Rania mengernyit, bingung. "Loh, kenapa bukan kakakmu yang datang langsung? Bukannya dia yang mau melamar?"
Terama tampak sedikit gugup. "Kakak saya sedang sibuk, Bu. Dia benar-benar tidak bisa meninggalkan pekerjaannya sekarang."
Namun sebelum Rania sempat menjawab, Handoko langsung angkat suara, suaranya tegas dan penuh otoritas. "Kalau dia serius ingin melamar Magika, dia sendiri yang harus datang. Saya ayah Magika, dan saya tidak akan menerima lamaran siapapun kalau yang bersangkutan tidak menunjukkan keseriusannya dengan hadir di sini."
Terama tertegun, wajahnya memucat. Ia menelan ludah dan berusaha tetap tenang. Namun, jelas ia tidak menyangka situasi akan seperti ini.
"Baik, Om," akhirnya Terama berkata. "Saya akan hubungi kakak saya sekarang."
Terama segera berdiri dan keluar dari rumah, berjalan ke tempat yang lebih sepi untuk menelepon Juan. Dengan nada cemas, ia menjelaskan situasinya.
"Kak, aku nggak bisa melanjutkan ini sendiri. Ayahnya Magika bilang kalau kamu nggak datang, mereka nggak akan menerima lamaran ini."
Di ujung telepon, Juan terdengar menghela napas. "Baiklah, Rama. Tunggu di sana. Aku akan segera ke rumah mereka."
Setelah menutup telepon, Terama kembali masuk ke rumah dengan wajah sedikit lega. "Kakak saya sedang dalam perjalanan, Om, Bu," katanya dengan sopan.
Handoko mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa lagi, sementara Rania hanya bisa memperhatikan semuanya dengan tatapan penuh kebingungan dan rasa penasaran.
Di ruang tamu yang tenang, Rania akhirnya membuka suara setelah memandang Terama dengan ragu. "Terama, sebenarnya Magika sedang tidak ada di rumah. Dia pergi ke restoran sahabatnya sejak pagi tadi."
Terama tersenyum ramah. "Tidak apa-apa, Tante. Saya yakin Magika pasti akan mengikuti keputusan Om dan Tante sebagai orang tuanya."
Rania mengangguk perlahan, tetapi tatapannya masih penuh tanda tanya. Handoko yang duduk di sampingnya akhirnya angkat bicara, "Oh iya, kenapa lamarannya terkesan mendadak, ya? Apa ini memang sengaja begitu?"
Terama menyesuaikan duduknya, memperlihatkan sikap tenang dan bijaksana. "Sebenarnya, Om, ini tidak mendadak juga. Kakak saya, Juan, sudah lama tertarik pada Magika. Dari pertama kali bertemu, dia sudah merasa Magika adalah sosok yang spesial. Selama ini, kakak saya selalu berusaha mendekati Magika dengan cara yang baik."
Rania dan Handoko mendengarkan dengan serius. Terama melanjutkan dengan nada meyakinkan, "Bahkan, Om dan Tante pasti tahu, Magika bekerja di perusahaan milik kakak saya. Kakak saya sengaja memberikan kesempatan itu agar bisa mengenal Magika lebih dekat. Bukan hanya sekedar rekan kerja, tetapi juga untuk melihat Magika dari sisi kepribadiannya yang luar biasa."
Handoko mengangguk perlahan, mulai terkesan dengan penjelasan Terama. Rania, meski masih tampak berpikir, menunjukkan ketertarikan untuk mendengar lebih banyak.
"Selain itu," lanjut Terama, "kakak saya sering memberikan apa yang Magika butuhkan. Meski mungkin tidak langsung terlihat, kakak saya selalu memastikan Magika nyaman di tempat kerja, bahkan memberikan perhatian lebih pada kebutuhan kecil sekalipun."
Terama berhenti sejenak untuk melihat reaksi mereka sebelum menambahkan, "Kakak saya benar-benar ingin menunjukkan keseriusannya. Dia merasa Magika adalah wanita yang tepat untuk mendampingi hidupnya. Maka dari itu, saya ada di sini untuk mewakili niat baiknya dan berharap Om dan Tante bisa mempertimbangkan lamaran ini."
Rania akhirnya menghela napas, tampak mulai menerima penjelasan Terama. Handoko, yang semula bersikap skeptis, kini terlihat lebih lunak. "Baiklah," kata Handoko. "Kalau memang seperti itu, kita lihat saja nanti bagaimana pembicaraannya dengan kakakmu. Tapi Magika harus tetap punya pilihan, ya."
"Tentu, Om," jawab Terama cepat. "Kakak saya hanya ingin memastikan Magika tahu betapa seriusnya dia. Segala keputusan tetap ada di tangan Magika."
Suasana pun menjadi lebih cair, dengan Rania dan Handoko mulai merasa yakin bahwa niat Juan memang tulus.
Di waktu yang sama di restoran milik orang tua Jessie, suasana meriah dengan banyak tamu yang datang untuk grand opening. Magika duduk di meja bersama Jessie, menikmati hidangan yang disajikan sambil berbincang santai.
Tiba-tiba, seorang wanita dengan pakaian seksi dan mencolok menghampiri meja mereka. Wanita itu adalah Nadia, sekretaris Juan. "Jes, mana Tante?" tanya Nadia dengan nada santai, matanya melirik ke arah Magika sesaat sebelum kembali menatap Jessie.
Jessie, yang sudah terbiasa dengan gaya Nadia, menjawab singkat, "Di lantai dua, Kak. Lagi menemani tamu VIP."
Nadia mengangguk, lalu dengan senyuman yang penuh percaya diri berkata, "Oke, aku ikut gabung ya. Soalnya kekasih hatiku belum datang, nih."
Magika terdiam sejenak, merasa wajah Nadia sangat familiar. Dia mengamati Nadia dengan lebih seksama, mencoba mengingat dimana dia pernah melihatnya. Hingga akhirnya, sebuah memori melintas di benaknya—Nadia adalah wanita yang pernah dilihatnya di restoran Jepang dekat kantornya. Saat itu, Magika tidak terlalu memperhatikan, tetapi gaya pakaian dan sikapnya yang mencolok kini membuatnya yakin bahwa Nadia adalah wanita yang sama.
Sementara itu, Jessie hanya tersenyum kecil pada Nadia. "Boleh, Kak. Silakan duduk," ucapnya sambil menunjuk kursi kosong di meja.
Nadia langsung duduk tanpa ragu, menyilangkan kakinya dengan gaya elegan. "Grand opening-nya ramai banget, ya. Tante pasti senang," katanya sambil mengambil menu di meja.
Magika dan Nadia pun berkenalan. Nadia dikenalkan oleh Jessie adalah sepupunya.
Magika berusaha tetap tenang, tetapi pikirannya mulai bertanya-tanya kenapa Nadia terlihat begitu santai dan percaya diri. Dia juga sedikit penasaran tentang siapa "kekasih hati" yang dimaksud Nadia, tetapi memilih untuk tidak berkomentar. Jessie, yang menyadari kebisuan Magika, menyenggol lengannya pelan. "Magi, kamu kenapa? Kok tiba-tiba diam?"
"Enggak, aku cuma merasa pernah lihat Kak Nadia sebelumnya," jawab Magika dengan senyuman kecil.
Nadia, yang mendengar ucapan itu, tersenyum penuh arti. "Oh, ya? Mungkin di kantor. Aku sekretaris di perusahaan besar, jadi sering ketemu orang baru," katanya dengan nada tinggi, mencoba meninggalkan kesan.
Magika hanya tersenyum tipis dan mengangguk, memilih untuk tidak memperpanjang pembicaraan. Dia memutuskan untuk fokus menikmati suasana restoran, meski kini perhatiannya sedikit teralihkan oleh kehadiran Nadia yang cantik dan juga seksi.
Di tengah riuhnya suasana restoran, ponsel Magika yang tergeletak di atas meja tiba-tiba bergetar. Ia melirik layar dan melihat nama ibunya, Rania, muncul. Dengan cepat, Magika mengambil ponselnya dan menjawab panggilan itu.
"Halo, Bu?" katanya, mencoba mendengar dengan jelas meskipun suara orang-orang di restoran cukup ramai.
Dari seberang telepon, suara Rania terdengar agak samar. "Magika, ini ada Terama ke sini. Dia melamarmu atas nama kakaknya. Apa kamu mau menerimanya?"
Namun, suara riuh di sekitar Magika mengaburkan bagian "atas nama kakaknya," sehingga Magika hanya mendengar bahwa Terama melamarnya. Matanya membesar, wajahnya memerah, dan ia langsung menjawab dengan nada penuh antusias. "Ibu serius?!"
Rania, yang tidak menyadari kebingungan Magika, menjawab, "Iya serius. Mana bisa ibu bercanda soal ini. Dia datang ke sini. Kamu mau terima nggak?"
Tanpa ragu, Magika langsung berkata, "Terima, Bu! Aku suka sama dia!"
Rania terdengar lega di telepon. "Baik, kalau begitu ibu sampaikan ke dia, ya."
Panggilan pun berakhir, dan Magika menatap ponselnya dengan senyum mengembang. Tangannya gemetar sedikit karena kegembiraan yang tak tertahan. Tanpa berpikir panjang, ia memegang tangan Jessie yang duduk di depannya.
"Jess! Aku dilamar Kak Terama!" katanya dengan nada setengah berteriak.
Jessie, yang sedang menyeruput minuman, hampir tersedak. "What?! Kak Terama?! Serius, Magi?!" tanyanya dengan wajah terkejut.
Magika mengangguk antusias. "Iya! Barusan ibu bilang, dia datang ke rumah melamarku!"
Jessie menatap Magika dengan tatapan bingung sekaligus tak percaya. "Kamu yakin nggak salah dengar, Magi? Kok rasanya mendadak banget?"
"Nggak mungkin salah dengar, Jess! Ibu sendiri yang bilang," balas Magika, wajahnya berseri-seri.
Jessie hanya menggeleng perlahan, mencoba mencerna kabar mengejutkan itu. "Ya ampun, Magi. Kalau ini beneran, kamu harus cerita detailnya nanti!"
Magika mengangguk penuh semangat, tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dibenaknya, ia sudah membayangkan masa depan bahagia bersama Terama, tanpa mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
Dan yang terjadi di ruang tamu rumah orang tua Magika, suasana terasa lebih serius dibandingkan biasanya. Juan tiba dengan penampilan yang sangat rapi, mengenakan kemeja formal berwarna biru tua yang dipadukan dengan jas hitam. Penampilannya benar-benar mencerminkan sosok pria matang dan berkelas. Dibandingkan Terama, Juan terlihat jauh lebih dewasa dan memancarkan kharisma yang sulit diabaikan.
Terama, menemani kakaknya, berdiri di samping Juan sambil berkata dengan sopan, "Om, Tante, ini kakak saya, Juan Danuarta Lazardi."
Juan tersenyum ramah, lalu menjabat tangan Handoko dan Rania secara bergantian. "Senang sekali bisa bertemu langsung dengan om dan tante," ucapnya dengan nada hangat.
Setelah dipersilakan duduk oleh Handoko, Juan segera mengambil posisi di sofa dengan penuh percaya diri. Ia menghela napas ringan sebelum mengutarakan niatnya.
"Om, Tante, saya kesini dengan satu tujuan yang sangat penting. Saya ingin mempersunting Magika menjadi istri saya," katanya dengan tegas. "Usia saya memang sudah tidak lagi muda, tiga puluh delapan tahun, dan saya rasa saya sudah sangat matang untuk membangun rumah tangga. Selama ini saya terlalu sibuk bekerja, terutama setelah almarhum ayah saya meninggal. Namun, setelah mengenal Magika, saya merasa ada yang berbeda."
Rania dan Handoko menyimak dengan penuh perhatian, sementara Juan melanjutkan, "Magika adalah pribadi yang menyenangkan, suaranya selalu memberi saya semangat, dan kehadirannya selalu membuat saya tenang. Saya ingin menjadikan dia pendamping hidup saya. Karena itu, saya ingin meminta izin om dan tante untuk menikahi putri kalian."
Handoko melirik ke arah Rania sejenak, memberi isyarat untuk berbicara lebih dulu. Rania berbisik pada Handoko, "Tadi aku memastikan ini. Dan Magika menerima lamarannya." Handoko pun mengangguk.
Handoko tak langsung menjawab, ia bertanya pada Juan, "Saya senang dengan lamaranmu dan penjelasanmu. Tapi ada satu hal yang harus saya tanyakan. Rentang usia kamu dan Magika cukup jauh. Magika masih muda, bahkan terkadang sikapnya masih kekanak-kanakan. Apa kamu yakin bisa menerimanya?"
Juan menatap Handoko dengan tegas namun penuh hormat. "Om, saya sudah tahu karakter dan kebiasaan Magika, dan saya suka dia apa adanya. Saya tidak hanya menerima kelebihannya, tapi juga kekurangannya. Jika saya diberi kesempatan, saya akan berusaha menjadi suami yang bisa membimbing dan mendampinginya dengan baik."
Rania dan Handoko saling berpandangan. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Handoko akhirnya tersenyum. "Baiklah, Juan. Lamaranmu kami terima."
Wajah Juan langsung berbinar, ia berdiri dan membungkukkan badan sedikit sebagai tanda hormat. "Terima kasih, Om, Tante. Saya berjanji akan menjaga Magika dengan sebaik-baiknya."
Rania dan Handoko mengangguk, terlihat lega sekaligus terkesan dengan kesungguhan Juan.
Setelah lamaran diterima, suasana di ruang tamu rumah Rania dan Handoko sedikit lebih santai. Juan, yang sebelumnya penuh dengan formalitas, kini duduk dengan sikap lebih rileks. Namun, ekspresi tegas di wajahnya menunjukkan bahwa ia masih memiliki sesuatu yang penting untuk disampaikan.
"Om, Tante, ada satu hal lagi yang ingin saya bicarakan," kata Juan tiba-tiba.
Rania dan Handoko langsung memperhatikan. "Saya ingin pernikahan kami dilangsungkan bulan depan."
Pernyataan itu membuat Rania terkejut. "Bulan depan?" serunya, setengah tak percaya. Handoko pun tampak mengernyitkan dahi. "Bukankah itu terlalu cepat, Juan? Kami harus mempersiapkan segalanya, termasuk biaya pesta."
Namun, Juan dengan tenang mengangkat tangannya sedikit, memberi isyarat agar mereka tidak khawatir. "Om, Tante, kalian tidak perlu repot memikirkan itu. Semua persiapan, mulai dari undangan hingga pesta pernikahan, akan saya tangani sepenuhnya."
Rania terlihat bingung sekaligus terkesan. "Tapi, apa ini tidak terlalu berlebihan, Juan?" tanyanya, sedikit khawatir.
Juan menatap Rania dengan senyum penuh keyakinan. "Tidak, Tante. Magika sangat berharga bagi saya, dan saya ingin memberikan yang terbaik untuk hari spesial kami. Selain itu, saya mampu menyediakan semuanya. Kalian hanya perlu hadir dan menikmati momen bahagia itu."
Handoko dan Rania saling berpandangan. Keduanya terlihat lega mendengar kesungguhan Juan. Rania akhirnya tersenyum, mengangguk pelan. "Kalau begitu, kami serahkan semuanya padamu, Juan."
Handoko menambahkan, "Terima kasih, Juan. Kami senang mengetahui Magika akan menikah dengan pria yang begitu menghargainya."
Juan tersenyum penuh syukur. "Terima kasih, Om, Tante. Saya tidak sabar untuk membuat Magika bahagia."
Setelah beberapa saat berbincang, Juan merasa ada hal yang perlu disampaikan lagi kepada Rania dan Handoko. Ia menundukkan sedikit kepalanya, menunjukkan rasa hormat, sebelum berkata dengan suara lembut namun penuh kesungguhan.
"Tante, Om, maafkan saya, saya harus meminta maaf terlebih dahulu. Mungkin nanti yang akan sering berkomunikasi dengan Tante dan Om adalah Terama," kata Juan, dengan sedikit ragu. "Karena saya agak sibuk dengan pekerjaan saya, dan banyak hal yang harus saya tangani. Jadi, Terama akan lebih sering menghubungi kalian."
Rania mengangguk paham, meskipun ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. "Ya, tidak masalah, Juan. Kami mengerti. Terama pasti bisa diandalkan."
Juan tersenyum, merasa lega bahwa Rania menerima penjelasannya. "Terima kasih, Tante. Saya sangat menghargainya. Tapi, meskipun saya sibuk, saya pastikan segala sesuatunya akan tetap berjalan lancar."
Setelah percakapan yang terasa cukup panjang dan mendalam, Juan berdiri dengan sopan. "Sekali lagi, terima kasih atas sambutan kalian, dan saya pamit dulu."
Terama, yang selama ini mendengarkan dengan cermat, berdiri dan mengangguk ke arah orang tua Magika. "Terima kasih, Om, Tante. Saya akan menghubungi kalian lagi nanti."
Rania dan Handoko mengangguk, sambil tersenyum.
“Hati-hati,” ucap Rania. Rania dan Handoko mengantar hingga teras dan mereka melihat Juan dan Terama masuk ke dalam mobil yang berbeda. Mobil mewah.
Di dalam mobil Juan tersenyum, “tinggal selangkah lagi.”