Ide Lain Angga

1121 Kata
"Kayaknya ada yang aneh sama kamu deh, Sayang?" Indah memperhatikan Angga yang tengah mengeluarkan beberapa jas miliknya dari lemari. "Aneh kenapa, Ma?" Angga mengeluarkan jasnya yang terakhir. Kemudian mengumpulkan semuanya dan membawa dengan satu tangan. Tetapi langkahnya tertahan karena Indah masih mengajaknya bicara. "Kamu udah ke sini, kenapa harus pulang ke apartemen lagi? Kenapa enggak berangkat ke kantor dari sini aja?" "Kalau aku enggak balik ke apartemen ya enggak bisa ketemu Esti pagi ini dong," batin Angga. Dia tidak mungkin mengatakan hal itu pada mamanya. "Ya enggak apa-apa kan, Ma. Tas aku ditinggal di sana kan. Jadi harus pulang ke apartemen buat ngambil tas." Akhirnya Angga menemukan alasan yang bisa membuat dia kembali ke apartemen. "Mama curiga kamu nyimpen cewek di apartemen itu. Awas ya, kalau sampai kamu nyimpen cewek di sana terus berbuat macem-macem, Mama enggak akan tinggal diam. Tapi kayaknya memang kamu harus cepat-cepat nikah deh, Sayang." "Astaghfirullah, Mama. Kok mikirnya gitu sih? Aku lima tahun di Jerman aja enggak pernah pacaran, kenapa di Indonesia malah nyimpen anak orang di apartemen? Mama nih ada-ada aja deh." "Hmm ... kamu kemarin kan sama Hana gagal tuh. Dia sudah mau tunangan sebentar lagi. Mama heran, kok dia enggak ngeliat anak Mama yang ganteng ini. Malah milih cowok lain. Kalau gitu malam minggu ini kamu harus ketemuan sama Sera." Indah masih terus berusaha menjodohkan Angga dengan anak dari teman-temannya, sampai dia berhasil membuat Angga menikah dengan salah satu di antaranya. Angga meletakkan semua jas yang dia pegang tadi di meja. Dia memegang kedua bahu mamanya, mengajak duduk di tepi ranjang. "Sera? Namanya Sera? Terus kalau misalnya enggak jadi sama Sera, Mama mau ngapain?" Angga mengerutkan dahi. "Mama maju terus pokoknya sampai berhasil. Angga tertawa keras. Dia tahu mamanya tidak akan pernah berhenti berusaha, karena itu di perkenalan dengan Hana dia tidak menolak, dan kali ini juga dia akan kesulitan untuk menolak. "Iya deh. Aku usahain dateng, tapi aku penasaran, kriteria Mama untuk calon istri aku yang gimana?" "Yang penting orangnya baik, bisa ngurus anak Mama dengan baik. Enggak neko-neko kok sebenarnya." "Harus anak orang kaya atau konglomerat?" "Paling enggak, dia enggak malu-maluin gitu deh. Kenapa kamu udah ada calon? Tapi kayaknya enggak mungkin, kan tadi kamu bilang enggak punya pacar." "Enggak ada kok, Ma. Ya udah aku mau balik ke apartemen dulu ya. Doain apartemennya cepet laku, biar bisa pindah deket sini. Assalamualaikum." Angga mencium punggung tangan mamanya, tidak lupa mencium kedua pipi mamanya. Indah hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya yang menurut dia agak aneh. *** "Weekend besok kita jalan, yuk." Angga tengah sarapan bersama Esti dan Arya. Tadi dia menjemput Esti dan jalan menuju apartemen bersama. "Ke mana, Tuan?" "Temenin ke toko bahan dong. Aku ada kerjaan baru nih, bikin jas untuk eksekutif muda dari bahan murah tapi pas dieksekusi jadi keliatan mewah. Kamu mau kan nemenin aku?" Angga hanya mencari alasan untuk mengajak Esti keluar. Alasan sebenarnya bukan untuk itu, tetapi dia ingin memberikan kejutan untuk Esti. Namun, dia merasa sedikit galau, apakah Esti mau menerima kejutan darinya atau tidak. Sekarang Angga hanya berharap Esti mau menerima ajakannya. "Boleh, Tuan." "Yes!" Angga berteriak senang dalam hati. Dia tinggal menyusun rencana untuk hari Sabtu nanti. "Lagi ada proyek, ya, Tuan?" "Ada, ya itu bikin inovasi baru buat jas dari bahan lain gitu deh. Kamu mau bantuin kan? Kayaknya pengetahuan kamu tentang kain dan bahan gitu lebih banyak kamu deh dari pada aku." "Loh, kemarin ke luar negeri enggak ada belajar kain?" "Enggak dong. Kemarin kan fokus ke pemasaran aja." "Oh. Terus karyawan di kantor enggak ada yang ngasih usul atau ide apa gitu? Mereka enggak paham masalah kain?" "Ada kok. Kamu tenang aja untuk masalah itu. Mereka udah bagi tugas masing-masing. Ini aku aja yang iseng pengen jalan sendiri. Kayaknya aku harus belajar banyak tentang kain, menurut kamu gimana?" "Hmm ... boleh juga tuh, kayaknya harus deh, karena ini menyangkut kerjaan kamu juga kan. Ya udah ayo aja ke toko kain hari Sabtu. Bawa Arya sekalian kan?" "Iya dong. Kamu kan enggak tahu mesti nitipin dia ke siapa. Aku udah selesai sarapan nih. Mau berangkat sekarang. Tolong rapiin semuanya, ya?" "Siap, Tuan. Itu kan memang tugasku. Pokoknya sebelum Tuan pulang, apartemen udah rapi semua." Esti memberikan senyuman manis untuk Angga. *** Angga memanggil sekretarisnya melalui panggilan telepon. Tidak lama kemudian sekretarisnya masuk ruangan Angga setelah mengetuk pintu. "Ada yang bisa dibantu, Pak?" Sekretaris Angga bernama Bima duduk di kursi di hadapan Angga. Dia membawa sebuah tablet di tangannya. "Perusahaan ini ada dana CSR enggak? Kalau ada tolong carikan info berapa dana CSR yang tersisa, karena mau saya pakai." "Bapak punya ide apa? Lancar kayaknya idenya nih, Pak. Baru dua hari kerja aja sudah kepikiran sesuatu." "Saya bikin seleksi beasiswa untuk sekolah gratis belajar desain pakaian ke Paris, khusus desainer baru aja. Tapi sebelumnya saya mau bikin seleksi untuk memilih desainer yang pantas untuk mendapat beasiswa itu." Angga menyusun rencana ini untuk Esti. Dia tahu jika dia sendiri yang memberikan kesempatan untuk Esti belajar secara langsung pasti akan ditolak mentah-mentah oleh Esti. Sedangkan dia hanya ingin membantu agar Esti bisa jadi lebih baik dari sekarang. Angga memutar otak mencari ide dengan alasan menggunakan dana CSR, demi membantu Esti. "Idenya bagus banget itu, Pak. Selama dana CSR kita cukup, bisa direalisasikan idenya. Saya boleh pinjem telepon, Pak?" Angga menatap heran pada sekretarisnya. "Buat apa?" "Minta laporan sama bagian keuangan. Supaya lebih cepet. Nanti Bapak bisa bikin perencanaan dari dana CSR yang ada untuk diajukan ke Pak Komisaris." Angga menggeser telepon di sampingnya, mendekatkan pada Bima agar dia bisa menelepon orang bagian keuangan. Bima menekan tombol angka panggilan langsung ke bagian keuangan. Setelah panggilan diterima oleh orang bagian keuangan, Bima mengutarakan maksudnya. Tak lama kemudian panggilan berakhir. Bima meletakkan kembali gagang telepon di tempat semula. "Gimana katanya?" Angga sudah tidak sabar menunggu jawaban dari Bima, tetapi sekretarisnya itu tidak menjawab. Dia malah menggeser kursi Angga dan meminta izin untuk mengakses komputer di meja Angga. Bima mengajari Angga untuk membuka file keuangan CSR setelah mendapat akses dari bagian keuangan. Dia juga mencetak file itu untuk diberikan pada Angga. "Ini ya, Pak, file-nya. Silakan dibaca, dipelajari. Kalau ada ide ditulis dulu sebelum diajukan. Ok?" Bima menjelaskan sambil tersenyum lebar. "Butuh bantuan lain, Pak?" "Kayaknya udah deh. Makasih, ya." Angga menjawab sambil memperhatikan lembaran kertas yang tadi diberikan Bima. "Ok. Kalau gitu saya pamit. Kalau ada apa-apa, telepon aja kayak biasanya ya, Pak." Bima lantas meninggalkan ruangan. Angga meneruskan rencananya untuk menggunakan dana CSR perusahaan seperti yang dia ceritakan pada Bima tadi. Malam ini dia harus pulang ke rumah untuk menemui papanya. Dia ingin menjelaskan rencananya dengan detail pada papanya dulu sebelum dia eksekusi rencana itu. Angga sangat berharap papanya akan menyetujui rencana Angga menggunakan dana CSR untuk beasiswa sekolah desain di Paris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN