Nasi Goreng

1154 Kata
"Mau makan di mana, Tuan?" Esti menutup pintu depan rumah Mak Entin. Mereka berjalan meninggalkan rumah itu. "Kita cari makanan deket sini aja gimana? Nasi goreng atau apalah yang keliatan dekat ini. Kalau cari ke tempat yang agak jauh keburu tutup dan sudah kemalaman. Iya enggak?" "Iya sih bener juga." Esti mengangguk. "Apa pun warung atau tempat makan yang pertama kita lihat, kita makan di sana." "Boleh. Tuan, habis makan mau pulang ke mana? Ke apartemen kayaknya jauh, ya?" "Iya. Kayaknya aku pulang ke rumah Mama deh. Mau cari jas sekalian. Baju di apartemen kan cuma sedikit, banyak di rumah. Kalau pulang ke apartemen tuh, sepi kalau cuma sendiri aja, tapi kalau ada kamu sama Arya jadi enggak sepi." Kening Esti berkerut."Bukannya kalau ada aku sama Arya malah bikin pusing, Tuan? Bikin repot, Tuan harus masak sarapan sama makan siang, belum lagi harus main sama Arya kan lebih capek lagi?" "Hmm ... kamu enggak tau rasanya kok. Pokoknya enggak capek, asli. Eh, itu ada tukang nasi goreng. Kita makan di sana aja, yuk." Mereka menghampiri tukang nasi goreng, pembeli pada jam segitu sudah mulai berkurang. Meja dan kursi sudah mulai kosong. Angga duduk setelah Esti duduk lebih dulu, karena dia ingin duduk di hadapan Esti. "Kamu mau makan apa? Aku nasi goreng aja. Sama minum yang anget aja, teh juga enggak apa-apa." "Aku sudah makan sih, Tuan. Enggak pesen karena enggak laper." "Yah, jangan dong. Masa aku makan sendiri. Kamu pesen aja, kalau enggak habis, biar aku yang habiskan makanan pesenan kamu." Esti memicingkan matanya menatap Angga. "Tuan, mending pesen nasi goreng dua daripada ngabisin makanan bekas aku. Aku cuma pembantu loh." ° Senyuman Angga mengembang lebar sekali. "Siapa tahu makan sisa dari piring kamu rasanya lebih enak, iya enggak?" Mata Esti melebar. Menatap tajam ke arah Angga. "Jangan mulai lagi deh, Tuan!" Esti memberikan peringatan pada Angga agar majikannya tidak semakin berulah. Angga tertawa. "Loh emang aku ngapain? Cuma nawarin makan aja kok." Angga memesan dua porsi nasi goreng, dan dua teh manis hangat. Kemudian dia menatap lurus pada Esti. "Nasi gorengnya dimakan loh. Udah aku pesenin. Pokoknya kalau enggak habis, bilang aja." Esti tersenyum dengan terpaksa. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana cara menghabiskan nasi goreng pesanan Angga agar pria itu tidak perlu repot menghabiskan nasi goreng sisa Esti. Pesanan nasi goreng datang bersama teh manis. Mereka mulai makan. Angga makan lebih cepat karena dia belum makan malam, dan sudah lewat dari jam makan yang semestinya. Setelah nasi goreng di piringnya habis, dia mulai menyendok nasi goreng dari piring Esti. Ketika Angga mulai menyendok untuk kedua kalinya, Esti memundurkan piringnya. Sendokan pertama bisa dia maklumi, tetapi yang selanjutnya dia tidak terima. "Tuan, aku pesenin nasi goreng lagi gimana?" Angga menautkan alis melihat Esti memundurkan piring. "Kok, enggak boleh sih? Nasi di piring kamu masih banyak tuh. Katanya kamu kenyang kan? Ya sudah sini, aku bantu." Angga menarik piring Esti agar lebih dekat arahnya. "Yah, jangan deh, Tuan. Biar yang ini aku habiskan sendiri. Tuan pesen aja nasi goreng yang lain. Aku enggak enak kalau Tuan makan di piring yang sama." "Enggak apa-apa kok. Udah makan sama-sama aja biar enggak mubazir kalau enggak habis." Angga tetap memaksa ingin makan dari piring Esti. Interaksi dua orang ini tidak luput dari perhatian penjual nasi goreng. "Nasi gorengnya kurang enggak, Mas, Mbak?" Angga dan Esti kompak menoleh. "Enggak kok, Mas. Cukup dua piring." Esti menggeleng. "Iya, Mas, cukup kok." Angga tersenyum. "Mas sama Mbak ini suami istri, ya? Keliatan mesra banget." Mata Esti mendelik, dia harus meralat ucapan penjual nasi goreng. "Bukan kok, Mas. Dia ini majikan saya, saya tuh cuma pembantu aja." "Kami keliatan romantis kalau makan berdua ya, Mas?" Angga meminta pendapat penjual nasi goreng. "Aduh!" Angga meringis saat Esti menepuk punggung tangannya di atas meja. "Kok mukul sih? Aku salah apa?" Angga tidak bisa terima tangannya dipukul Esti. "Pokoknya ya, Mas. Dia ini bukan pacar, suami atau apalah. Dia cuma majikan saya." Esti ngotot pada penjual nasi goreng. Penjual nasi goreng hanya bisa tersenyum. Tidak berkomentar lagi. "Tapi kalau misalnya jadi pacar atau suami cocok kan ya, Mas?" "Angga!" Esti berpindah tempat duduk. Dia duduk di tepat di sebelah Angga. Dia mencubit pinggang Angga dengan keras. "Iya, ampun, Ti. Aku salah ngomong. Ya udah balik makan lagi aja. Kamu kalo marah serem banget gitu. Aduh sakit banget ini. Pokoknya kalau bekasnya sampai enggak hilang, aku minta ganti rugi!" Penjual nasi goreng hanya bisa mesem-mesem melihat tingkah Esti dan Angga. Esti kembali ke tempat duduknya, dia mengangkat piring, melanjutkan makannya yang tertunda, tanpa memedulikan Angga yang hanya bisa menatap Esti menghabiskan nasi goreng. Nasi goreng di piring Esti tandas. Dia letakkan piring di meja, menyeruput teh hangat sampai berkurang setengah gelas. "Masih mau makan lagi? Kalau iya, pesen satu lagi aja buat berdua." Angga masih terus aja usaha. "Mas, berapa semuanya? Biar saya yang bayar!" Esti mengeraskan suaranya. "Eh, jangan. Biar saya aja yang bayar." Angga berdiri mendekati penjual nasi goreng. Esti juga bangkit meninggalkan warung penjual nasi goreng, dia menunggu di luar. Angga menyerahkan selembar uang pecahan seratus ribu pada penjual nasi goreng. "Ambil aja kembaliannya, Mas. Nitip tolong doain saya sama Mbak itu yang baik-baik. Mau didoain cepet nikah juga enggak apa-apa kok. Makasih, ya." "Aamiiin. Saya juga makasih, Mas." Angga menyusul Esti yang menunggu tidak jauh dari warung nasi goreng. Sepertinya Esti sudah tidak marah lagi pada Angga. "Pulang sekarang?" "Iya, Tuan. Udah malem. Enggak enak sama Mak Entin. Ntar dikira aneh-aneh sama anak majikan." Esti melangkahkan kaki lebih dulu, menuju rumah Mak Entin. Angga menyusul dan menyamakan langkahnya. "Aneh-aneh gimana maksud kamu?" Angga pura-pura tidak tahu. "Ngajak ke dukun misalnya gitu, Tuan." Esti menjawab asal. "Emang di sini ada dukun?" "Enggak ada sih kalau di sekitar sini. Yah kira-kira begitu contoh ngajak aneh-aneh, Tuan. Hanya contoh aja ya, Tuan." "Oh, contoh doang? Bukan aneh-aneh ngajak check in ke hotel terus pulang pagi gitu?" Pandangan Angga tetap lurus. Esti menoleh. "Kalau itu bukan aneh-aneh, Tuan. Tapi nyari masalah namanya." "Nah, itu kan kerjaan kamu. Suka cari masalah sama majikan?" "Ya kan tinggal dipecat aja, Tuan. Terus cari pembantu yang baru gitu." "Oh. Aku enggak mau mecat kamu. Susah cari pembantu kayak kamu tuh. Jadi harus dipertahankan. Kerjaannya bagus. Buat apa cari pembantu lain. Kalau bisa kamu kerja terus sama aku, jangan pernah berhenti gitu." "Terus, kapan aku cari kerjaan lain?" "Emang mau kerja di tempat lain? Katanya enggak bisa ninggalin Arya?" "Pengen sih. Tapi belum tahu, Tuan. Kayaknya sih pengen cari kursus jahit online gitu, tapi nanti aja." "Kapan?" "Tunggu ada mesin jahitnya dulu. Kalau sekarang mau prakteknya bingung. Masa cuma membayangkan aja proses menjahitnya gitu." "Oh. Udah sampe di rumah Mak Entin. Aku pamit ke rumah Mama, besok ke apartemennya bareng aja. Ok?" "Kalau Tuan kayak begini terus, lama-lama aku ngelunjak jadi pembantu." "Bagus dong. Makin ngelunjak makin bagus. Aku tunggu ngelunjaknya kamu." Esti hanya bisa menatap majikannya dengan tatapan bingung dan heran. Semakin hari majikannya semakin aneh cara berpikirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN