Sebuah Pelukan

1118 Kata
"Katakan aku harus mengantar kamu ke mana? Ke rumah lama?" tanya Angga menunggu jawaban Esti. Dia belum melajukan mobilnya karena menunggu jawaban dari Esti. "Jangan, Tuan! Jangan ke rumah itu. Aku susah diusir dari sana." Esti menutup mulut karena merasa sudah salah bicara. Dia ingin meralat ucapannya tetapi tidak mungkin. Jika dia minta diantar ke rumah lama pasti akan jauh berjalan menuju rumah mak Entin. Sedangkan dia tidak memiliki uang untuk naik kendaraan umum. "Apa kamu diusir? Sama siapa? Enggak mungkin dong orang tua kamu yang ngusir? Jangan bilang kalau suami kamu yang ngusir?" Esti hanya bisa diam, menunduk, memilih untuk tidak menjawab apa pun. Angga menilai sendiri dari sikap dan ekspresi sedih dari wajah Esti, sudah pasti dia diusir. Namun, entah oleh siapa. Rahang Angga mengeras, tetapi dia akan menunggu sampai Esti mau menceritakan semuanya. "Ok. Aku enggak akan tanya urusan pribadi kamu lagi. Sekarang tolong beri tahu aku harus mengantar kamu ke mana? Ke mana aja aku antar. Kalau kamu cuma diam, maka malam ini kita bertiga akan tidur di mobil ini. Kamu pilih mana? Ngasih tahu alamat kamu terus aku antar pulang atau kita bertiga tidur di sini!" "Angga, kamu kok keras kepala banget sih," batin Esti. "Ya sudah, aku nyerah, Tuan, boleh antar aku untuk hari ini saja. Besok-besok aku melarang Tuan nganter aku pulang, atau aku akan berhenti bekerja di rumah, Tuan. Puas!" "Nah, gitu dong. Dari tadi kek. Kamu tuh susah banget diajak kerja sama. Suka banget nyusahin diri sendiri. Jadi kita ke mana?" Angga menyalakan mesin mobil. "Ke rumah mak Entin." Angga melajukan menuju rumah mak Entin. Angga mengerutkan dahi, memikirkan apa hubungan antara Esti dan mak Entin. "Mak Entin dulu pernah kerja di rumah orang tuaku. Aku tahu kamu pasti bingung kenapa aku tinggal di rumah mak Entin." Esti langsung menjelaskan sebelum Angga bertanya-tanya. "Oh, ngomong-ngomong kamu lupa panggil aku Tuan. Oh ya, kabar mama sama papa kamu gimana?" Sampai saat ini Angga tidak tahu jika orang tua Esti sudah meninggal, karena saat dia memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jerman, keduanya sudah putus kontak sejak lima tahun yang lalu. "Mama sama Papa sudah meninggal lima tahun lalu." Esti menunduk menahan rasa sesak jika teringat kematian kedua orang tuanya. "Innalilahi wa inna ilayhi raji'un, maaf aku enggak tahu. Ternyata sudah lama juga meninggalnya." "Enggak apa-apa, Tuan. Oh ya, kata nyonya, Tuan baru pulang dari Jerman, apa itu betul?" "Iya, betul. Aku sebenarnya baru banget sampai ke Indonesia, dari bandara aku naik taksi sampai ke apartemen. Tadinya aku mikir pengen istirahat dulu di apartemen baru besok ke rumah mama. Tapi malah ketemu kamu dulu." Angga merasa sangat senang bisa bertemu dengan Esti saat ini. Namun, dia merasa Esti sedang menyembunyikan sesuatu, itu semua terlihat dari wajahnya yang menyiratkan kesedihan. Pria itu menahan rasa penasarannya hingga waktu yang tepat untuk menanyakan semua pada Esti. "Oh, berarti selama ini Tuan pergi ke Jerman dan baru pulang sekarang?" Esti memang merasa penasaran ke mana saja Angga selama ini. Dia pernah mencari tahu kabar Angga pada beberapa teman kuliah dulu, tetapi tidak banyak yang tahu jika Angga selama ini berada di Jerman. "Iya. Yah, menepi sejenak dari Indonesia. Maksudnya sih mau menata hati gitu. Anak kamu mirip banget ya sama kamu, lucu dan ganteng." "Iya, Tuan, banyak yang bilang Arya mirip banget sama aku." "Untung banget Arya mirip aku bukan ayahnya," gumam Esti. Esti diam tidak bertanya lagi pada Angga. Dia sedang tidak ingin mencari tahu banyak tentang apa yang terjadi dengan Angga selama lima tahun terakhir. Dia ingin menata hati dan hidupnya agar menjadi lebih baik tanpa gangguan siapa pun. "Ini bener kan ke arah rumah mak Entin? Soalnya aku baru beberapa kali ke sana. Jadi agak lupa gitu." "Sudah betul, Tuan. Rumah mak Entin dekat ke rumah orang tua, Tuan. Berhenti di depan saja, Tuan." Angga berhenti di tempat yang ditunjukkan oleh Esti. Saat Esti mengambil kantong berisi makanan dari restoran, Angga sudah lebih dulu membuka pintu penumpang belakang menggendong Arya menuju rumah mak Entin. "Tuan, biar aku aja yang gendong Arya. Pasti Tuan akan merasa berat pas gendong Arya. Jadi tolong biar aku aja yang gendong." "Biar saja, Esti. Aku bisa kok. Gimana menurut kamu? Aku udah pantes kan jadi ayahnya Arya?" Senyuman Angga mengembang. Sementara Esti masih berusaha mengartikan ucapan Angga. Apa maksud dibalik ucapan itu. "Tapi, Tuan bukan ayahnya Arya." "Aku memang bukan ayahnya. Tapi aku bisa menjadi ayah pengganti buat Arya, asal kamu setuju." "Tuan. Maksudnya gimana sih? Saya kok bingung." "Selama kamu bekerja di apartemenku, maka aku akan menjadi ayah untuk Arya. Kamu bisa pahami ini kan?" "Oh. Iya bisa, Tuan. Tapi aku belum bisa menerima keputusan itu. Maaf." "Jadi, aku harus bujukin kamu dulu dong sampai kamu setuju. Enggak masalah." "Assalamualaikum, Mak." Esti berhenti di depan rumah Entin. "Kita sudah sampai. Sini Tuan, biar aku aja yang gendong Arya." Esti meminta Arya lagi pada Angga. "Sudah, enggak usah. Biar aku bawa dia ke kamar." Mak Entin membuka pintu. "Wa'alaykumussalam." Esti dan Angga masuk rumah. Esti menunjukkan kamar tempat dia dan Arya tidur. Dia terpaksa membiarkan Angga masuk kamar dan meletakkan Arya di kasur. "Terima kasih, Tuan. Sudah mengantar aku dan Arya. Biar aku antar lagi ke mobil." Esti pamit pada mak Entin untuk mengantar Angga kembali ke mobilnya. Angga mengeluarkan uang dari dompet, menghentikan langkah Esti. "Ambil uang ini untuk ongkos ke apartemenku. Besok datang telah jam 6 pagi. Sekalian belanja bahan untuk sarapan dan makan siang di apartemen. Terus aku juga mau bahas kerjaan kamu apa aja di apartemen. Jangan enggak datang loh!" Angga meletakkan uang itu di tangan Esti. Esti memandangi uang yang diberikan Angga dengan perasaan terharu. Bagi Esti uang itu jumlahnya besar. Dia menerimanya karena memang dia butuh uang untuk ongkos menuju apartemen Angga. "Terima kasih. Tapi ini banyak banget, Tuan. Oh iya, aku boleh kerja bawa Arya kan? Di sini enggak ada tempat nitipin anak." Esti menunduk sedih. "Pakai aja semua uang itu untuk ongkos. Kamu belum terima gaji kan. Terus masalah Arya, bawa aja dia ke apartemen. Aku enggak ada masalah dengan anak itu. Yang penting kamu bisa datang setiap hari. Kalau dia sakit telepon aku. Nanti aku antar Arya ke dokter." Esti terenyuh, baru kali ini ada pria yang mau memberikan perhatian untuk anaknya, bahkan ayah kandungnya pun sudah tidak peduli dengan Arya. "Sekali lagi terima kasih, Tuan." Esti membungkuk di depan Angga yang akan masuk mobil. Namun, dia kembali mendekati Esti karena sekilas melihat mata perempuan itu memerah menahan tangis. Angga mengikis jarak antara keduanya. Entah kenapa kali ini dia ingin memeluk perempuan itu dengan erat. Menenangkannya. "Aku tahu kamu ada masalah, aku harap suatu hari kamu mau menceritakan semua padaku agar bebanmu sedikit berkurang." Air mata Esti lolos mengalir di bahu pria itu tempat Esti menyandarkan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN