Temani Aku Makan

1164 Kata
Hari pertama Angga masuk kantor dengan posisi sebagai CEO baru. Dari pagi Angga sudah berpakaian rapi, mengenakan kemeja dan celana bahan. Sebelum berangkat ke kantor dia ingin sarapan lebih dulu. Angga hendak berjalan menuju dapur sambil menggulung lengan kemejanya, tapi Esti yang sedang membersihkan lantai melarang. Dia berdiri di hadapan Angga. "Minggir dong, Esti, aku mau masak dulu bikin sarapan." Angga memegang kedua lengan Esti, hendak menggeser Esti agar Angga bisa melangkah menuju dapur. "Tuan mau ngapain ke dapur? Jangan bilang mau masak?". "Iya, kok tahu?" "Masa udah rapi gitu mau masak, Tuan? Nanti kalau kemejanya kecipratan minyak atau apa di dapur kan jadi kotor. Padahal Tuan mau ke kantor," protes Esti pada tuannya. "Ya, kan tinggal pake celemek aja." "Tetap enggak boleh." Esti mendorong tubuh Angga bergerak menuju meja makan sampai Angga duduk di kursi. "Udah, Tuan duduk manis di sini aja. Jangan ke dapur. Hari ini aku yang masak sarapan. Masa hari pertama kerja, sarapannya masak sendiri. Lagian, Tuan aneh deh, kalau makan selalu masak sendiri." Angga tertawa mendengar ucapan Esti. "Kenapa? Masak enggak masak kan suka-suka aku, ini tempat tinggal aku. Kamu ini aneh." "Tuan punya pembantu kan tinggal minta tolong aja." "Ya, suka-suka aku dong!" "Sudah, Tuan masih pagi jangan ngajak debat. Cukup duduk manis, sarapan akan segera datang." Angga menurut. Dia tidak akan ke dapur untuk masak sarapan. Namun, dia mencari Arya yang bermain di kamar mengajaknya duduk di meja makan sambil bercerita sesuatu sampai Esti membawakan tiga piring yang berisi roti telur untuk sarapan. Setelah berdoa, mereka mulai makan. Esti membantu Arya makan dengan baik. "Terima kasih untuk sarapannya." Angga mengembangkan senyum untuk Esti. "Kamu enggak pengen kerja di kantor?" tanya Angga, dia ingin tahu rencana Esti selanjutnya, apa tetap ingin jadi pembantu atau mulai merintis karir di dunia kerja. "Pengen sih, Tuan. Tapi kerja apa? Aku lulus kuliah langsung nikah, enggak ada pengalaman kerja, apa iya masih bisa cari kerjaan di kantor-kantor gitu?" "Ya, enggak tahu sih. Kenapa enggak dicoba aja?" tanya Angga sambil menyuapkan roti ke dalam mulut. "Aku masih mikirin Arya sih, Tuan. Belum bisa ninggalin Arya, kan? Mungkin nanti cari kerjaan atau usaha lain yang bisa dikerjakan tanpa harus ninggalin Arya." Angga teringat salah satu hobi Esti sejak kuliah, dia sering membantu temannya membuat desain baju, tetapi dia biasanya minta tolong penjahit untuk pengerjaannya. Sehingga temannya tinggal membayar saat baju pesanannya selesai. "Kamu enggak pengen coba belajar jahit atau desain baju lagi kayak pas kita kuliah dulu?" Esti memikirkan ide dari Angga. "Iya ya. Kenapa enggak kepikiran dari kemarin. Ide bagus. Tapi mulainya gimana?" Esti meminta saran dari Angga. "Coba jualan online, gimana?" "Apa yang mau dijual? Kan belum ada contoh pakainya." "Bener juga. Foto lama udah enggak ada lagi? Baju-baju yang kamu desain dulu?" "Enggak ada lagi. Sudah kehapus semua. Tapi aku mau coba belajar jahit dulu deh. Belajar sendiri. Nanti pas gajian mau nabung untuk beli mesin jahit aja, Tuan. Eh, baru kerja seminggu kok ngarep gajian, ya." Esti menutup mulut dulu sebelum dia tersenyum lebar. "Mesin jahit? Gampanglah itu. Aku udah selesai sarapan, mau jalan ke kantor dulu." Angga bangkit menuju kamar. Bersiap-siap ke kantor memakai jas navy yang dia beli bersama Esti di mall. "Aku jalan dulu, ya." "Tuan pergi sendiri? Enggak ada supir atau siapa yang jemput dari kantor?" "Enggak ada. Sebenarnya ada sih, tapi aku males. Pengennya berangkat sendiri. Pengennya kayak karyawan biasa tapi enggak mungkin ya?" "Katanya sih gitu. Enggak mungkin banget, Tuan. Oh iya, hati-hati di jalan. Jangan ngebut, Tuan." "Iya, makasih ya. Kamu boleh pulang lebih cepet hari ini. Begitu semua kerjaan beres, apartemen udah rapi, boleh pulang kok." "Baik, Tuan." *** Mobil Angga masuk area parkir kantor papanya. Dia memang sengaja menolak faslitas antar jemput dengan supir. Dia ingin hari pertama kerjanya terlihat biasa saja. Dia tidak suka dengan sambutan berlebihan untuk dirinya. Angga masuk kantor dengan santai, karena belum ada yang mengenal sosok Angga sebagai anak pemilik perusahaan. Dia melenggang menuju ruangan papanya yang berada di lantai 20. Sebelum masuk ruangan, Angga mengetuk pintu. Dia langsung duduk di sofa yang ada di ruangan itu. Pak Rehan yang sudah tiba lebih dulu berpindah tempat duduk, menuju sofa, duduk di kursi di hadapan Angga. "Gimana kabar hari ini?" "Alhamdulillah baik, Pa. Papa juga kayaknya seger banget nih. Keliatan semangat." "Harus dong. Papa udah enggak sabar pengen ngajak kamu ke ruangan meeting pagi ini. Semangat banget Papa ngajak pengen ngenalin kamu ke semuanya. Selesai meeting kita keliling, nyapa pimpinan lainnya. Breaks makan siang, terus siangnya kamu ketemu sekretaris, nanti dia yang akan bantu kerjaan kamu ke depannya." "Ok. Sekretarisnya cowok apa cewek, Pa?" Pak Rehan tertawa keras. "Ada-ada aja pertanyaan kamu. Sekretaris kamu cowok kok, apa kamu pengen sekretaris cewek yang penampilannya seksi? Di sini enggak ada, karena semua sekretaris harus lolos sensor mamamu. Jadi enggak ada cewek cantik yang lolos di sini." "Bener sih." Angga paham betul bagaimana perasaan cemburu Bu Indah pada Pak Rehan. Sehingga dia selalu memaksa untuk ikut memilih setiap ada perekrutan sekretaris di kantor itu. "Ayo ke ruangan meeting dulu. Nanti ketemu sekretaris kamu di sana aja." "Ok, Pa." *** Angga sudah tiba di apartemen melalui berbagai kegiatan hari ini. Mulai dari meeting untuk memperkenalkan dirinya sebagai CEO baru. Mendatangi setiap ruangan dengan jajaran pimpinan di perusahaan, makan siang pun tetap dengan niatan berkenalan dengan klien. Setelah makan siang dia sibuk dengan sekretaris yang akan selalu mendampingi selama Angga bekerja di perusahaan Pak Rehan. Perusahaan milik Pak Rehan bergerak di bisnis fashion. Terutama fashion pria. Mereka memproduksi segala jenis pakaian pria dalam berbagai merk, mulai dari pakaian formal, santai hingga pakaian dalam. Pekerjaan Angga difokuskan untuk pengembangan fashion untuk eksekutif muda sepertinya dirinya. Angga menyandarkan tubuh di sofa. Dia merasa agak lelah hari ini. Ingin sekali dia segera merebahkan diri di atas ranjang. Namun, ada yang mengganjal pikirannya. Dia merasakan satu perasaan yang dia rasakan beberapa hari terakhir. Apartemennya sepi tanpa kehadiran orang lain. Ya, dia merindukan kebersamaan bersama Esti dan Arya. Jika saja pulang kerja dia melihat dua sosok yang satu minggu terakhir ini dia temui, mungkin rasa lelahnya akan sedikit teobati. Jika saja apartemennya berada dekat rumah Mak Entin, dia tinggal berlari ke sana untuk menemui Esti. Dia pikir dia harus apartemen itu harus cepat terjual, agar dia bisa pindah. Tanpa pikir panjang Angga yang masih mengenakan kemeja, belum mandi dan ganti pakaian, membawa kunci mobil meninggalkan apartemen menuju rumah Mak Entin. Jalanan ramai sekali, memang jam orang pulang kantor. Sehingga perjalanan menjadi lebih lama. Tiba di rumah Mak Entin saja sudah hampir jam 21 malam. Angga menarik napas, menenangkan diri dan perasaannya yang sudah tidak sabar ingin bertemu Esti. "Tuan? Ada apa ke sini?" Angga ingin melompat karena terlalu merasa bahagia bisa melihat wajah Esti. Dia mencari cara agar bisa Esti lebih lama. "Temenin aku makan. Aku laper banget jam segini belum makan." Memang Angga belum makan malam, sehingga dia bisa menggunakan cara itu untuk bertemu Esti lebih lama. "Sekarang, Tuan?" "Iya, sekarang. Masa besok. Aku lapernya kan sekarang." "Oh, tunggu sebentar aku pamit sama Mak Entin dulu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN