(Bukan) Pinangan Impian

1278 Kata
Dear Liza, Surat ini khusus kubuat untukmu. Maaf sebelumnya jika aku yang bukan siapa-siapa, tapi telah mengejutkanmu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa mengenalmu dalam beberapa bulan terakhir telah membuat semangat hidup yang kurindukan bangkit lagi. Meskipun aku tau, aku tak akan lama lagi di dunia fana ini. Aura riangmu mengingatkanku kepada cucuku Lukas sebelum ia sibuk karena pekerjaannya. Terima kasih telah menemani dan menghiburku selama aku menempati ruang Anyelir. Oh iya, kau tidak perlu khawatir tentang ibumu, Liz. Ibumu sudah kujaminkan sampai ia sembuh nanti. Aku bersumpah, aku tulus menolongmu. Di dalam wasiatku yang sudah divalidasi di depan petugas hukum ini, aku membebaskan dirimu dari segala tuntutan penggantian biaya. Anakku Sarah juga turut menjadi saksi. Hanya saja ... Aku memiliki keinginan terakhir dan kuharap kau mau mewujudkannya. Liza, aku ingin kau menjadi bagian dari keluarga Farente. Aku tau kau selalu berjuang sendiri, Nak. Aku sedih jika melihatmu menyembunyikan air mata dibalik guraumu. Menikahlah dengan cucuku, Liza. Dia adalah pria penyayang yang aku yakin akan tulus menyayangi serta menjaga wanita sebaik dirimu. Semoga kau dan Lukas selalu bahagia dalam sebuah pernikahan yang utuh, tak terpisahkan. Salam Marla Farente. Tangan Liza masih gemetar sembari memegangi sepucuk surat wasiat dari nenek Marla. Gadis itu tak percaya bahwasanya nama dirinya tertulis dalam wasiat pasien yang ia rawat—yang ternyata berasal dari keluarga konglomerat. Netra bulatnya berkaca-kaca diikuti napas tersenggal tak beraturan. Kesedihan yang mendalam sedang menguasainya, Liza menangis dalam diam. Tubuhnya mematung dengan posisi duduk tegap di salah satu kursi tunggal dalam ruangan bernuansa ukiran kayu berwarna kecokelatan dalam Mansion Farente. Setelah kemarin sempat menyambangi kamar Anyelir untuk meminta penjelasan nenek Marla, Liza tidak menyangka bahwa itu merupakan interaksi terakhir dengan sang penyelamat ibunya. Wanita paruh baya berusia enam puluh tahun lebih itu menghembuskan napas terakhir sekitar pukul lima sore. Sarah sebagai putri tertua mendiang Marla sendiri yang mengabari Liza kabar duka yang menimpa sang ibu. Selain itu, Sarah juga meminta Liza agar datang ke Mansion Farente keesokan harinya untuk turut menghadiri prosesi pemakaman. "Kau Liza?" Liza terperanjat dan buru-buru mengusap pipi cepat seiras suara berjenis bass milik seorang pria menyapanya dari arah belakang. "Benar dan kau ...." Liza membalikkan tubuhnya, menghadap lawan bicara. DEG! Namun, tubuh Liza seketika mematung, menangkap presensi pria beraut teduh di depannya saat ini. Bagaimana tidak, sesosok pria tampan, berahang tegas tengah berdiri di hadapannya. Kemeja polos berwana hitam yang ia kenakan semakin menambah kesan kharismatik pria bermanik biru laut itu. "Dia ... pria berjas maroon kemarin, bukan?" terka Liza dalam hati. "Aku Lukas, cucu nenek Marla." Liza terkesiap sekali lagi imbas sapaan Lukas barusan. Gadis itu semakin canggung, jemari kanannya spontan meremat ujung baju gugup. Untuk sejenak, Liza tidak tahu harus menjawab apa. "Ah, aku menakutimu, ya? Maaf." Lukas menggaruk tengkuknya yang tak gatal imbas canggung saat melihat sekilas rematan jemari Liza. Sang pria segera meminta maaf jika presensi dadakannya membuat Liza tidak nyaman. Sembari mengulas senyuman, Lukas lantas mengulurkan tangan ramah, mengajak Liza berkenalan. Meski ragu, Liza menyambut uluran tangan Lukas. Saling jabat tangan pun terjalin. Namun, tak sampai beberapa detik Liza menarik jabat tangan cepat-cepat. "Hehe, kau tidak menyukaiku, ya? Atau aku benar-benar menakutimu?" Lukas terkekeh seraya menerka. "Tidak, bukan masudku seperti itu. Aku hanya ... sedikit gugup," bantah Liza buru-buru. "Lalu ... apa itu berarti kau menyukaiku?" goda Lukas yang sukses membuat rona merah muda di pipi Liza menguar jelas. Sang gadis pun spontan segera menangkup kedua pipinya kemudian sementara Lukas kembali terkekeh gemas tanpa mengalihkan tatapan. "Jangan ditutup. Aku menyukai rona pipimu, Liza." Sungguh, perangai Lukas saat itu cukup membuat jantung Liza berdebar kencang. Tak dapat dipungkuri, senyuman manisnya mampu membius dan menyentuh bagian dalam hati sang gadis. "Jangan bergurau. Kau pikir ini lucu?" protes Liza tak ingin terlalu larut oleh godaan Lukas. "Hahaha. Maaf, bukan begitu maksudku. Aku hanya ...." Ada jeda, Lukas tiba-tiba menghentikan kalimatnya. Netra yang baru saja terlihat antusias kini berganti meredup sendu. "Aku hanya tidak ingin terlarut dalam kesedihan. Aku sedang mencoba meyakinkan diriku bahwa nenek kesayanganku sedang berbahagia meski kami sudah berbeda tempat sekarang," lanjut Lukas terdengar pilu. Oh tidak! Kau membuat pria itu bersedih, Liz. Liza kini membatin sesal. "Aku yang seharusnya minta maaf. Aku lupa bahwa kau sedang berduka." Liza sontak meminta maaf, merasa bersalah terhadap pria yang merupakan cucu dari malaikat penolongnya. "Kalau begitu, menikahlah denganku, Liza." DEG! "Apa?!" Kali ini netra Liza membola sempurna diiringi mulut yang turut menganga lebar. Tawaran dadakan Lukas bagai ledakan bom yang baru saja yang sukses mengobrak-abrik hati sang puan. "Menikahlah denganku sesuai wasiat nenek." Lukas mengulang ajakannya untuk menguatkan alasan meminang Liza menuju pelaminan. Lebih lanjut pria itu menjelaskan bahwa tidak keberatan menjalankan pernikahan dengan gadis asing karena ia percaya dengan pilihan sang nenek. "Aku tau, aku pun asing bagimu, Liz. Tidak ada cinta di antara kita. Tapi banyak yang bilang, cinta akan datang seiring waktu berjalan. Sembari menunggu itu terjadi, aku akan berusaha menjadi suami yang terbaik untukmu." Ini gila! Ini bukan mimpi, kan? Aku sedang dilamar oleh seorang Billionaire tampan? Liza masih tertegun tak percaya. Ucapan manis Lukas sukses membuat kupu-kupu dalam perutnya beriak. Liza terpesona bahkan hatinya telah jatuh pada pria yang kini memangkas jarak perlahan di antara mereka. "Pikirkanlah baik-baik. Aku akan menunggu jawabanmu." Lukas menatap dalam netra Liza, menyelami keindahan iris berwarna hitam kecoklatan milik sang gadis. "Tidak," cetus Liza singkat. Sempat terkesiap akan respon penolakan Liza. Namun, Lukas tetap menegak tubuh berusaha tegar. "Baiklah. Aku tidak akan memaksa—" "Maksudku ... aku tidak butuh waktu untuk berpikir. Ayo kita menikah," ajak Liza yang ternyata menerima pinangan Lukas. Keduanya sempat terdiam canggung diiringi saling tatap intens. Beberapa saat kemudian, kedua insan itu pun kompak mengulas senyum sipu secara bersamaan tanpa melepaskan pandangan untuk mencairkan suasana. Lukas tidak mengetahui bahwa Liza sebenarnya telah jatuh hati sejak pertemuan pertamanya di rumah sakit. Perjalanan cinta yang terlalu singkat itu berakhir bahagia di pelaminan. Namun ... benarkah? Setelah Lukas dan Liza melakukan resepsi pernikahan yang cukup megah, aela malapetaka pun dimulai. Bukannya mendapat kebahagian malam pertama layaknya pasangan suami istri yang sedang berbahagia, Liza harus menelan pil pahit karena Lukas tak sebaik yang ia bayangkan. Sang suami tiba-tiba mencengkram kuat lengan Liza yang telah resmi menjadi istrinya malam itu, menarik paksa menuju ruang kerja, lalu mendudukannya di salah satu sofa di dalam sana. "Sakit, Luk! Mengapa kau melakukan ini? Apa salahku? Aku hanya bertanya kemana kita akan bulan madu? Apakah aku salah?" Liza meringis, memegang lengan yang sakit akibat aksi Lukas barusan. Namun, bukannya merespon, pria yang telah sah menjadi suaminya malah terlihat sibuk mengeluarkan beberapa lembar dokumen dari laci meja kerja. Setelah mendapatkan yang dicari, Lukas yang masih mengenakan kemeja putih sama saat resepsi tadi segera menghampiri Liza . "Aku ingin kau membaca itu dengan saksama dan menandatandangani segera," titah Lukas ketus. Dengan raut kebingungan Liza lantas meraih tumpukan kertas tipis di hadapannya dan mulai membaca isi dokumen tersebut. "Surat perjanjian ... pernikahan? Apa ini, Luk? Aku sama sekali tidak mengerti." "Ch! Jangan naif, Liz. Kau pikir seorang Billionaire sepertiku yang bisa mendapatkan wanita manapun akan tiba-tiba jatuh cinta pada seorang perawat rendahan sepertimu, huh? Seperti di dalam novel, begitu?" cemooh Lukas. "Ck. Kau memang bod*h!" Kali ini rutukan kasar keluar dari mulut pria berjanggut tipis itu. "Apa maksudmu?" "Kau tak lebih dari sebuah misi untukku, Liz. Misi untuk mencapai tujuanku semata." Ucapan Lukas seolah menamparnya. Sang pria benar, Liza hanyalah gadis naif yang terlalu percaya akan sandiwara pria asing yang baru saja ia kenal. Tanpa menyelidiki latar belakang, Liza yang begitu polos saat itu menerima begitu saja pinangan sandiwara Lukas yang merupakan cucu dari nenek baik penolongnya. Kau bilang cucumu penyayang, Nek? Kau bilang dia akan menyayangiku dengan tulus, bukan? Kau salah. Dia bahkan menghancurkan harapanku di hari pertama kami menikah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN