Untuk Apa Datang?

1077 Kata
Setibanya di rumah, Juan dan Terama langsung masuk ke ruang tengah yang luas dan tertata rapi. Juan lalu duduk di sofa dengan ekspresi serius. Terama berdiri tak jauh darinya, menunggu instruksi yang biasanya datang dari kakaknya. "Terama," Juan memulai, suaranya tegas. "Seminggu sebelum pernikahan, Magika harus sudah cuti kerja. Pastikan itu diatur dengan baik. Aku tidak ingin dia terlalu lelah atau stres sebelum hari besar kami." Terama mengangguk patuh. "Baik, Kak. Aku akan bicara dengan manajemen untuk memastikan itu." Juan menatap adiknya dengan sorot mata yang tajam namun penuh perhitungan. "Dan mulai hari Senin ini, batasi pertemuanmu dengan Magika." Terama tampak bingung sejenak, namun segera menguasai dirinya. "Alasannya, Kak?" Juan menghela nafas, lalu menjelaskan. "Katakan saja kamu sibuk dengan banyak urusan untuk persiapan pernikahan. Kita harus menjaga kesan formal dan profesional. Atur saja hingga pernikahanku dan Magika terlaksana." Terama terdiam, menyerap perintah kakaknya yang selalu terstruktur dan penuh pertimbangan. Setelah beberapa detik, ia akhirnya mengangguk. "Baik, Kak. Aku mengerti." Juan tersenyum tipis, tampak puas dengan jawaban itu. "Bagus. Pastikan semuanya berjalan lancar. Tidak ada ruang untuk kesalahan, Terama." "Iya, Kak. Aku akan mengurus semuanya," jawab Terama, nada suaranya penuh keyakinan. Juan berdiri, menepuk bahu adiknya perlahan. "Aku tahu aku bisa mengandalkanmu." Setelah itu, Juan melangkah pergi menuju ruang kerjanya, sementara Terama berdiri sejenak di ruang tengah, mencoba mencerna semua tanggung jawab yang diberikan kakaknya. Tatapannya sedikit menerawang, mengingat semua yang baru saja terjadi. Ia menarik nafas panjang dan berbicara dalam hati. "Kak Juan itu selalu jadi panutanku. Pekerja keras dan tak pernah menganggap remeh siapapun. Dia juga tak pernah bersikap kasar atau jahat pada siapa pun, apalagi pada perempuan. Aku yakin dia akan sangat menyayangi Magika." Ia menunduk sejenak, seolah menegaskan keyakinannya. "Kak Juan punya segalanya—karir, kedewasaan, dan kasih sayang yang tulus. Pasti Magika akan bahagia bersamanya. Aku harus mendukung apapun yang dia inginkan." Senyum tipis terukir di wajah Terama. Meski kadang merasa bebannya berat sebagai adik yang harus selalu patuh, ia tetap menyimpan kekaguman besar pada kakaknya. Setelah itu, ia melangkah dengan santai menuju kamarnya. Ia tahu hari-hari ke depan akan penuh kesibukan, tetapi ia sudah siap untuk menjalankan tanggung jawabnya demi membantu Juan mewujudkan pernikahan impian kakaknya. Sementara itu Magika masih duduk di restoran milik orang tua Jessie, menyimak percakapan yang terjadi di antara Jessie dan Nadia. Nadia, yang sebelumnya tampak penuh semangat, kini terlihat kesal dan tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Jessie, yang duduk di sebelah Magika, menyadari perubahan sikap Nadia. Dengan nada penuh perhatian, ia bertanya, "Kak Nadia, kenapa? Kok kelihatan kesal?" Nadia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Enggak apa-apa, Jess. Cuma... bosku nggak jadi datang ke sini. Padahal aku udah berharap banget dia bisa luangin waktu. Tapi ya sudahlah, aku maklumi, dia kan bos besar, pasti sibuk." Jessie mengangguk pelan, mencoba menghibur, "Iya kak, nggak apa-apa. Mungkin lain kali bisa ketemu. Semoga nanti, kalau kamu sudah menikah, kita bisa kenal sama suamimu. Bosmu." Nadia tersenyum kecil, meski masih terlihat agak kecewa. "Iya, Jess. Aku juga berharap nanti kalian bisa kenal dia. Dia orang yang sangat luar biasa." Nadia sebenarnya sangat berharap Juan datang ke restoran ini. Ia ingin memperkenalkan Juan pada Jessie dan mungkin keluarga lainnya, sebagai upaya untuk menunjukkan bahwa hubungannya dengan Juan lebih dari sekadar hubungan sekretaris dan bos. Namun, Juan mengirim pesan tak jadi datang, membuat Nadia merasa sedikit kecewa dan kehilangan momen yang ia rencanakan. Nadia pun pamit, “Jessie, Magika aku pulang duluan ya.” Jessie dan Magika mengangguk dan Jessie berkata, “makasih sudah datang kak!” Nadia mengangguk sambil tersenyum setelah itu Nadia meninggalkan meja itu, hanya Magika dan Jessie yang tersisa. Restoran itu terasa lebih tenang setelah suasana ramai tadi, memberi kesempatan bagi mereka untuk berbicara lebih leluasa. Magika terlihat penuh semangat, wajahnya berseri-seri, dan matanya berbinar. Dengan penuh kegembiraan, Magika menatap Jessie dan berkata, "Jess, aku senang! Aku nggak nyangka kalau Kak Terama bakal buat kejutan kayak gini... Dia melamarku! Aku akan menikah dengannya!" Jessie tersenyum lebar, melihat betapa antusiasnya Magika. "Wah, Magika, kamu serius siap nikah?" Magika mengangguk yakin dan dengan penuh semangat menjawab, "Iya, aku yakin! Kak Terama itu baik sekali. Aku udah ngefans banget sama dia sejak SMA. Pasti teman-temanku akan kaget banget kalau tahu aku nikah sama Kak Terama. Aku mau banget undang teman-teman SMA ku!" Jessie tertawa kecil, terkesan melihat kebahagiaan dan antusiasme Magika. "Aku nggak sabar buat lihat pernikahan kamu, Magika. Semua pasti bakal senang dengar kabar bahagia ini. Dan kamu pasti jadi mempelai yang paling cantik!" Magika tersenyum lebar, merasa begitu bahagia dan siap memulai babak baru dalam hidupnya. Ia sudah membayangkan bagaimana nanti pernikahannya akan berjalan, betapa teman-temannya akan kaget dan terkesan dengan perubahannya. Semua terasa begitu sempurna saat itu. Di dalam kamar pribadinya yang luas dan elegan, Juan duduk di meja kerjanya dengan beberapa dokumen dan peta tempat pernikahan yang terhampar di hadapannya. Cahaya lampu yang lembut dari meja kerja menyinari wajahnya yang penuh konsentrasi. Ia menatap layar laptopnya, menyusun segala sesuatu dengan teliti. Suasana sunyi itu hanya dihiasi oleh suara ketikan jarinya yang teratur di keyboard. Juan tersenyum sendiri, matanya berbinar seolah menemukan sebuah ide cemerlang. Ia kemudian berkata, "Aku akan mengatur bagaimana aku dan Magika akan bertemu di malam pertama. Di saat akad nikah dan pesta, kita tak perlu bertemu terlebih dahulu. Caranya, nanti para tamu undangan laki-laki akan bersalaman denganku, sementara Magika akan menyambut tamu perempuan." Ia berhenti sejenak, merenung, sebelum melanjutkan dengan penuh keyakinan, "Ide yang sangat brilian! Semua harus berjalan sesuai rencanaku. Aku akan pilih setiap detailnya dengan sempurna, dari undangan hingga dekorasi. Semua harus menjadi yang terbaik. Rencanaku ini tak boleh gagal!" Juan kembali menatap peta dan daftar tamu undangan yang ada di mejanya, memastikan setiap detail akan sesuai dengan gambaran yang telah ia rancang. Ia merasa yakin, bahwa semua ini akan menjadi pernikahan yang tak terlupakan—baik untuk dirinya, Magika, dan semua yang hadir. Magika pulang ke rumah saat matahari mulai tenggelam, memancarkan warna jingga keemasan yang menenangkan suasana. Ia langsung menuju kamar ibunya, mengetuk pintu dengan pelan sebelum masuk. Rania sedang duduk di sofa kecil di sudut ruangan, membaca sebuah buku. Melihat putrinya, ia tersenyum lembut. "Ibu," panggil Magika, suaranya terdengar serius. "Tadi ibu yang terima lamarannya?" Rania menutup bukunya, meletakkannya di meja samping, dan menjawab, "Ya, sama ayahmu juga." Magika terkejut. "Ayah?" tanyanya heran. Rania bangkit dari tempat duduknya, menghampiri putrinya. Ia menggenggam tangan Magika, mengajaknya duduk di tepi tempat tidur. "Iya, sebelum Terama datang, ayahmu sempat ke sini. Dia menjelaskan semuanya." Magika menatap ibunya dengan bingung. "Apa maksudnya? Ayah datang untuk apa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN