Angga menemui papanya di ruang kerja yang ada di rumah. Dia memang sengaja mengajak papanya bicara malam ini, karena dia sudah tidak sabar ingin menceritakan idenya pada sang papa.
"Pa. Aku ada rencana mau manfaatin dana CSR kantor, kan banyak itu sampe 2M."
"Boleh aja. Mau dipakai untuk apa?"
Pak Rehan antusias dan penasaran, ingin mendengar ide dari Angga. Apapun itu dia akan terima, jika idenya berlebihan maka dia akan memberikan solusi lain.
"Semua Dana CSR mau dipake untuk seleksi dan beasiswa calon desainer baru buat belajar di Paris." Angga berkata dengan semangat empat lima.
"Eh, sebentar. Idenya bagus itu. Tapi coba dijelasin dulu gimana seleksinya? Terus kenapa harus ke Paris? Terus timbal balik desainer itu setelah pulang ke Indonesia apa? Jangan-jangan nanti orangnya enggak mau pulang lagi, dia malah betah di sana."
Angga mencondongkan badannya ke depan. Dia menarik napas dulu sebelum bicara. Agaknya dia akan bicara lebih lama dari sebelumnya.
"Dana CSR kok minta timbal balik, Pa? Kan kita ngasih dengan ikhlas. Jadi gini, sebelumnya kita rekrut dulu nih desainer baru yang belum ada pengalaman, terus kasih pelatihan beberapa hari, jangan lama deh. Lima hari juga boleh. Terus kita minta mereka bikin desain baju sebanyak-banyaknya. Yang paling bagus desain di antara para desainer baru, dikasih deh beasiswa itu."
Pak Rehan mengerutkan dahi. Baginya ide Angga memang bagus tapi kalau hanya untuk satu orang saja yang mendapat beasiswa sampai ke Paris itu berlebihan. Manfaat dana CSR akan kurang terasa.
"Ok. Papa paham sama maksud kamu, dan ngerti kamu mau ngasih yang terbaik untuk seseorang. Pokoknya niat kamu baik banget deh. Cuma Papa boleh kasih usul enggak?"
"Boleh, Pa, apa itu?" Angga mengangguk.
"Daripada kamu ngasih beasiswa untuk satu orang saja, gimana kalau kamu kumpulin semua orang yang pengen desainer baru, tapi kamu batasi aja sampai beberapa orang, misalnya 100 orang, terus kamu kasih pelatihan gratis selama dua minggu gitu. Basicnya aja, kan untuk yang baru. Kamu harus pastikan kalau yang ikut memang bener baru. Nah, kalau gini lebih banyak yang merasakan manfaat dana CSR daripada ngasih beasiswa ke Paris. Yang dapet manfaat satu orang aja. Lagian kenapa harus Paris?"
"Ya, Paris katanya pusat mode dunia." Angga diam sejenak memikirkan apa yang dijelaskan Pak Rehan. Dia baru sadar ternyata dia sudah egois mementingkan keinginan pribadi tetapi memanfaatkan dana perusahaan. "Kayaknya, aku harus pertimbangkan ide dari Papa deh. Tujuannya memang untuk CSR ya harus bermanfaat untuk banyak orang sih."
"Papa cuma kasih saran aja kok. Semua tetap kamu yang eksekusi. Pokoknya jangan sampai nombok. Pikirkan selalu hal terbaik untuk banyak orang."
"Iya sih, Pa. Aku enggak mikir sejauh itu sih. Aku izin pake ide Papa aja, ya? Nanti aku eksekusi bareng ama tim di kantor. Kayaknya mereka bakalan punya banyak ide juga deh. Makasih banget, Pa, udah mau sharing bareng, ya."
"Sama-sama. Pokoknya Papa siap bantu dan back up kamu di kantor walaupun enggak bisa selalu datang ke kantor kamu. Enggak masalah kan?"
"Enggak masalah kok, Pa. Apa pun bantuan dan dukungan Papa pasti terasa sih buat aku yang masih baru ini. Mana tiba-tiba jadi CEO. Padahal sebelumnya cuma di pemasaran. Sekarang tuh bebannya lebih berat, dan kerasa banget beratnya."
"Yah, dijalani aja. Masih baru ini kan?"
"Iya sih, Pa."
Malam itu, Angga mendapat banyak wejangan dari papanya seputar pekerjaan Angga yang sekarang. Dia merasa senang bisa mengobrol panjang bersama papanya. Namun, Pak Rehan pasti beda dengan Bu Indah, karena dia tidak sama sekali membahas masalah pernikahan.
***
Hari Sabtu, akhir pekan ini sesuai janjinya, Angga mengajak Esti dan Arya menuju toko kain. Ini adalah rencana akal-akalan dari Angga untuk memberikan kejutan untuk Esti.
Angga merasa senang ketika melihat mata Esti berbinar melihat berbagai jenis kain dengan berbagai corak dan warna di banyak toko bahan kain. Tanpa terasa Esti mempercepat langkahnya agar lebih cepat sampai ke toko kain. Dia sudah tidak sabar untuk segera masuk dan memegang kain-kain yang ada di sana. Berbagai macam ide hadir di pikirannya. Dia ingin sekali membuat banyak desain baju dan menjahitnya dengan tangannya sendiri.
Angga yang menggendong Arya mempercepat langkahnya menyusul Esti. Ketika berhasil menyamakan langkahnya dengan Esti, suara Angga membuat Esti terkejut. Dia menoleh.
"Eh, maaf, kenapa jadi aku yang semangat pengen cepet sampe ke toko kain, ya?" Esti baru menyadari itu.
"Enggak apa-apa. Kamu mau ke toko yang mana dulu, aku ikut deh."
"Oh ya, kamu kan mau cari bahan buat bikin jas keren dengan harga miring ya?"
Esti dan Angga tiba di toko kain bersamaan. Mereka langsung melihat-lihat bahan yang biasa dipakai untuk membuat jas.
Pemilik toko banyak menjelaskan pada keduanya mengenai kain-kain yang biasa dipakai untuk pembuatan jas. Angga bisa saja menggunakan kain dengan harga lebih terjangkau untuk membuat jas, asal kain yang digunakan lentur, serat kainnya padat, serta tahan terhadap suhu panas. Dia mendapat rekomendasi beberapa kain dengan harga terjangkau untuk membuat jas yang belum pernah perusahaannya produksi. Dia membeli beberapa meter kain untuk contoh produk jas dengan kain dari harga yang masih terjangkau.
Kemudian mereka berpindah ke toko kain lainnya. Toko kain yang menjual kain dengan warna lebih bervariasi lagi. Perasaan Esti sangat senang masuk ke toko kain itu.
"Waaah, jadi pengen punya anak perempuan deh rasanya," ucap Esti secara tiba-tiba sambil membayangkan kain dengan motif cantik dan warna pastel itu berubah menjadi pakaian indah untuk anak perempuan kecil.
"Sama aku juga mau. Pasti kamu pengen bikin baju buat anak perempuan kan?"
"Kok Tuan bisa nebak isi pikiran aku sih? Tapi sayangnya enggak bisa punya anak perempuan lagi." Wajah Esti berubah menjadi agak sedih.
"Yah, pasti ketebak dong. Kita lagi ada di toko kain begini. Aku tahu apa yang ada di pikiran kamu. Kata siapa kamu enggak bisa punya anak perempuan? Satu hal yang harus kamu lakukan adalah menikah. Jadi kapan siapnya?"
Seketika Esti menoleh pada Angga yang sedang mengembangkan senyuman lebar, karena sedari tadi dia hanya asyik memandangi kain-kain yang dipajang di sana.
"Siap apa nih maksudnya, Tuan?" Esti menyipitkan matanya memandang Angga. Dia tidak ingin terjebak dengan pertanyaan Angga.
"Siap nikah lagi lah. Siap apa lagi? Oh harus nunggu surat cerai dulu terus selesai masa—"
Esti langsung menutup mulut Angga seketika. Lalu dia mendekatkan wajahnya di telinga Angga. "Jangan keras-keras ngomongnya, Tuan. Saya kan malu. Nanti orang-orang ngira kita pasangan selingkuh lagi kan repot, Tuan." Esti melepaskan tangannya dari mulut Angga dan menjauhkan wajahnya.
Ingin rasanya Angga tertawa lebar, tetapi dia menahannya. Bahkan kalau mereka bener dikira pasangan selingkuh atau tiba-tiba dinikahkan saja dia rela, asal perempuannya adalah Esti. Dia langsung mengalihkan pembicaraan agar Esti melupakan sejenak pertanyaannya tadi.
"Kamu mau warna apa, sebut aja."
"Pink, biru muda, krem, oranye."
"Banyak juga ya. Ok, deh. Tunggu di sini. Puas-puasin lihat kain yang ada di sini. Mumpung lagi ada di toko kain."
Esti menjauh dari Angga. Angga memanfaatkan kesempatan ini dengan mendekati pelayan toko. Dia meminta beberapa meter kain dengan warna sesuai dengan permintaan Esti. Lalu membayarnya. Dia menghampiri Esti.
"Ayo jalan lagi. Temenin aku ke satu toko lagi."
Esti hanya memandangi dua kantong yang dibawa Angga, tetapi dia pikir dua kantong itu isinya hanya kain untuk dibuat jas. Tidak sedikit pun Esti berpikir jika Angga sudah membelikan beberapa meter kain untuknya.
Angga menarik lengan Esti masuk ke toko mesin jahit. Di sana Esti merasa lebih senang lagi. Dia mulai melirik harga dari masing-masing mesin jahit, lalu menghitung waktu berapa lama dia harus menabung agar bisa membeli salah satu mesin jahit di sana. Namun, dia lupa bertanya pada Angga berapa gaji bulanannya, sehingga Esti batal menghitung, dia tunda sampai dia menerima gaji pertamanya.
"Kamu suka mesin jahit yang mana?"
"Yang portabel, Tuan. Yang kayak gini bagus." Esti menunjuk mesin jahit di sebelahnya. "Eh, tapi yang itu lebih bagus, tapi kayaknya lebih mahal. Kalau yang ini lebih terjangkau kayaknya." Esti tersenyum senang, dia membayangkan bisa membawa pulang salah satu mesin jahit di sana. Kemudian dia memutar badan memperhatikan lagi mesin jahit yang ada di sana.
Sementara Angga memesan salah satu mesin jahit portabel yang ada di sana untuk diantar ke apartemen, tanpa sepengetahuan Esti.
***
Mereka sudah kembali ke apartemen. Hari menjelang sore, ketika bel apartemen Angga berbunyi. Seorang kurir datang mengantar kotak besar berisi mesin jahit portabel. Dia meminta kurir membawa masuk apartemen.
Angga keluar dari kamar saat kurir sudah meninggalkan apartemen.
"Ada siapa?"
"Kurir nganter ini, Tuan. Tuan mau belajar jahit sendiri sampe beli mesin jahit ini?" tanya Esti tanpa perasaan curiga sedikit pun.
"Oh, mesin jahitnya udah dianter? Kamu mau coba enggak? Aku buka sekarang, ya."