Little Secret

1654 Kata
-Setiap manusia memiliki rahasia yang tidak ingin dibagi, baik itu luka ataupun bahagia.-  *** "Rora, kamu sakit?" Seruni melangkah mendekati Aurora yang setor muka pagi ini dengan sorot lesu. Aurora sebenarnya sudah menggeleng, tetapi Seruni tetap menempelkan punggung tangannya di dahi Aurora dan baru bernafas lega ketika tidak mendapati suhu panas disana. "Sini duduk dulu," Aurora menurut saja ketika dipapah menuju meja makan. "Tapi Rora mau bantu siapin sarapan." "Nggak usah, ini udah rampung, tinggal ditaro di meja aja." Sepertinya Seruni tahu kalau anak gadis itu memang sedang lemas meskipun tidak benar-benar sakit. Dia hanya tidak tahu kalau penyebab Aurora lemas sepagi ini karena mabuk berat tadi malam. Aurora duduk dan langsung menelungkupkan wajahnya di meja makan. Pulang jam berapa dia tadi malam? Uh, Aurora beneran ngantuk banget. Dan juga, perutnya mual. Kalau bukan karena suasana canggung yang Sabina ciptakan, pasti dia tidak akan minum sampai empat gelas malam itu. Satu kursi yang berderit di seberangnya membuat Aurora mengangkat wajah dengan ogah. Angkasa duduk disana sambil mengangkat satu alisnya pada Aurora. "Pagi Asa," sapanya dengan senyuman paksa. Menebak kalau sapaan rutinnya tidak akan berbalas, dia kembali tertelungkup. Angkasa memperhatikan gelagat Aurora dengan perasaan was-was. Apakah cewek itu mengingat kejadian tadi malam? Ketika Angkasa .... Sudah, jangan dibahas. Dia cuma iseng, kok. Iseng yang berkelanjutan dan kembali dilakukan ketika di dalam mobil. Baiklah, bukan iseng. Angkasa hanya ... khilaf? "Semalam," kata Aurora sambil mengangkat wajahnya. Angkasa segera menegakkan tubuh dengan nafas tertahan waspada. Bahaya, Aurora mengingatnya, kah? "Gue pulang sama siapa, ya? Vivian kan juga teler. Lagian sih, Sabina ngapain gabung sama kita, dia nggak tau kali ya kalau gue nggak bisa minum banyak. Mana tawarin cheers terus. Masa ya, Asa, gue minum empat gelas. Tapi ssttt tolong rahasiakan ini dari Tante Seruni, ya?" Akhirnya bahu Angkasa merosot lega. Kesimpulan yang dia ambil adalah Aurora tidak mengingat kejadian tadi malam. Pulang sama siapa aja nggak tahu dia. Setidaknya, malam itu menjadi rahasia kecil Angkasa beserta ketidakpastian perasaannya. "Tapi Asa." Bahu Angkasa kembali menegak tegang. "Gue lihat history panggilan terakhir di hape, lo angkat telepon gue. Eung,, gue nggak ngomong aneh-aneh, kan?" "Aneh-aneh gimana maksudnya?" "Ya... apa gitu." "Nggak." Aurora mengangguk mengerti. Tapi sejurus kemudian matanya memicing penuh tanda tanya. Sebenarnya dia pulang sama siapa tadi malam? Dianterin Juned? Ah masa. Cowok itu kan nebeng sama Agum. Apa mungkin Vivian sanggup mengantarnya sampai rumah? Rasanya juga mustahil. *** Vivian baru saja datang dan Aurora langsung memberondong pertanyaan seputar malam tadi kepada cewek itu. Pulang jam berapa? Sama siapa? Ngapain aja? "Lo masa nggak ingat?" Vivian mendudukkan diri di kursinya. Aurora menggeleng dengan polos. "Gue juga sih," sambungnya meringis. Aurora langsung mendengus keki. "Lo dianter Angkasa." Kedua cewek itu menoleh ke belakang, pada Sabina yang tumbeeen sekali sudah duduk manis di kursinya sendiri. He? Apa katanya? Angkasa? Mana ada. Mungkin seseorang yang mirip Angkasa. Ha-ha-ha. Aurora menanggapinya dengan kekehan canggung. "Kalo nggak percaya tanya aja sama ketua kelas. Dia yang tadinya mau nganterin, tapi akhirnya cuma anter gue sama Vivian aja." Aurora bisa merasakan tepukan keras di pahanya bersumber dari tangan sialan Vivian. "Gue dianter Aksel, Rora!" Temannya yang satu itu memang rada gila karena sudah menjerit-jerit seperti orang kesurupan di kelas. Tapi ... Aurora seriusan diantar pulang sama Angkasa? Kenapa cowok itu diam saja tadi pas ditanya? Dasar. "Aksel!" Vivian memanggil dengan memasang senyuman sok cantik yang membuat Aurora ingin muntah di tempat. "Kenapa?" "Makasih udah anterin gue tadi malam." "Ya. Dan tolong, kalau nggak biasa mabuk, jangan suka minum. Lo muntah di kemeja gue." Boom! Harga diri Vivian merosot dan terinjak-injak tanpa ampun. Aurora mengulum bibirnya menahan agar tidak tertawa yang mana akan semakin melukai ego temannya satu itu. Dengan kekehan kosong Vivian menjawab, "Sorry." *** Mengapa Aurora hampir setiap hari berada di rumah Angkasa? Selain karena pujaan hatinya tinggal di rumah ini, salah satu alasan Aurora adalah bisa bermanja-manja dengan Tante Seruni. Seperti sore ini setelah pulang sekolah, melihat wajah ayu nan teduh itu sedang fokus memperhatikan tayangan gosip di televisi, Aurora melangkah riang mendekat lalu merebahkan kepalanya di paha Seruni sambil cengar-cengir. "Kaget, tante!" Seruni mengusap dadanya. "Abisan tadi dipanggilin nggak nyahut. Anteng banget nonton tivi." Seruni terkekeh lalu mengusap rambut Aurora dan kembali fokus menonton acara gosip. "Tante," panggil Aurora. Seruni hanya berdeham membalasnya. "Angkasa kapan suka sama Rora?" Seruni langsung menoleh ke bawah. Ditatapnya Aurora dengan seulas senyuman yang menyejukkan. "Besok. Atau minggu depan. Atau bulan depan. Selama kamu gigih dengan apa yang kamu perjuangkan, pasti akan ada hasilnya entah kapan pun itu. Hati manusia nggak ada yang tau, apalagi sekelas Angkasa yang jutek itu, mungkin aja dia udah suka sama kamu sejak lama, cuma belum menyadari aja." Perjuangan dan kegigihan, ya? Aurora sudah tidak ingat lagi berapa ribu kali dia menjatuhkan harga diri hanya untuk memperjuangkan perhatian Angkasa dengan gigih. Namun selayaknya batu yang keras, hati Angkasa sangat sulit untuk dilunakkan. Terkadang, Aurora merasa hanya mengejar kehampaan. Seperti Angkasa yang begitu jauh dan luas, Aurora merasa perjuangannya ini hanya berbuah kesia-siaan. *** Malam tak terlihat bersahabat. Diiringi suara guntur kecil yang kerap terdengar beberapa kali, angin pun berhembus melewati jendela kamar lalu menerpa tubuh berbalut piyama keropi milik Aurora. Sepertinya akan hujan. Harusnya yang Aurora lakukan adalah menggeser jendela kaca dan menutup gorden, bukan malah melangkah ke balkon dan berdiri sambil memandangi langit malam. Menatapi langit pekat yang tanpa cahaya bintang maupun rembulan, mengingatkan Aurora pada lelaki jutek yang seringkali mengabaikannya. Apakah hati Angkasa seluas dan segelap ini? Warna-warna yang berusaha Aurora biaskan nyatanya tak mampu menoreh terang pada hati lelaki itu. Angkasa yang selalu menolaknya. Angkasa yang sulit sekali mengukir senyum di bibirnya. Angkasa— Tuk! Aurora melihat ada kerikil kecil yang terlempar ke arahnya. Dengan dahi mengernyit, cewek itu melongokkan kepala ke bawah. Lalu netranya melebar terkejut. "Galaksi?" Seorang pemuda berdiri di depan pagar rumahnya sambil melambaikan tangan. Dengan segera ia bergegas ke depan rumah menghampiri lelaki itu. Aurora semakin mengerutkan keningnya mendapati lagi lagi wajah Galaksi yang tak mulus. Ada warna biru legam di sudut bibirnya, dan luka sobek di pelipis. "Lo berantem? Lagi?" Bukannya menjawab, Galaksi menyodorkan kantung kresek berwarna putih kepada Aurora yang langsung diterima dengan raut bingung. Alkohol dan kapas? Galaksi menunjuk lukanya. "Obatin." Aurora menghela nafas tak mengerti. Namun tak menampik ketika tangannya ditarik menuju ke sebuah mobil hitam yang terparkir tidak jauh dari pagar rumahnya. Galaksi melompat duduk di atas kap mobil lalu bersila. Sekali lagi cowok itu menunjuk lukanya. "Obatin." "Turun, dong! Lo ketinggian," perintah Aurora dengan nada kesal. Bukannya menurut, Galaksi mengangkat tubuh Aurora bagai kapas lalu dia dudukkan di sampingnya. Meskipun kaget, Aurora berusaha untuk tidak memberikan reaksi berlebihan. Apalagi tiba-tiba saja Galaksi mendekatkan wajahnya. "Obatin," ucap cowok beralis tebal itu untuk ketiga kalinya. "Y—ya, gak usah deket banget juga dong," Aurora mendorong wajah Galaksi ke belakang. Lalu mulai meneteskan alkohol pada kapas dan menempelkannya pelan-pelan pada pelipis Galaksi. "Kenapa babak belur, sih? Lo dikeroyok lagi?" Galaksi membiarkan gadis di depannya menekan luka. Ada sensasi dingin dan perih dari alkohol itu, namun entah kenapa sensasi hangat yang menjalar ke hatinya meredupkan rasa sakit itu saat matanya sengaja ia kunci pada sepasang hazel Aurora. "Percaya sama gue, kalau lo tetap begini tiap minggu, gue nggak yakin umur lo bakalan panjang. Maksudnya, lo tuh nggak punya kegiatan lain apa selain berantem?" Semakin Aurora mengoceh, rasanya Galaksi semakin tenggelam dalam wajah putih itu. Sama seperti sebelumnya, Galaksi menekuni setiap lekuk wajah Aurora. Mata bulat, bulu mata lentik, hidung kecil, bibir tipis. Satu pertanyaan terlintas di benaknya, apa rahasia Aurora sehingga mampu menyedot Galaksi hanya dalam tiga kali pertemuan? Galaksi mengerjap-ngerjap, lalu menyadarkan pikiran gilanya dalam gelengan kepala. Tidak. Apa yang barusan dia pikirkan? Tersedot dalam keterpesonaan? Ha-ha. Bercanda. "Lo kenapa sih malah geleng-geleng? Ini gue belum pasang plester di jidat lo." Aurora melongo. "Nggak papa. Cuma..." Rasanya terlalu cepat menyimpulkan sebuah perasaan. Nggak ada yang namanya jatuh cinta dalam pandangan pertama, kan? Galaksi berani bertaruh dia hanya merasa nyaman karena Aurora mengulurkan tangan disaat dia membutuhkannya. Iya. Hanya begitu. Gemas dengan tingkah aneh Galaksi, Aurora meraih dagu cowok itu untuk menghadapnya. Lalu dia menempelkan plester di dahi pemuda itu dengan hati-hati. Glek. Galaksi yakin ada yang tidak beres dengan detak jantungnya kala Aurora berada dalam jarak beberapa centi saja dari wajahnya. Apalagi melihat senyuman puas dari cewek itu membuat hatinya ikut menghangat tanpa sebab. "Beres!" Aurora menepuk-nepuk pipi Galaksi seperti seorang guru yang bangga dengan muridnya. Tepukan itulah yang menarik Galaksi ke dunia nyata. "M—makasih." Galaksi mengusap tengkuknya yang diterpa angin malam. "Iya. Tapi bisa lo jelaskan penyebab muka bonyok lo?" Galaksi terdiam cukup lama. "Ada tiga hal yang mati-matian didapatkan para cowok. Harta. Tahta. Wanita." Alis Aurora terangkat tinggi. "Dan ini karena...?" Ia menunjuk lebam. "Yang kedua." "Untuk anak yang baru mau umur 17 tahun, bukannya lo terlalu muda untuk ngomongin tahta?" "Sebenarnya lebih kayak pengen mendapatkan pengakuan, sih. Bukan gue, tapi orang yang bikin gue kayak gini. Dia niat jatuhin posisi gue sebagai ketua gangs... Kapten basket maksudnya." "Lo kapten basket?" Entah berapa kali Aurora terkejut untuk malam ini. Galaksi mengangguk dan Aurora bertepuk tangan kecil. "Btw, umur gue udah 17 tahun, kelas tiga di SMK Pemuda Nasional, jurusan mesin, kalau lo mau tau." "Pantesan lo keren!" Galaksi hampir tersedak ludahnya sendiri. Gimana gimana? "Kalau di novel-novel, cowok yang anak basket itu pasti keren. Terlepas dari keberandalan lo yang sekarang, waktu kemarin lihat lo di sekolah, sebenarnya gue pengen nonton lo main basket. Pasti keren banget!" Galaksi jadi berdeham tak enak sambil mengelus tengkuknya. "Y-yaa begitulah. Kemarin cuma pertandingan persahabatan. Dan, ehm, gue lumayan banyak kasih poin buat tim." Entah disadari atau tidak, bahu Galaksi mulai menegak bangga. Aurora menanggapinya dengan tepukan tangan lagi. "Hebaat, Aga!" "Aga?" "Iya, Aga. Galaksi kepanjangan. Mau panggil Ga doang kependekan. Galak jelek. Aksi apalagi. Gue panggil Aga aja, ya?" Galaksi tidak menjawab. Untuk pertama kali dalam eksistensinya sebagai manusia, dia lupa cara merespon dengan anggukan atau gelengan. Aga? Mendengarnya dari mulut Aurora, rasanya menyenangkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN