Bab 8.

1234 Kata
Kutapaki anak tangga menuju lantai satu. Sebenarnya aku lelah setelah seharian melayani si angin Topan yang tak pantang menyerah. Inginku tidur sambil memeluk guling kesayangan. Namun, ponselku tak berhenti berbunyi karena kelakuan Arda. Mantan suamiku itu terus meneror dengan pesan bertubi. Memintaku untuk datang ke hotel. Kuedarkan pandangan mata ke lantai di bawah. Aku berjalan dengan sangat hati-hati. Berusaha untuk tidak membuat suara sedikitpun. Aku sedang malas berbohong kali ini. Kalau sampai yang mulia ibu ratu atau tuan raja melihatku, mereka pasti akan bertanya kemana aku hendak pergi malam-malam begini. Dan tidak mungkin aku jujur. Bisa terjadi perang dunia ke empat kalau mereka tahu aku akan ke hotel karena permintaan Arda. Suasana lantai satu tampak sepi. Tidak kudengar suara bapak, ibu, bahkan adikku yang resenya minta ampun itu. Kuhembus napas lega. Syukurlah, aku bisa keluar rumah tanpa harus membuat drama dengan mereka. Terutama emakku. Kuusap dadaku begitu kakiku menginjak lantai satu. Aku terkekeh pelan. Syukur … syukur, batinku. Kulanjutakan ayunan kaki menuju pintu. Aku sampai tidak berani memakai sepatuku. Takut membuat suara lalu emak atau bapakku dengar. Ya Tuhan, melihat pintu saja rasanya senang minta ampun. Tinggal tiga langkah saja, batinku. “Mau kemana, Mbak?” Gerak kakiku langsung berhenti. Dengan cepat kuputar tubuh lalu kuletakkan jari telunjukku di depan mulut, “Stttt … jangan keras-keras,” kataku. Kubuka lebar kedua mataku untuk menakut-nakuti adikku. “Mau kemana?” Akhirnya adikku bertanya dengan suara berbisik. “Keluar sebentar,” jawabku berbisik juga. Kembali kuletakkan jari telunjuk di depan mulutku. “Jangan bilang mamih sama papih. Aku cuma sebentar aja.” “Memangnya mau kemana sih? Aku ikut, dong.” Aku langsung mencebik. Apa jadinya kali Samudra ikut. Bisa tambah kacau nanti. Yakin, dia akan langsung laporan pada yang mulia ibu ratu dan tuan raja. “Kamu di rumah saja. Nanti aku beliin jajan,” Nah kan, terpaksa aku harus memberi adikku jatah preman, supaya dia tidak ikut dan menutup mulutnya rapat-rapat. “Aku ndak mau jajan.” “Lah ... kok?” Mungkin wajahku sudah cengo sekarang. Tidak biasanya Samudra menolak jajan. “Beliin ipad aja, Mbak. Aku males pake laptop.” Aku langsung mendelik. Dikira kakaknya ini sumur uang? Tinggal narik pakai ember trus sim salabim uang keluar? “Kalau ndak mau, aku teriak nih.” Mataku mendelik melihat mulut Sebastian terbuka, seolah sudah siap berteriak membangunkan sepasang singa yang mungkin sudah bersiap tidur. Dengan gerakan secepat angin topan—harap maklum, karena seharian berurusan dengan topan, sepertinya aku sudah tertular kecepatan angin topan yang sebenarnya. Kubekap mulut adikku lalu kuseret dia ke pintu. Kubiarkan Samudra mendelik sambil berusaha menarik lepas tanganku. Gini-gini aku pernah belajar taekwondo. Memang cuma sebentar, tapi lumayan lah … aku tidak jadi cewek yang menye-menye. Aku punya tenaga super yang bisa kugunakan untuk melawan adikku. Kubuka pintu susah payah dengan menggunakan siku, lalu kutarik adikku keluar, hanya untuk mendapati kedua orang tuaku ternyata duduk di kursi teras. Dua orang itu langsung menoleh bersamaan. “Awww ... awww!’ kukibaskan tangan kanan yang baru saja digigit oleh Sebastian. Sialan. Kupelototi adikku itu, lalu kugeplak keras punggungnya sampai dia berteriak. “Mih … Mbak Tifa nih, mau pergi diam-diam.” Lalu adikku itu memeletkan lidah ke arahku. Ishhh … sialan anak itu. Kukibas kembali tanganku sambil meringis. Ada bekas gigi-gigi Samudra di telapak tanganku. Asem, kesalku. Anak itu sudah berlari menghampiri kedua orang tua kami. “Kamu mau pergi kemana pakai dandanan kayak gitu, Tifa?” Nah kan, sudah pasti pertanyaan itu tidak akan luput dari bibir tipis yang mulia ratu. Kurapikan rambut pendekku. Hanya gerakan untuk mengalihkan rasa grogi karena setelah ini aku akan membohongi semua orang. Aku berdehem. “Kencan lah, Mih. Katanya suruh aku cepet cari suami, biar tidak dibilang perawan tua sama sahabat Mamih.” Bola mata emakku langsung membesar. Aku berdehem sekali lagi. “Maaf, Mih. Lidahku masih suka kepleset. Maksudku musuh besar Mamih.” Aku tersenyum menenangkan emak yang sudah seperti singa siap mengamuk. Emakku langsung menghentak keras napasnya. “Sebut perempuan itu sahabat Mamih sekali lagi, hilang jatah makanmu, Tifa.” Aku hanya meringis mendengar ancaman Mamih. Sebenarnya bukan masalah besar tidak mendapat jatah makan dari emak. Toh aku sudah bisa cari uang sendiri. Jadi bisa beli makanan di luar sana. Tapi, harus kuakui kalau warung-warung di luar sana belum ada yang bisa menyaingi kelezatan masakan emakku. "Kencan sama siapa? Jangan bohong." Ish ... emakku itu jadi orang feelingnya tajam banget. Mungkin karena biasa pegang pisau yang tajam. Sepasang mata emak memicing, tapi, beberapa detik kemudian emakku itu justru tertawa. Membuatku bingung sendiri. "Katanya Topan bikin males. Nyebelin." "Emang iya," jawabku cepat. Kenapa juga emak bahas lagi soal di lesus itu. Bikin males saja. Aku yakin wajahku sekarang sudah butek gara-gara diingatkan tentang si topan lesus. “Males kok mau kencan,” kata emak sambil menatapku dengan sepasang mata yang sudah kembali memicing. Ekspresi wajah emak tampak jelas sedang mengejekku. “Kan kencannya bukan sama—” “Assalamu’alaikum, Tante, Om, Sam.” Aku yakin bola mataku pasti sudah akan meloncat keluar dari kelopaknya lalu menggelinding ke lantai seperti fi film-film kartun itu, kalau saja mataku bukan buatan yang Maha Kuat. Sumpah demi apa. Seperti baru saja ada petir di siang bolong yang panasnya minta ampun, aku mendengar suara si Topan. “Sudah siap, Tip?” Lalu aku bisa mendengar suara tawa si Topan setelah memanggilku ‘Tip.’ Aku semakin kesal karena tidak hanya Topan yang tertawa. Emak, bapak, bahkan Samudra ikut tertawa. Mereka seperti sudah bersekongkol membuatku emosi. Kutatap marah adikku. Cukup adikku, karena aku tidak berani menatap marah bapak apalagi emak. Bisa kualat nanti. “Tante, Om … saya izin mau ajak Tifa keluar.” Suara Topan kembali terdengar membuat tawa keluargaku menghilang seketika. “Oh … silahkan. Yang penting bawa pulang Tifa sebelum jam 10.” Itu suara papih. “Kalau dia rewel, turunin di pinggir jalan saja nggak apa-apa, Topan.” Yang sadis ini sudah pasti emakku. Kulirik kesal emakku. Hanya sebentar. Tidak sampai satu detik. Kuputar kepala hanya untuk melihat Topan menyengir. Astaga. Aku tidak tahu sehoror apa ekspresi wajahku saat ini. Sumpah, rasanya seperti melihat hantu. Aku tidak memberitahu si Topan alamat rumah, bagaimana tiba-tiba dia bisa muncul? Apa mungkin aku sedang berhalusinasi? Atau mungkin di jalangkung? Kukucek mataku, berharap setelah itu penampakan di depan mata menghilang. Sayangnya, sampai kulebarkan mataku—sosok itu tidak berubah, apalagi menghilang. “Ayo, Tip. Katanya mau nonton.” Aku mendelik. “Wih … mobilnya bagus banget. Audi ya, Bang? Tipe apa yang itu, Bang?” Samudra langsung berlari menghampiri mobil warna hitam yang cat nya terlihat mulus dan mengkilat. “Itu yang Q5.” “Berapa M itu Q5, Bang?" “Cuma 1.3 M aja kok.” Sombong, batinku kesal. Aku hanya bisa menahan ringisan melihat adikku berjalan mengelilingi mobil sambil menyentuh body mobil. Samudra berlari kembali ke teras—tempat kami masih berkumpul. “Keren, Bang. Kapan-kapan ajak jalan, dong.” “Boleh … besok minggu gimana? Kita double date. Lo udah punya pacar belum?" “Udah dong, Bang.” Samudra menepuk dadanya bangga. “Sudah sana kalau mau pergi. Keburu kemalaman.” Emakku kembali bersuara. “Aduh, Mih … jangan dorong-dong kenapa?” Emak mendorongku hingga mau tidak mau kugerakkan kakiku. Kutatap kesal si Topan yang senyum-senyum tidak jelas. “Titip anak Mamih, ya, Topan ganteng.” Mataku melotot mendengar emak memuji si Topan. Ganteng dari mana? “Siap, Mih. Topan bawa calon istri Topan dulu, ya? Assalamu’alaikum.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN