SKANDAL
"LIZA HARUS KESINI SEKARANG JUGA!" pekik keras seorang pria dalam sebuah percakapan di telepon, menyebabkan lawan bicara terkesiap spontan menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Kau dengar sendiri 'kan, Liz? Kurasa telingamu masih cukup berfungsi menangkap auman harimau jantan," bisik sarkas sosok pria yang kini menutup lobang speaker ponsel. Takut-takut, lawan bicara yang sedang tantrum itu mendengar ejekan barusan.
"Berikan ponselmu, Lex." Wanita bernama Liza itu menimpali santai seraya mengulurkan tangan ke hadapan sosok pria bernama Alexander Kyle.
Wanita berparas cantik khas timur tengah itu langsung menjawab lawan bicara yang berteriak tadi. "Apa yang kau butuhkan sekarang?"
"Ch! Kemana saja kau, Wanita Brengs*k? Kenapa kau baru menjawabku sekarang?" Tak langsung merespon pertanyaan Liza, suara pria di saluran telepon itu malah memaki cukup kasar.
"Kau tidak perlu berkata kasar. Aku tau waktumu tidak banyak karena paparazi sudah mengepungmu, bukan? Sekarang lebih baik katakan apa yang kau butuhkan?" sahut Liza tak gentar seraya memutar bola mata dengan malas, seolah situasi seperti ini sering terjadi padanya dan ia sudah terbiasa.
"Hotel Diamond, Kamar 707. Gunakan Coath Guici maroon edisi B123 , Tas Luwe Vetong seri A55 broken white!"
"Ok."
Liza langsung memutus telepon sepihak setela perintah dirasa sudah jelas. Sang wanita lantas menghela napas berat, memijit keningnya sejenak. Lelah dan frustrasi tergambar jelas di wajah wanita berperawakan sintal nan berisi, berusia dua puluh enam tahun itu.
"Kali ini apa? Belencinaga? Tas Herges?" tanya Alex dengan nada kesal karena turut geram dengan perlakuan si pria penelepon barusan. Alex sendiri merupakan asisten pribadi Liza.
"Bukan keduanya. Cepat kau hubungi toko Guici dan Luwe Vetong. Pesan warna dan seri ini sekarang juga. Kita akan menjemput benda itu ke sana secepatnya." Liza menyodorkan ponsel berisi pesan warna dan nomor seri yang harus ia beli dari pria yang meneleponnya tadi. Tanpa bertanya lagi, Alex pun pamit untuk menunggu Liza di luar sembari segera menghubungi toko brand fashion merek ternama tersebut.
"Ibu, bertahanlah. Kau pasti akan cepat pulih. Inilah usaha yang terbaik yang bisa aku lakukan sekarang. Meskipun jika kau tau ... kau pasti akan malu mempunyai putri sepertiku." Liza membatin pilu sejenak di hadapan tubuh wanita paruh baya yang tengah tak sadarkan diri lengkap dengan beberapa alat medis sebagai penompang hidup.
"Aku pamit, Bu."
Wanita bersurai hitam kecokelatan itu pun mencium lembut pundak tangan sang ibu sebelum beranjak pergi dari ruang rawat tipe ICU.
Orang bilang, kau harus memiliki alasan untuk bertahan hidup. Ibu kandung yang sedang koma adalah alasan kuat Liza untuk tetap berdiri tegak walalupun dirinya sedang diinjak dan dipermainkan oleh takdir.
Seperti yang sedang terjadi saat ini, Liza tengah terpjebak dalam pernikahan yang tidak hanya menelangsakan hati, tetapi juga pikiran, dan tenaganya. Merasa tak punya pilihan lain, Liza menegakkan tubuh, melangkah maju menuju misi dadakan dari suami dzolimnya kali ini.
Dua puluh menit berlalu, mobil yang ditumpangi Liza telah sampai di basement parkiran Hotel Diamond.
"Ini gila! Paparazi di depan hotel penuh dan sesak. Aku berani bertaruh, ada diantara mereka berhasil menyusup dan mengawasi lantai dimana suami brengsekmu berada," oceh Alex mengungkapkan teori dengan mata membola tak percaya.
Namun, wanita bernama lengkap Elizabeth Davis itu seakan sama sekali tak peduli, bahkan terkesan acuh. Liza malah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menemui pria bermulut kasar yang sayangnya merupakan suami sahnya.
"Aku pergi dulu, Lex," pamit Liza singkat dengan raut datar kepada Alex.
"Liz, tunggu!"
Panggilan Alex seketika sukses menghentikan Liza yang hendak menarik tuas pintu mobil. Wanita itu lantas menolehkan wajah kepada pria yang mengenakan outfit polo shirt hitam lengkap dengan kacamata warna senada.
"Aku yakin ini akan segera berlalu. Bertahanlah. Aku akan selalu mendukungmu."
Mendengar dukungan dari sang asisten, hati Liza cukup tersentuh. Baginya, Alex tak hanya seorang asisten, akan tetapi satu-satunya teman dekat yang mengetahui betapa berantakan hidupnya sekarang. Bahkan, pria itu tak jarang menjadi tameng kala Liza sedang dalam masalah.
"Terima kasih, Lex," balas Liza singkat. Tak ingin terlarut dalam nelangsa, wanita itu memilih menjalankan tugas menyebalkan dari sang suami.
Dengan mengenakan hoody hitam yang menutupi kepala, Liza memilih masuk melalui pintu khusus pegawai hotel. Hal ini dimaksudkan agar rencana penyamarannya sempurna.
"Ah, melelahkan sekali pekerjaan ini," celetuk seorang gadis muda berseragam serupa staf hotel.
"Kau masih lebih baik, tugasmu hanya sebagai room service, datang ketika tamu memesan saja. Tidak seperti tugasku yang rutin membersihkan kamar kotor setelah dipakai tamu," timpal partner pria yang kini tengah duduk bersebelahan.
Keduanya sama-sama sedang berkeluh kesah mengenai lelahnya pekerjaan yang mereka jalani.
"Kalian mau uang tambahan?"
Melihat celah, Liza yang memperhatikan kedua staf hotel itu segera memulai misi, berinisiatif menawarkan uang dengan syarat staf wanita harus meminjamkan seragam yang sedang dipakainya sekarang. Sedangkan staf pria harus menjadi pemantau untuk aksi keduanya.
Awalnya, kedua staf itu saling melirik ragu karena takut akan tawaran Liza. Namun, setelah Liza menunjukkan dua tumpuk uang dengan nominal masing-masing 5 juta, kedua pasang netra staf hotel itu berbinar antusias dan menyetujui tawaran dadakan tersebut.
Liza mengatakan bahwa dirinya hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit saja lalu staf wanita bisa langsung mengambil seragam yang ia pakai di kamar 707.
Kedua staf hotel itu pun mangut-mangut setuju. Tanpa membuang waktu, Liza dan staf wanita mulai bertukar pakaian di dalam gudang berisi peralatan pembersih dengan dijaga staf pria dari luar pintu.
Selang tak berapa lama, Liza telah sukses berpenampilan serupa pelayan room service. Wanita itu mulai menaiki lift sembari mendorong roda besi lengkap dengan tudung saji di atasnya sebagai aksesoris pelengkap penyamaran.
TING TUNG!
"Room Service."
Berpura-pura sebagai staf room service, rencana Liza sejauh ini berjalan tanpa hambatan berarti. Saat ini, Liza telah sampai di depan kamar nomor 707 dan menekan bel kamar tersebut. Tanpa menunggu lama, seseorang terlihat membuka pintu kamar dan meminta Liza masuk.
"Lain kali, aku tidak akan mentoleransi keterlambatan, mengerti?" ketus seorang pria kepada Liza sesaat setelah wanita itu memasuki kamar. Namun, Wanita itu hanya bergeming santai seolah tak gentar sama sekali. Ia merespon dengan tatapan tak kalah sinis, menjawab seadanya tanpa penyesalan sedikitpun.
Bukan dari kalangan biasa, sosok pria dihadapan Liza merupakan seorang konglomerat sekaligus suami sah yang bernama lengkap Lukas Farente.
Lukas sendiri merupakan pewaris tunggal perusahaan rantai hotel bintang lima bernama The Farente Resort dengan puluhan cabang tersebar di seluruh negeri. Sayangnya, pria itu memiliki kebiasan buruk yakni kasar dan gemar berganti-ganti wanita meskipun sudah menikah.
"Sayang, apa kita akan bertemu lagi?" celetuk manja sosok wanita cantik berambut pirang menyela momen saling tatap sengit pasangan suami istri di hadapannnya. Ia bahkan tak sungkan menyusupkan ke lengan berotot Lukas untuk didekapnya.
"Coath maroon? Tas putih? Yang benar saja, selera Lukas kali ini sangat murahan." Liza memutar bola mata malas, mengejek dalam hati penampilan wanita yang dikencani suaminya kali ini.
Lain dengan perlakuan terhadap Liza, Lukas langsung merubah nada bicara menjadi lembut ketika membalas pertanyaan teman kencannya. Pria itu bahkan tak segan bermesraan di depan Liza yang berstatus sebagai istri sah.
Bohong jika Liza tak merasa cemburu dan sakit hati. Sebelum mengetahui perangai asli Lukas, wanita itu pernah jatuh hati sangat dalam pada pesona dan kebaikan sosok tampan sang suami.
"Kau sudah menyiapkan semuanya?" tanya Lukas mengkonfirmasi.
"Tunggu. Aku akan memastikan paparazi di lantai ini clear," balas Liza mengecek persiapan terakhir.
Liza kemudian menelepon seseorang dan menanyakan situasi di lantai tujuh. Setelah mendapat jawaban yang memuaskan, Liza segera menutup teleponnya dan mengganti baju pegawai hotel yang dikenakan dengan coath dan tas bermerek yang telah ia beli sebelumnya. Liza bahkan tak lupa memasang rambut palsu berwarna pirang untuk menyempurnakan penyamarannya.
"Bagaimana penampilanku? Apa aku sudah menyerupai teman kencan murahanmu saat paparazi menangkap basah kalian?" tanya Liza setengah mengejek.
"Sayang, dia mengejekku, huhu!" Teman kencan Lukas pun merajuk manja pada suami Liza.
Namun, anehnya. Lukas tak menanggapi kali ini dan malah sibuk menatap lekat ke arah penampilan seksi sang istri yang telah berubah mirip dengan wanita yang baru saja ia kencani.
"Halo?! Aku bicara padamu," cetus Liza sukses membuyarkan angan Lukas.
Pria itu lantas berdeham canggung seraya mengatakan bahwa ia merasa puas karena sang istri berhasil meniru penampilan sosok wanita pirang teman kencannya sewaktu mereka tertangkap basah oleh kamera paparazi.
Sepuluh menit kemudian.
Suara khas shutter kamera paparazi menggema bersahut-sahutan lengkap dengan cahaya flash bertubi-tubi mengeluarkan ratusan kali kilatnya, mengiringi kemunculan pasangan Lukas dan Liza yang tengah bergandengan tangan keluar dari pintu hotel.
"Tuan Farente, bukankah tadi anda bersama wanita lain berambut pirang?"
"Apakah benar anda berselingkuh?"
Hampir semua paparazi melontarkan pertanyaan yang sama kepada Lukas. Sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, pria itu menanggapi dengan tenang dan berkata, "Kalian telah salah paham. Yang selalu bersamaku adalah istriku sendiri. benarkan, Sayang?" Lukas menoleh arah Liza di sebelahnya, bergelagat manis mengharapkan kerjasama sang istri.
"Ah, benar sekali. Kalian telah salah paham. Aku bosan dengan warna rambut hitam, jadi aku melakukan perubaban warna rambut. Aku sedang suka warna pirang," balas Liza memasang raut manis mengikuti permainan Lukas.
Berbeda dengan sikap di atas tadi, Liza dan Lukas benar-benar kompak berkerja sama saat ini yakni bersandiwara sebagai pasangan suami istri serasi di hadapan paparazi.
"Aku tidak mungkin berpaling kepada wanita lain karena ...." Ada jeda, pandangan Lukas yang sebelumnya menghadap ke arah kamera kini beralih menatap lembut manik coklat milik Liza. "Aku hanya mencintai istriku seorang."
Mendengar pengakuan Lukas, tubuh Liza mendadak membeku di tempat, lidahnya pun kelu tak dapat berkata-kata. Sungguh, ia tidak tau harus merespon apa.
Seharusnya Liza bahagia, sang suami mengaku kepada seluruh dunia bahwa ia sangat mencintainya, hanya Liza satu-satunya wanita yang Lukas cintai. Namun, semua tak lebih dari sandiwara semata.
Kau pembohong besar, Luk. Aku sangat membencimu.