langkah kaki yang cepat, penuh energi. Tidak ada yang terlihat berjalan santai atau lemas.
Magika memperhatikan mereka dengan cermat, mencoba meniru gaya berjalan yang tampak percaya diri itu. Ia menegakkan bahunya, mempercepat langkahnya, dan sedikit mengangkat dagunya. Dalam hati ia berkata, "Aku harus terlihat seperti mereka. Profesional dan penuh semangat."
Setelah beberapa langkah, Magika berhenti sejenak, berdiri di tengah lobby, dan menatap sekeliling. Senyum tipis muncul di wajahnya. "Aku siap mulai kerja hari ini," katanya penuh keyakinan. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju lift untuk menuju lantai dua, tempat Terama menunggu.
Setibanya di lantai dua, Magika melangkah dengan penuh antusias. Matanya mencari-cari plakat nama atau petunjuk lain yang menunjukkan dimana ruangan Terama berada. Setelah berjalan beberapa langkah, tiba-tiba sebuah pintu terbuka, dan di sana berdiri Terama dengan senyum ramah.
"Hai, Magika! Kemarilah, ini ruanganku," ujar Terama, melambaikan tangannya.
Magika dengan cepat melangkah mendekat, merasa sedikit gugup tapi juga bersemangat. Ia masuk ke ruangan itu, dan matanya langsung menyapu seluruh isi ruangan. Ruang kerja Terama cukup luas, dengan meja kerja modern di tengah, rak buku yang tertata rapi di sisi kanan, serta sofa kecil di pojok untuk menerima tamu. Di atas meja kerjanya terdapat laptop, beberapa dokumen, dan sebuah kalender jadwal yang terlihat padat.
"Silahkan duduk," kata Terama sambil menunjuk kursi di depan mejanya.
Magika duduk dengan hati-hati, lalu memperhatikan Terama yang mengambil posisi di kursi kerjanya. "Jadi, Magika, kamu bekerja sebagai asisten pribadiku. Ya, bisa dibilang sekretaris pribadi," ujar Terama sambil menatapnya.
"Tugas utamamu adalah memastikan jadwal pekerjaanku berjalan lancar, mengingatkan agenda, dan membantu jika ada pekerjaan tambahan. Intinya, aku butuh seseorang yang bisa menjaga semua tetap terorganisir," lanjutnya.
Magika tersenyum lebar mendengar penjelasan itu. Dalam hatinya, ia senang karena ini berarti ia akan sering berada di dekat Terama. "Baik, Kak. Saya siap," jawab Magika dengan nada penuh semangat.
"Bagus. Kalau begitu, nanti aku akan kasih rincian jadwalnya. Hari ini, kita akan mulai pelan-pelan dulu supaya kamu bisa menyesuaikan," kata Terama sambil tersenyum.
Magika mengangguk dengan antusias. "Baik, Kak. Saya akan belajar dengan cepat!"
Terama tersenyum puas. "Itu semangat yang aku cari. Oke, kalau begitu, mari kita mulai."
Di ruangan CEO Lazardi Company yang megah dan berkelas, Juan duduk di kursi kerjanya yang besar, dengan laptop terbuka di depannya. Namun, perhatiannya tidak tertuju pada layar laptop, melainkan pada layar ponselnya. Senyum tipis muncul di wajahnya, penuh dengan rasa puas.
Di layar ponsel Juan, tampak suasana dari ruangan Terama. Ia memperhatikan Magika yang terlihat berbicara penuh semangat dengan Terama. Juan menyimak setiap gerak-gerik Magika, dari senyumnya yang ceria hingga tatapan antusiasnya.
"Magika," gumam Juan pelan sambil mengetukkan jarinya di meja. "Aku pastikan kamu akan jadi milikku. Secepatnya."
Senyumnya semakin melebar, dipenuhi keyakinan yang tak tergoyahkan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dan kembali menatap layar ponselnya. Dalam benaknya, langkah-langkah untuk membawa Magika ke dalam kehidupannya sudah mulai terbentuk dengan jelas.
“Bersiaplah untuk jadi istriku,” ucapnya percaya diri.
Setelah mengatakan itu, tiba-tiba Juan mendengar sebuah ketukan pintu.