Playing With Fire

1800 Kata
-Apakah harus merasakan kehilangan untuk menyadarkan perasaan?- ***  Melihat punggung tegap itu semakin menjauh, Aurora segera bangkit dari posisi duduknya dan mengikuti langkah Angkasa menuju parkiran. Cowok itu berjalan pelan sambil memukuli bahunya dengan kepalan tangan. Sepertinya benar-benar pegal. Aurora kan jadi merasa bersalah. "Enam jam gue tidur, dan lo nggak ada niatan bangunin gitu?" Angkasa menolehkan kepala namun langkahnya tidak berhenti. "Bukannya tadi udah gue bangunin?" "Maksudnya tuh daritadi, Asa. Kan pundak lo jadi sakit." "Makanya lain kali gak usah tidur di bahu gue." Aurora cemberut mendengarnya, tapi tetap saja tidak bisa mengalahkan rasa senangnya. Kalau boleh jujur, tadi adalah tidur ternyenyak dalam pejam Aurora. Sudah cukup lama dia tidak merasa sedamai itu ketika tidur. "Aurora." Aurora menoleh pada suara yang akhir-akhir ini familier di telinganya. Pupil matanya membesar kaget mendapati lelaki tinggi yang berdiri sendirian di dekat pos satpam. Langkah Aurora jadi membelok menuju cowok itu. "Aga!" Dia melambaikan tangan. Angkasa tertegun sebentar di tempatnya. Matanya menangkap interaksi Aurora dengan seorang lelaki asing yang tampak akrab. Sesaat dahi Angkasa terlipat merasa pernah melihat cowok itu tapi lupa dimana. Akhirnya dia ikut mendekat walaupun sebenarnya Angkasa lebih suka menuju parkiran dan membawa motornya untuk pulang. "Lo kok disini?" Mata Aurora berbinar tanpa sebab. Angkasa cukup heran melihat antusiasme cewek itu yang berlebihan. Lalu matanya bergantian melirik lagi pada cowok yang sekarang tampak senyam-senyum pada Aurora. "Gue dengar ada perayaan di sekolah lo dan katanya siapa aja boleh datang." "Oh iya! Tapi ini mau maghrib, acaranya udah selesai, kali! Lo mah telat!" "Gapapa, udah liat lo." Angkasa tidak ingin peduli pada tangan cowok itu yang sekarang seenak udel menjembel pipi Aurora, dan dia tidak ingin peduli pada binar mata Aurora yang memandangi dengan sorot tertarik. Tapi nggak tahu kenapa, Angkasa hanya merasa ingin menarik Aurora jauh-jauh dan mendorong keras lelaki kerempeng itu ke belakang. Namun sebelum niatnya terwujud, Aurora lebih dulu berkata, "Oh iya, Asa kenalin ini Galaksi. Aga kenalin ini Angkasa." Akhirnya kedua netra pekat itu saling bertubrukan. Dengan pandangan sama-sama datar namun sarat akan aura permusuhan. Entah kenapa. "Asa?" "Aga?" Keduanya mengulang kompak. Aurora jadi bergantian menatapi Angkasa juga Galaksi yang rasa-rasanya menguarkan hawa horor sampai Aurora merasa merinding. Kenapa rasanya jadi agak canggung, ya? "I—iya. Asa... Aga." Angkasa yang lebih dulu memutus kontak dan beralih menatap Aurora dengan alis menyatu. Heran. Kenapa cewek satu ini gampang banget kasih nama panggilan untuk orang yang tidak terlalu dia kenal. Mana namanya hampir mirip dengan panggilan Angkasa. Apa tadi katanya? Aga? Kalau Angkasa saja disingkat dan dipanggil Asa, kenapa singkatan Galaksi nggak jadi Asi aja, gitu? Karena Angkasa tidak sudi Aurora memanggil Asa dan Aga dalam kalimat yang sama. Berasa jadi kembar sialan. Tapi sudahlah. Angkasa tidak ingin pusing lebih jauh lagi. Ditariknya Aurora untuk kembali ke tujuan mereka, ke tempat parkir. Namun lagi-lagi terhenti. Karena Galaksi juga menarik tangan Aurora yang lain. Sekarang perhatian Angkasa sepenuhnya terpusat pada cowok itu. "Lepasin tangan lo, kita mau pulang." "Tapi gue belum selesai ngobrol sama Rora." "Apa gue kelihatan mau nungguin obrolan kalian?" "Lo bisa pulang duluan. Biar Aurora gue yang antar." "Apa gue kelihatan mau biarin Aurora diantar pulang sama cowok asing?" "Gue cuma asing buat lo. Bukan buat Rora. Dia kenal gue." "Dan gue nggak sembarangan biarin Aurora pulang sama orang yang gue anggap asing meskipun dia kenal lo." Aurora menelan ludahnya panik sendiri. Dua laki-laki yang dipertanyakan tempramennya kini saling berpandangan dan Aurora tidak bisa mengatakan kalau tatapan mereka ramah. Bisa dirasakan dari pegangan keduanya pada tangan Aurora yang mengencang. Sepertinya kalau dibiarkan lebih jauh, akan ada pertunjukan baku hantam di depan matanya sendiri. Mana suasana sekolah terlihat sepi. Kalau mereka berantem, Aurora mending kabur aja apa, ya? "Ehem. Hello, guys." Aurora berhasil membuat dua cowok bertatapan tajam itu menjatuhkan pandangan mereka padanya. Tetapi cuma sebentar, karena keduanya saling bertatapan tajam lagi. "Apa lo nggak biarin aja Aurora yang milih mau pulang sama siapa? Lo atau gue." "Gue nggak mau ngerasa sebagai barang yang harus dipilih." Galaksi terlihat berdecak kesal. Dan Aurora membelalak ketika tangannya tak lagi jadi rebutan dua cowok itu. Sekarang Galaksi maju mendekati Angkasa, yang langsung membuat Angkasa membusungkan dadanya menantang. Keduanya berhadapan. Tinggi mereka sama. "Gue cuma mau ngobrol sama Rora. Dan gue nggak butuh izin dari siapapun, termasuk lo." "Salah. Aurora butuh izin dari gue." "Lo siapa sih, ha?" Nada suara Galaksi meninggi. Cowok bernama Angkasa ini benar-benar menguras kesabarannya. Satu alis tebal Angkasa terangkat songong. "Yakin mau tau?" Galaksi mengangkat wajah menunggu jawaban. "Tunangannya." Angkasa yakin siapapun yang mendengarnya akan langsung terpukul mundur dengan telak. Status itu tidak main-main. Dan sepertinya berhasil. Karena dia melihat lelaki bernama Galaksi ini melebarkan matanya terkejut. Entah kenapa rasanya puas melihat wajah culas Galaksi yang meredup. "Ra, bener?" Galaksi bertanya pada Aurora. Awalnya cewek itu mengerjap-ngerjap, namun kemudian mengangguk linglung. Galaksi terdiam lama. Apa cowok itu sudah sadar dimana posisinya? Rasanya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Semuanya sudah jelas sekarang dan kalau cowok bernama Galaksi itu cukup tahu diri, maka harusnya dia berhenti sampai disini. Angkasa menarik tangan Aurora. "Ayo." Dengan langkah terseret Aurora mengikuti Angkasa namun matanya tak berpaling dari Galaksi yang masih berdiri diam di tempatnya. "Apa artinya gue harus minta izin dulu sama lo?" Suara Galaksi terdengar berteriak di belakang sana. Angkasa menghentikan langkahnya namun tidak berbalik. Dan bisa dia rasakan Galaksi yang berderap mendekat hingga mereka kembali berhadapan. "Kalau gitu," Galaksi menjeda ucapannya untuk memandang lamat wajah Angkasa. Kemudian tersenyum tipis. "Gue minta izin, ajak tunangan lo main besok minggu, boleh?" Rahang Angkasa mengeras seketika. *** Angkasa sudah tidak ingat berapa kali dia berguling ke kanan dan ke kiri sambil berusaha memejamkan matanya. Suara hujan di luar sana tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang kacau. Mengingat besok adalah hari Minggu, dimana itu adalah hari yang dijanjikan Aurora untuk pergi bersama Galaksi, Angkasa tidak bisa menahan diri untuk tidak kesal. Angkasa berguling ke kiri dengan grasak-grusuk. Lalu berguling ke kanan. Lalu ke kiri lagi. "Ah sial!" Cowok itu melemparkan bantalnya sembarangan. Dadanya benar-benar sesak tanpa alasan yang jelas. Angkasa ingin marah. Mengingat lagi percakapan tempo hari di sekolahnya, Angkasa menggeram kesal. "Asaa, udah. Jangan berantem! Oh iya, Aga, mau main besok? Kebetulan gue lagi nggak ada acara. Ayo." Angkasa tahu kalau Aurora hanya ingin menghentikan percakapan panas itu sebelum menjadi sebuah perang besar. Tapi kenapa harus menerima ajakan Galaksi? Dan juga, datang dari mana lelaki bernama Galaksi itu? Dimana Aurora bertemu dengannya? Dan kenapa Aurora bisa sampai kenal dengan cowok bermuka ngeselin itu? Bukannya hidup Aurora tidak jauh-jauh dari Angkasa? Kenapa bisa ada seseorang yang masuk di kehidupannya dan luput dari pandangan Angkasa? Namun ada satu hal lain yang tak kalah ruwet menjadi beban dalam pikiran Angkasa. Kenapa dia harus peduli? Kenapa harus marah? Jika Aurora menerima lelaki lain dengan tangan terbuka, bukankah seharusnya Angkasa senang? Karena itu artinya cewek yang selama ini merepotkan hidup Angkasa akan berpaling dan merepotkan orang lain. Harusnya Angkasa merasa... bebas, kan? Namun mengingat lagi bagaimana Galaksi dengan senyuman remehnya memandang Angkasa disaat cowok itu tahu kalau Angkasa adalah tunangan Aurora —dan bahkan berani mengajak Aurora jalan di hadapannya, membuat ego seorang Angkasa terluka. Dia merasa tidak dihargai. Iya. Ego. Angkasa hanya merasa egonya sebagai lelaki tersentil. Dan Galaksi salah jika dia mau bermain-main dengan Angkasa. "Oke!" Angkasa menepuk kasurnya keras lalu mengepalkan tangannya mantap. Jika Galaksi sudah menyulut api, maka tugas Angkasa adalah membakarnya. *** Paginya di hari Minggu ini Angkasa sudah berada di meja makan dengan rapih, bahkan dia sudah mandi. Sebuah keajaiban memang mengingat jam kebo lelaki itu kalau sudah menghadapi hari libur. Pelangi yang baru saja pulang jogging, langsung mengernyit tak mahfum. Ia memandangi Angkasa dari sejak masuk ke dalam rumah, pandangannya tak lepas sampai dia berdiri di samping Angkasa yang sedang menyuap nasi. Pelangi menempelkan punggung tangannya ke kening sang kakak. "Paansi?" Angkasa menjauh risih sehingga membuat Pelangi semakin menyipitkan matanya aneh. "Ini Angkasa, bukan?" "Apa gue kelihatan kayak maung?" Angkasa mengunyah malas. "Lo kelihatan... beda," Pelangi memindai penampilan Angkasa yang sekarang berubah jadi Sherlock Holmes dengan pakaian serba hitamnya. Jaket hitam, kaus hitam, jeans hitam, sneakers hitam, dan wow, ngapain Angkasa pakai kacamata hitam segala di dalam rumah? "Mau ngelayat kemana, kak?" Angkasa memutar bola matanya. "Lo tau nggak arti kamuflase?" Pelangi tampak berpikir sebentar. "Lo lagi nyamar jadi detektif?" Kemudian bola mata Pelangi melebar tak percaya. "Jangan-jangan selama ini lo masuk jadi anggota BIN?" Angkasa memang tidak menampik tentang seberapa cantik adiknya ini, namun dia juga tidak akan membela kalau ada orang yang menghina Pelangi i***t. Karena itu kenyataan. Malas membalas prasangka ngawur Pelangi, Angkasa beranjak menuju garasi lalu mengeluarkan audi putihnya yang jarang dia pakai kecuali kalau sedang pengen aja. Biasanya Angkasa lebih suka mengendarai motor hitamnya kemana-mana. Selain karena lebih mudah menyalip di sela kemacetan, Angkasa menyukai sensasi angin yang menerpa tubuhnya saat mengendarai motor. Sebelum melajukan mobil, Angkasa melihat pantulan wajahnya di kaca kecil yang menggantung di atas, lalu bersiul sambil mengangkat satu alisnya. "Get ready? Showtime!" *** Angkasa melupakan satu hal yang paling mendasar dalam sebuah penyamaran. Masker. Dengan wajah yang terekspos bebas di khalayak ramai, akan mudah memancing perhatian orang lain, termasuk dua manusia yang sedang memilih-milih tas di depannya. Kemana kacamatanya? Kenapa Angkasa bisa meninggalkan barang penting itu di dashboard mobil? Payah. Untung saja dia tidak melupakan topi. Setidaknya Angkasa masih bisa menundukkan kepala kalau-kalau Aurora ataupun Galaksi menengok ke arahnya. Hari ini ternyata Galaksi membawa Aurora ke pusat perbelanjaan. Dan yang Angkasa lihat sejak satu jam lalu mereka hanya muter-muter doang. Ha, kenapa nggak beli apapun? Miskin? Kini mereka tampak masuk ke toko pernak-pernik. Galaksi terlihat membisikkan sesuatu di telinga Aurora dan cewek itu tertawa. Sialan. Sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Rasanya Angkasa ingin menyeruak ke tengah-tengah mereka. "Eh, Mas Mas, boleh minta foto, nggak?" Fokus Angkasa terpecah akibat suara seorang SPG optik yang sedari tadi memandanginya dengan wajah terpesona. Angkasa berdecak sambil mendorong sopan ponsel yang disodorkan kepadanya. "Saya bukan artis." "Tapi Mas cakep banget!" Angkasa tersenyum singkat. "Makasih." Angkasa baru akan melangkah pergi, namun tangannya ditahan oleh mbak-mbak SPG. "Mas udah punya pacar?" dia mengerling genit. Angkasa gerah. "Anak saya dua, Mbak!" Mbak SPG itu tampak kaget kemudian melepaskan tangan Angkasa seraya tersenyum canggung. "O-oh, aduh, hot daddy ternyata. Kutunggu dudamu, ya Mas." Angkasa menghembuskan nafasnya malas. Dia kehilangan banyak waktu akibat si mbak SPG itu. Dan ketika Angkasa akan kembali membuntut, Galaksi dan Aurora sudah tidak ada di tempatnya. Tuhkan. Angkasa kehilangan jejak. Errrhh. Angkasa menggeram kesal seraya meraup wajahnya. "Asa?" Suara itu mengagetkan Angkasa. Tahu-tahu Aurora sudah berdiri di belakangnya bersama Galaksi. "Lo ngapain disini?" Angkasa gelagapan. Tanpa berpikir panjang, dia meraih satu kacamata pink berbentuk love yang ada di toko si mbak SPG tadi. "Mau beli ini." Angkasa memakai kacamata itu, lalu tangannya terlipat di depan d**a sambil mengangkat alisnya songong. Menatap pada Galaksi yang juga memandanginya dengan sorot aneh. Apa lo? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN