Bertemu Sera

1148 Kata
"Tapi, aku kan belum bisa jahit, Tuan?" Esti menoleh pada Angga yang sedang menatap kardus mesin jahit itu. Dia lalu beranjak mengambil cutter yang bisa dipakai untuk membuka kardus itu di kamar. "Dibuka aja, ya? Aku penasaran pengen lihat isinya. Siapa tahu ada printilan yang kurang." Esti hanya mengangguk. Angga membuka kardus itu perlahan, dan mengeluarkan isinya. Esti menunggu di samping, mungkin Angga akan membutuhkan bantuannya, pikir Esti. Angga memeriksa mesin jahit itu dengan seksama. Setelah dia pastikan tidak ada yang kurang dia masukan kembali mesin jahit itu dalam kardus. "Mesin jahitnya enggak dipake, Tuan?" Esti menatap heran pada Angga yang membeli mesin jahit tetapi tidak digunakan. Dia merasa senang saat Esti mulai penasaran dengan apa yang dia beli. "Kenapa?" "Kok malah tanya kenapa, Tuan? Loh itu beli barang kok enggak dipake? Aku kira Tuan mau belajar jahit, jadi beli mesin jahit." Angga tertawa keras. Dia tidak menyangka Esti memiliki pemikiran seperti itu. "Ih, Tuan kok malah ketawa sih? Emang pertanyaan aku lucu? Ya udah aku mau pamit pulang dulu, Tuan. Takut keburu malam nanti sampe di rumah Mak Entin." Esti bangkit mencari tasnya yang biasa dia simpan di dapur. Angga juga mengambil kunci mobil di kamarnya. "Ayo, aku anter. Aku mau ke rumah Mama. Mau cari baju di rumah. Malam ini mau ketemuan sama Sera." Baru kali ini Esti mendengar nama Sera dan dia sedikit merasa penasaran siapa itu Sera. "Sera? Kok kayak baru dengar namanya. Sera itu siapa Tuan? Temen kuliah di Jerman, ya? Atau Jangan-jangan calon pacar?" Esti memberanikan diri untuk bertanya. Kali ini Angga juga merasa senang saat Esti mulai penasaran dengan seseorang bernama Sera, padahal dia sendiri juga belum tahu seperti apa sosok seorang Sera. "Kepo deh. Tapi aku suka tuh kamu penasaran ini itu. Jadinya aku makin enggak pengen jawab. Ayo Arya kita ke bawah. Pulangnya naik mobil lagi, kayak biasa Arya duduk di depan, ya. Biar Mama aja yang duduk di belakang." Angga menggendong Arya dan berjalan duluan menuju parkiran sedangkan Esti berjalan menyusul di belakangnya. *** Mereka berada di mobil menuju rumah Mak Entin. Angga tidak ingin tiba di rumah orang tuanya menjelang Magrib, karena dia harus bersiap untuk menemui Sera. "Mesin jahit yang di apartemen itu aku beli untuk seseorang. Tapi aku belum berani ngasih ke orangnya. Mau nunggu waktu yang tepat dulu." Angga tiba-tiba menjelaskan tanpa ditanya oleh Esti. Esti hanya mengangguk. Dia tidak ingin menebak siapa orang yang akan diberikan Angga mesin jahit itu. Di mata Esti mesin jahit itu terlihat mahal. "Pasti Angga akan memberikan mesin jahit itu pada orang spesial," batin Esti. "Oh. Iya, Tuan." "Kamu kok jawabnya cuma oh aja. Enggak kepo lagi?" "Kan sudah dijawab sama Tuan sendiri." "Terus Sera itu perempuan yang mau dikenalin Mama ke aku. Jadi nanti malam aku harus ketemuan ama Sera." "Oh. Kayaknya Nyonya semangat banget jodoh-jodohin Tuan sama anak temennya ya. Kemarin Hana, sekarang Sera. Besok siapa lagi? Mungkin karena Tuan keliatan enggak punya pacar atau enggak deket sama siapa-siapa, mungkin." "Yah begitulah Mama. Pengen anaknya cepet nikah katanya." "Semua orang tua maunya begitu. Dia pikir anaknya akan bahagia dengan pilihan mereka tapi belum tentu, kok." "Makanya itu aku enggak mau asal pilih kan. Tapi selama belum bisa bawa calon istri pilihan sendiri, aku ikutin aja semua maunya Mama." "Ternyata, Tuan sudah punya pilihan sendiri. Kenapa enggak cepet-cepet dikenalin ke Nyonya?" "Tunggu waktu yang tepat. Kalau sekarang belum memungkinkan." "Emang kenapa sama calon istrinya, Tuan?" "Ada beberapa hal yang harus dia selesaikan dulu. Baru deh nanti dia bisa nikah." Esti hanya ber-oh ria. Di sudut hatinya, muncul sedikit perasaan tidak suka mendengar Angga memiliki calon istri, tetapi buru-buru dia tepis perasaan itu. Esti sadar, dirinya yang sekarang tidaklah sama dengan Esti yang dulu pernah menjadi orang yang spesial untuk Angga. Dia pikir sangat wajar jika Angga sudah melupakan perasaan yang dulu dan beralih pada orang lain. Apalagi Esti yang sekarang sebentar lagi akan menjadi janda. Dia harus fokus pada dirinya dan Arya saja. "Kamu enggak penasaran sama orangnya?" "Enggak, Tuan. Yang jelas kan pasti orangnya cantik banget, anak orang kaya dan masih muda kan?" "Kenapa mikirnya kayak gitu?" "Ya, Tuan kan CEO masa iya nikahnya bukan sama perempuan yang sepadan, pasti cantik dan muda, enggak mungkinlah nikah sama janda apalagi jandanya punya anak." Esti hanya asal bicara tanpa memikirkan apa yang baru saja dia ucapkan. Ketika dia sabar dia langsung menutup mulutnya yang baru saja terbuka dan matanya melebar. Dia tidak ada maksud untuk membicarakan dirinya karena statusnya sebentar lagi akan resmi menjadi janda. "Nikah sama janda anak satu? Siapa takut. Iya enggak, Arya?" Angga menoleh dan tersenyum pada Arya. "Kayaknya aku salah ngomong deh, Tuan. Kita ganti topik aja ya, Tuan?" *** Angga sudah berada di restoran tempat dia akan bertemu dengan Sera. Saat sedang menunggu, Angga sedang membuka ponsel, terdengar suara hak sepatu yang cukup keras, tetapi tidak menarik rasa perhatian Angga untuk mencari tahu suara sepatu siapa itu. Ketika suara hak sepatu itu berhenti, seorang perempuan berdiri di hadapan Angga. "Kamu, Angga, ya? Boleh manggil, Mas enggak sih? Aku Sera. Yang jelas umurku lebih muda daripada Mas-nya." Perempuan itu mengulurkan tangan. Berharap Angga akan menjabat tangannya. Angga menoleh pada Sera, tetapi tidak membalas uluran tangan Sera. "Duduk." Angga mempersilakan Sera untuk duduk di kursi kosong di hadapannya. Sera menarik tangannya kembali, kemudian duduk di kursi di hadapan Angga. "Umur kamu berapa?" "25 tahun." "Masih kuliah atau sudah kerja?" "Sudah lulus kuliah, tapi belum kerja." Angga menautkan kedua alisnya. "Bukannya anak temen Mama kebanyakan orang berada. Kamu enggak pengen kerja di perusahaan orang tua kamu?" "Enggak. Pengen jadi selebgram aja sih, Mas. Kan dapet duit juga. Sambil jalan, sambil ngonten." "Follower kamu udah banyak?" "Banyak dong, Mas. Ada seribu. Seribu itu banyak kan?" ucap Sera penuh penekanan agar Angga setuju dengan ucapannya. "Iya sih. Yah anggaplah banyak deh. Terus udah punya pacar?" "Enggak ada. Makanya aku mau disuruh Mama ketemuan sama Mas Angga. Tadinya males sih. Tapi pas ketemu orangnya boleh juga sih. Tapi enggak sampe bikin jatuh cinta pada pandangan pertama." "Menurut kamu aku ok kan? Tolong jawab yang jujur." "Iya dong. Secara tampang ok. Secara pekerjaan ok banget kan CEO. Terus duitnya pasti banyak kan?" "Iya. Tapi ada aja kok cewek yang enggak ngelirik aku. Aneh memang itu orang." "Masa sih, Mas?" Sera menatap lurus-lurus pada Angga. Dia pikir Angga adalah pria yang menarik. Dia ingin mencoba untuk mendekatinya. "Yah siapa tahu aja jodoh," batin Sera. "Iya. Ada kok yang gitu." "Terus, Mas suka sama dia?" "Hah? Eh, gimana?" "Iya, sama perempuan yang cuek sama Mas itu, Mas Angga suka sama dia?" "Ada deh. Eh, kamu mau makan apa? Kasian ntar anak orang kelaperan deh karena enggak diajak makan. Belum makan kan tadi di rumah?" "Aku belum makan, Mas. Ayo pesen makan. Apa aja aku mau. Menunya dipilihin sama Mas-nya juga boleh. Saya ikhlas lahir batin malah." Sera mengembangkan senyuman paling manis. Sementara Angga ketar-ketir karena merasa ada yang aneh dengan Sera.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN