-Walaupun hanya ada satu titik cahaya. Bukankah dia tetap cahaya?-
***
Empat kresek putih besar yang dia jinjing berhasil membuat Aurora kewalahan membawanya sendirian. Mana isinya berat semua. Apalagi cowok jangkung di depannya melangkah dengan santai dan nggak peka dengan kondisi Aurora. Melihat langkah leha-leha itu, Aurora jadi mengerucutkan bibir.
Bruk!
Aurora menjatuhkan kantung kresek berisi makanan itu dengan sebal sampai Angkasa berbalik menoleh ke belakang dan memandangnya dengan satu alis terangkat heran.
"Bantuin, napa! Sakit nih tangan gue," Aurora menunjukkan telapak tangannya pada Angkasa. Padahal nggak merah-merah amat.
Angkasa mendengus. "Kalau nggak mau jinjing sendiri, ya terus ngapain bawa makanan sebanyak itu?
"Kan buat anak-anak nanti, Asa. Masa anak-anak sebanyak itu makanannya sedikit, sih. Kasian entar pada rebutan."
Angkasa memutar bola mata walaupun tetap saja akhirnya membawakan semua kantung kresek itu.
Melihat semua kresek yang dibawa Angkasa, Aurora segera merebut dua kantung di tangan kanan cowok itu, lalu menggenggam tangan bebas Angkasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menjinjing dua kantung kresek.
Angkasa jadi berdecak pada tangannya yang kini bertautan dengan telapak Aurora. "Bilang dong kalau mau modus doang."
Aurora terkekeh. Senang karena sepertinya Angkasa tidak berniat menarik tangannya.
Hari ini bertepatan dengan ulang tahun sekolah, semua siswa diwajibkan mengikuti serangkaian kegiatan amal yang sudah dijadwalkan oleh pengurus OSIS. Akan ada banyak acara katanya. Selain mengundang anak yatim dari yayasan Rumah Cahaya dan juga kegiatan sunat gratis sebagai acara inti, ada juga hiburan seperti pentas tari modern dan tradisional, perlombaan-perlombaan ala agustusan, dan pertunjukan drama musikal.
"Rora!" Vivian melambaikan tangan dan berlari ke arahnya. Lalu cewek itu memandangi Aurora dari atas sampai bawah. "Cakepnyaa~"
Aurora mengibaskan rambutnya centil. "Siapa dulu, dong!"
Mendengar pujian itu, Angkasa jadi melirik pada penampilan Aurora. Padahal cewek itu hanya memakai baju rajut pink yang dimasukkan ke dalam rok lipit high waist selutut. Dan menurut Angkasa yang terlalu sering melihat Aurora, ini adalah biasa-biasa saja.
Angkasa tidak jadi mengantarkan bawaan Aurora karena Vivian merebutnya lalu menggandeng tangan Aurora untuk menuju ke tempat pengumpulan makanan.
Saat itu juga Angkasa merasakan tepukan di bahunya. "Wiih, Rora cakep, ya." Angkasa menoleh dan mendapati Angga yang sekarang merangkulnya sok akrab. Cowok itu mengatakannya sambil memandangi punggung Aurora yang menjauh. "Tapi kayaknya lo jutek banget sama dia, Sa."
Angkasa mengedikkan bahunya tidak peduli. "Dijutekin aja nempel mulu, apalagi gue perhatian."
"Hati-hati, Sa. Kalau dia udah capek ngejar lo, terus berhenti, bakal banyak yang mau ngejar dia juga." Peringatan Angga lantas mendapatkan kerutan tidak suka dari Angkasa.
"Maksud lo?"
"Yaa, lo sadar kalau Aurora itu cantik, kan?—"
Dan gue juga ganteng, batin Angkasa.
"—Kalau lo sia-siain cewek kayak Rora, beuh, kelar deh. Gue yakin banyak cowok yang rela jatuh bangun demi dapatin hatinya."
Setelah mengucapkan itu, Angga pergi meninggalkan langkah kaki Angkasa yang berhenti di tempat. Sedikit banyak dia jadi kepikiran ucapan terakhir cowok itu.
Tapi...
Ah, mana mungkin.
Aurora pernah berkata kalau dia akan mengikuti kemanapun langkah Angkasa tidak peduli apapun yang terjadi. Jika Angkasa adalah kepala, maka Aurora adalah ekornya. Jika Angkasa adalah utara, maka Aurora adalah selatan yang selalu tertarik ke dalam medan magnetnya.
Bukankah seperti itu selama ini?
***
Hari itu SMA 71 ramai sekali. Bukan hanya oleh siswa dan guru-guru yang sedang merayakan hari jadi sekolah, namun juga oleh warga luar yang dibebaskan datang berkunjung menikmati perayaan. Kebanyakan dari orang tua yang membawa anaknya menjadi salah satu peserta khitanan. Ada satu anak lelaki berusia lima tahun yang nangis kejer ketakutan padahal dia belum mendapatkan giliran, segera ditenangkan oleh ibunya dengan iming-iming mobil tamiya idaman sang anak. "Entar adek dikasih tamiya balap yang kemarin itu! Warna apa ya?"
"Warna biru, Mamaaa~"
"Iya sayang, yang biru. Sama yang merah juga deh. Dua. Jangan nangis lagi ya."
"Takut Maaa~"
"Eh eeh anak lanang harus berani! Ayo mana nyengirnya?"
"Ini Maaaa~" Lalu anak itu menampilkan deretan giginya walaupun ingus dan air matanya masih berjatuhan. Segera dihapus jejak tangisan itu oleh sang mama.
"Nah, kan cakep kalo nyengir. Iiih ompongnya belum tumbuh yaaa."
Acara kegiatan amal itu berjalan lancar sesuai rencana yang telah disusun pengurus OSIS. Banyak juga siswa yang turut ikut aktif mendonorkan darah. Lalu setelahnya diberitahukan untuk acara hiburan di gedung teater. Ada penampilan dari anak-anak Rumah Cahaya. Mereka menyanyikan lagu-lagu anak nasional dengan ceria sambil memegang setangkai bunga mawar putih. Wajah mereka begitu polos dan menggemaskan seakan yang mereka tahu dunia ini hanyalah tempat bermain dan mereka akan selamanya bahagia.
Lalu setelahnya penampilan dari klub drama yang menampilkan drama musikal menceritakan kisah Layla Majnun. Tahun lalu pertunjukan ini berhasil menyabet juara satu lomba drama musikal yang disaksikan langsung oleh bapak wali kota.
Disaat semua orang antusias menyaksikan pertunjukan hiburan di gedung teater, Aurora malah sedang duduk bercengkrama dengan seorang anak kecil di taman sekolah. Namanya Jihan. Umur lima tahun, katanya. Gadis kecil dengan baju belang dan celana kodok pendek serta sedikit rambutnya diikat tanggung menjadi dua. Dan belum lihai mengucapkan huruf R sehingga logat bicaranya membuat Aurora berkali-kali mencubit pipi dengan gemas.
Rupanya anak itu sedang ngambek kepada teman-temannya sehingga dia kabur dan tidak mau ikut pentas. "Padahal Ji'an udah latihan Kak Rora. Tapi bunga Ji'an dipatahin Lia," adunya. Air mata yang mengalir dipipinya terlihat begitu jujur dan polos. Aurora gemas sekali dan segera menghadiahi Jihan dengan pelukan sayang.
"Kan bunganya banyak. Kamu nggak ambil lagi?"
"Nggak mau. Bunganya Ji'an dikasih sama Mama Ina kemarin, katanya Mama Ina ada di bunga itu buat semangatin Ji'an. Tapi bunganya patah."
"Mama Ina siapa?"
"Itu... Mama yang baiiik banget dan suka datang ke panti sambil bawa banyak hadiah. Katanya dia sayang sama Ji'an. Ji'an juga sayang Mama Ina."
Aurora tersenyum lalu mencium pipi gembil itu. "Dengarin Kak Rora, kalau kamu sayang sama Mama Ina, pasti kamu mau bikin dia bangga, kan? Nah, kalau mau buat Mama Ina bangga, Ji'an harus tampil di panggung."
Jihan menatap lama pada mata bulat Aurora, seolah mencari kejujuran atas ucapan itu disana. "Tapi bunganya patah."
"Bunga sebenarnya itu kamu. Mama Ina ada disini—" Aurora menaruh telapak tangannya di d**a kiri Jihan. "—dan dia semangatin kamu dari sini. Hati kamu. Nggak ada yang bisa patahin bunga itu karena kamu bunga yang kuat."
Tangan Jihan jadi ikut memegangi dadanya dan bertumpuk dengan punggung tangan Aurora. Lalu perlahan senyuman manis terbit di bibir tipisnya, membuat pipi gembilnya semakin mengembang. "Jadi Ji'an itu bunga, ya?"
Aurora mengangguk lalu mengusap pipi Jihan. "Bunga paling cantik yang mekar di abad ini."
Jihan berteriak girang sambil melompat-lompat. Aurora terkekeh geli melihatnya. Jihan terus melompat sambil berteriak Hore hingga gadis kecil itu kehilangan keseimbangan dan jatuh berlutut karena saking senangnya. "Huaaa, Kak Rora, sakit."
Aurora membelalak panik. Tapi tubuhnya mendadak kaku ketika melihat ada darah yang keluar dari lutut Jihan. Oh, tidak. Anak kecil dan darah bukan perpaduan yang baik dalam ingatan Aurora.
"Kak Rora," mata Jihan berkaca-kaca dengan satu tangan terulur padanya. Membuat sekelebat memori buruk Aurora kembali berdatangan.
Kak Roraa! Tolooong!
Aurora ingin mendekat, namun tubuhnya terasa berat. Dia ingin meraih tangan Jihan dan memeluknya, mengatakan bahwa luka itu tidak terlalu sakit. Namun baru mengangkat tangan saja, Aurora sudah gemetar.
Kak Roraa!
"Jihan!"
Seruan seseorang menyadarkan Aurora yang pandangan matanya mulai kosong. Seorang ibu paruh baya berkerudung cokelat mendekat dengan tergopoh lalu segera mengecek keadaan Jihan. Diciuminya pipi anak itu. "Kita ke Lia ya, dia mau minta maaf katanya."
Lalu ibu muda yang diketahui sebagai pengurus yayasan itu menghampiri Aurora yang masih terpaku di tempatnya. "Makasih udah jagain Jihan ya, mba."
Aurora membalasnya dengan senyuman gugup.
Setelah kepergian Jihan dalam gendongan wanita berkerudung cokelat itu, Aurora menjatuhkan tubuhnya di atas rumput lalu menekuk kaki dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua lutut. Kenapa dia sulit sekali melepaskan ingatan kelam itu? Aurora ingin bebas dari masa lalu. Apa ingatan buruk ini adalah hukuman untuknya karena hanya dia yang selamat kala itu? Takdir seolah mempermainkan Aurora yang terlihat hidup namun sebenarnya mati. Sulit sekali Aurora merasa tenang. Rasanya ada yang sesak di dadanya.
Aurora tidak mau menangis. Setidaknya jangan disini. Ini sekolah. Tempat banyak orang bisa lewat kapanpun dan menemukannya dimanapun. Setidaknya, dia tidak mau terlihat lemah di depan orang lain.
Setelah menekan perasaannya agar tetap tenang, Aurora mengangkat wajah dan seketika mendapati Angkasa sedang menatapinya dengan posisi berjongkok, tangan terlipat di atas lutut, serta dagu yang tersangga di atas tangannya. Terlihat seperti sedang menunggu Aurora.
Melihat wajah Angkasa disaat suasana hati Aurora mendadak kacau adalah anugerah. Seberkas senyuman terukir dari bibir Aurora yang masih betah memandangi Angkasa.
"Kirain lo tidur."
Aurora mengangguk. "Pengennya."
"Kenapa masih melek?"
"Masa gue harus tidur di atas rumput?"
"Bukannya lo bisa tidur dimana aja?"
"Enak aja! Nggak disini juga, dong!"
Mereka saling menyahut dalam posisi yang masih sama.
"Asa, sini duduk," Aurora menepuk rumput di sampingnya.
Namun bukan Angkasa kalau nurut. Cowok itu malah bangkit berdiri. "Gue mau pulang. Bosen."
Dan bukan Aurora kalau nggak keras kepala. "Angkasa, duduk."
Angkasa menatap Aurora dengan penuh peringatan. Namun akhirnya hanya mampu menghembuskan nafas panjang dan memilih menyerah untuk duduk di samping Aurora.
"Gue emang bisa tidur dimana aja. Tapi nggak rebahan di rumput juga. Enakan rebahan di pundak lo."
Aurora menyandarkan kepalanya di pundak Angkasa dan segera mendapatkan posisi nyamannya saat itu juga. "Bahu lo ada bantalnya, ya? Empuk, dan bikin betah." Aurora mengucapkan itu sambil terpejam, dan menit berikutnya kesadaran cewek itu hanyut ke dalam rasa nyaman karena berada dalam sandaran Angkasa.
***
Bruk!
"Aw!"
Aurora mengelus bahu kirinya yang baru saja jomplang terjerembab ke rumput. Kesadarannya langsung terkumpul seketika. Ditatapinya Angkasa dengan jengkel. "Nggak ada cara yang lebih ekstrim lagi? Getok kepala pakai palu misalnya?"
Memang entah sudah berapa lama Aurora tertidur dalam senderan di bahu Angkasa, tapi ngebanguninnya nggak usah pakai pergi juga, kan? Aurora jadi jomplang dan kebangun kaget.
Angkasa membuat gerakan memutar bahu. Kayaknya dia pegel beneran. "Udah sore. Ayo balik."
Aurora mengerjap-ngerjap. Dilihatnya arloji di pergelangan tangan. Ini hampir maghrib.
Wow.
Lama banget dong Aurora tertidur tadi. Dari jam sebelas, loh. Ditatapinya punggung Angkasa yang mulai menjauh. Lalu Aurora jadi mesem-mesem sendiri.
***