Mencuri Pandang

1361 Kata
"Minta maaf sekarang juga!" tegas Liza seraya menatap tak gentar wanita cantik yang perawaknnya lebih tinggi bak model di hadapannya. "What? Kau memintaku untuk minta maaf pada pelayan rendahan?" Da*a sang wanita semakin panas kala Liza memerintahkannya untuk segera meminta maaf kepada staf hotel yang dengan sengaja ditampar olehnya barusan. "Tidak ada yang lebih rendahan daripada seseorang yang hanya bisanya merendahkan orang lain. Jika kau merasa dirimu terhormat maka kau harus berlapang hati meminta maaf atas kekerasan yang telah kau perbuat, Nyonya." Liza menekan nada bicara, masih bersikukuh dengan pendapatnya. "Ch! Kau lebih membuatku jijik daripada pelayan itu sekarang. Kau tidak tau siapa aku, huh!?" "Cukup, Jena!" Suara bariton seorang pria tiba-tiba menyeruak di antara situasi bersitegang Liza dengan seorang wanita bernama Jena. Sontak keduanya menoleh ke arah sumber suara. Sesosok pria tampan nan gagah seraya mengenakan kacamata hitam tengah berjalan dengan elegan mendekati ke arah perseteruan. Polo shirt putih lengkap dengan celana panjang kasual berwarna senada tak mengurangi kesan karismatik pria itu. Hampir semua mata di sana teralih pada presensinya. Bahkan Liza yang tidak memprioritaskan pria manapun sekarang ini, seolah tersihir oleh sosok dingin nan misterius sang pria yang dirasa memiliki aura penakluk. Netra bulatnya pun terpaku sedari awal pria itu berjalan hingga kini berada dalam jangkauan. "Al ...." Lamunan Liza teralih oleh lenguhan gugup wanita berna Jena. Liza lantas dengan cepat melerai tatapan dari sosok sang pria dengan canggung. Sejurus itu, Jena yang tadinya bersikap angkuh, kini berubah gugup, seolah sungkan terhadap sang pria. Lebih tepatnya Jena terlihat ketakutan. "Nona ini benar, kau tidak seharusnya memukul dan merendahkan orang lain. Cepat minta maaf," perintah sang pria bertutur ramah. "Ch! Maaf." Walaupun terdengar tak tulus, Jena pasrah dan segera menuruti kemauan pria di hadapannya yakni meminta maaf singkat kepada staf hotel. Tak tahan berlama-lama, Jena pun izin kepada pria iu untuk pergi ke kamar duluan. Sang staf hotel wanita tak punya pilihan lain selain menganggukan kepala canggung, setuju memaafkan prilaku semena-mena Jena. Ia pun turut pamit dari hadapan pria yang belum diketahui namanya itu dan juga Liza. "Sekali lagi, aku minta atas perlakuan istriku," ujar sang pria yang mengaku suami Jena. Oh, jadi wanita pemarah itu istri pria ini. Sifatnya sangat berbanding terbalik dengan suaminya. Tak langsung beranjak, diam-diam netra suami dari wanita Liza Jena menelaah sejenak rupa Liza dari balik kacamata hitam yang dikenakan. Ini aku yang merasa besar kepala atau dia memang sedang menatapku dibalik kacamatanya? Liza mendadak menerka-nerka dalam hati, merasa pria di hadapannya sedang menatap dirinya dari balik kacamata hitam. "Kalau begitu, aku permisi." Tanpa membahas lebih jauh, pria itu pun pamitan singkat dari hadapan Liza. "Tunggu, Tuan." Baru beberapa langkah beranjak, kalimat Liza sukses membuat sang pria berbalik. "Terima kasih karena kau telah bersikap bijak," puji Liza seraya menyunggingkan senyuman. Namun, sang pria malah mengangkat alis kanannya sebelum merespon. "Kusarankan berhati-hatilah dalam berucap, apalagi tersenyum kepada orang asing." Aneh, pri itu malah berkata sarkas memperingatkan Liza. "Apa maksudmu?" tanya Liza kebingungan. "Kau tak ingin terdengar seperti sedang merayu suami orang, bukan?" Entah apa masalahnya, maksud ucapan sang pria nyatanya menyerang Liza. "Apa?!" Tentu saja, ucapan pria itu berhasil menyulut emosi di d**a. Namun, belum sempat Liza melampiaskan amarah, dengan cepat pria itu melesat pergi. "Hey, tunggu!" GREB! Ketika akan mengejar pria asing yang telah menyindirnya barusan, Liza merasakan lengannya ditahan oleh seseorang. "Kau kenapa, Liz?" Sosok itu tak lain adalah Alex yang baru saja kembali dari toilet. "Aish!" Wanita ber-outfit kemeja bahan satin itu malah menggerutu kesal. Namun, tak ingin berlanjut terbawa emosi, Liza pun langsung mengatur ritme napasnya. "Hey, apa Lukas membuatmu kesal lagi?" tanya Alex menerka alasan sahabat yang sedang kesal. "Hujan meteor akan terjadi jika Lukas tiba-tiba membuatku tenang, Lex. Tapi bukan Lukas masalahnya," sergah Liza. "Hahaha. Lalu?" "Akan kujelaskan nanti setelah sampai di kamar." "Baiklah, Nyonya Farente." "Iyuh!" Liza berdecak jijik. "Tolong panggil namaku tanpa nama belakang itu. Aku sangat jijik mendengarnya," protes Liza. Nama belakang 'Farente' yang disandang Liza selalu sukses membuatnya bergidik ngeri setiap ada yang memanggil dengan sebutan itu. Bukan karena membenci keluarga besar Farente, lebih tepatnya karena sosok Lukas yang memuakkan di dalam circle keluarga tersebut. Lucu bukan? Ketika kita membenci satu orang, maka nama besar keluarga lah yang akan terbawa-bawa. *** Keesokan harinya. Alex sibuk mengatur persiapan pertemuan dengan pasangan bangsawan Xavier hari ini. Sebuah ruangan konferensi berukuran sedang yang merupakan salah satu fasilitas hotel telah disulap menjadi ruang pertemuan berkelas nan elegan untuk menyambut pasangan suami istri keturunan bangsawan. "Aku suka dengan design interior pilihanmu, Lex. Bagaimana dengan hidangan?" Liza yang baru saja tiba langsung menepuk pundak sang asisten sebagai bentuk apresiasi bangga seraya menanyakan proses persiapan lainnya. "Aman, Liz. Aku sudah memastikan chef terbaik kita untuk menyiapkan hidangan penutup maupun main course andalan The Farente Resort." Liza juga memuji hasil kerja Alex yang dengan cekatan meng-handle semua persiapan menyambut tamu penting kali ini. "Oh iya, bolehkah aku melihat tampang keturunan bangsawan yang menjadi tamu penting hari ini?" pinta Alex yang sedari awal ditugaskan tak pernah sekalipun melihat atau tahu mengenai informasi maupun rupa pasangan suami istri Xavier. "Ah, kau belum melihat fotonya, ya. Tunggu." Liza langsung men-scroll poselnya digenggaman, menunjukkan foto pasangan yang dimaksud. DEG! Tubuh Alex mendadak beku sesaat setelah melihat sosok istri yang merupakan calon investor. "Lex?" seru Liza. Namun, Alex sama sekali tak mengindahkan Liza. "Lex! Kau kenapa? Mengapa wajahmu tiba-tiba pucat? Kau sakit?" Liza melayangkan rentetan pertanyaan karena melihat wajah Alex yang semakin pucat. "Ah, tidak. Aku hanya—" "Nyonya, maaf. Tamu penting sudah datang," sela salah satu pelayan hotel. "Oh, no!" Liza pun terkesiap. Tak dapat dipungkiri rasa gugup dan frustrasi semakin menjadi-jadi. Wanita itu benar-benar takut jika misinya gagal. Bagaimana jika investor itu tidak puas dengan performanya sebagai tour guide? "Lex, ayo!" Tak ingin terlarut dalam pikiran negatif, Liza meminta Alex ikut dengannya mendampingi. "Kemana?" "Temani aku menyambut tamu itu, apalagi yang kau tunggu?" Liza berdecak sebal, sikap Alex kurang tanggap barusan. "Ah, aku lupa. Aku belum memastikan sekali lagi para staf hotel yang terlibat dalam pertemuan nanti. Kau duluan saja," kelit Alex. Tanpa menunggu respon sang atasan, pria berperawakan tinggi itu mengambil langkah seribu seakan menghindari Liza. "Ergh, Ada apa dengannya?" Liza merutuk tak percaya Alex kabu dari hadapannya. "Baiklah. Kau pasti bisa, Liza. Kau pasti bisa, Semangat!" Bibir Liza berkomat-kamit seolah merapal mantra. Beberapa saat kemudian. "Selamat datang—" Sapaan Liza mendadak terjeda kala melihat sosok wanita dengan style rambut cepol rapi tak asing di hadapannya. "Kau wanita yang menampar staf semalam?" Meskipun Jena semalam memakai kacamata hitam dengan rambut terurai, Liza tetap masih dapat mengenalinya dari gaya bicara. "Dan kau si wanita sok pemberani tadi malam," sindir Jena. "Ah, pantas saja kau berani. Rupanya kau adalah kepala pelayan di hotel ini." Jen menambahkan cemoohan karena melihat Liza berdandan memakai setelah blazer hitam putih mirip dengan para staf pelayan. Gawat, jika dia wanita pemarah semalam, maka suaminya yang menyindirku itu adalah .... "Selamat pagi. Maaf aku terlambat karena harus ke toilet," Sesosok pria berjas hitam rapi lengkap dengan dasi berwarna senada. Ya, sosok itu adalah Aldrick Xavier suami Jena—investor keturunan bangsawan. Liza terperanjat, terkaannya benar bahwa ternyata secara langsung dirinya telah bertemu dengan pasangan investor penting malam tadi. Kecanggungan hebat menghampiri Liza. ia bahkan meneguk liurnya tepat saat matanya dan Aldrick bertemu. "Liz, aku kembali," tutur Alex menyeruak di tengah situasi canggung. Liza sedikit menyenggol tubuh Alex, memberi tanda bahwa tamu penting sudah ada di hadapan mereka. "Ah, kalian pasti Tuan dan Nyonya Xavier. Perkenalkan, namaku Alex, asisten dari Nyonya Liza Farente." Alex memperkenalkan diri dengan ramah. DEG! Sementara itu, Jena terperangah tak percaya diiringi air muka yang berubah pucat ketika melihat sosok Alex. Alex? Menga-pa dia ada di sini? Bisa gawat jika Aldrick sampai tau bahwa Alex adalah mantan kekasihku. *** "Apa kau bahagia, Norin?" tanya Lukas pada sosok disebelahnya yang tak henti merangkul lengan milik suami dari Liza. Sosok itu kemudian menggangguk antusias. Lukas dapat merasakan dari gerakan cepat kepala gadis yang tengah bersandar di lengannya. "Syukurlah. Sebentar lagi kita akan sampai di pulau dewata yang sangat indah." Ucapan Lukas tak kalah antusianya, senyuman pun tak henti terukir dari bibir pria berjanggut tipis itu. Hanya dalam waktu beberapa menit, jet pribadi yang mereka tumpangi akan mendarat di Airport Bali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN