-Mari santai sejenak. Lupakan ego kerasmu. Menarilah denganku.-
***
"Asaa," Aurora tidak berhenti merengek sambil menggoyang-goyangkan tangan kanan Angkasa. Padahal cowok itu sedang makan. Sialan kan, ya? Angkasa menahan diri sebisa mungkin untuk tidak terprovokasi menggetok Aurora dengan sendok di tangannya.
"Anterin Asa," cewek itu mencicit lagi. Bahkan dengan sengaja Aurora menjauhkan sendok yang sudah dekat di mulut Angkasa.
Terdengar hembusan nafas pendek dari cowok itu. Untuk sekarang, dari satu sampai sepuluh, taraf kepulan asap di hidung Angkasa ada di nilai lima. Meroket naik menjadi delapan ketika Aurora lagi lagi menjauhkan piringnya dengan sengaja. Angkasa melotot pada cewek itu.
"Anterin." Entah sudah berapa kali Aurora mencicit seperti itu sambil memasang wajah anak anjing.
Sekarang jam berapa, sih? Oh, jam tujuh malam. Aurora katanya diundang untuk datang ke party Vivian. Dan mengingat kedua cewek itu berteman amat lengket, rasanya Aurora mustahil untuk tak datang. Angkasa hanya perlu mengulur waktu sampai Aurora lelah membujuknya dan pergi sendiri. Tapi sebagaimana diketahui sifat Aurora yang begitu gigih, yang ada Angkasa sendiri yang capek.
"Kak, anter ke alfa yuk. Pelangi mau beli snack."
Karunia-Mu Ya Tuhaaan! Penyelamat Angkasa datang di saat yang tepat.
Aurora langsung mendelik tidak suka. "Angkasa tuh mau ke party bareng gue. Jalan sendiri kenapa, sih? Alfa di depan juga," omelnya nyolot. Pelangi cuma melipat tangannya di d**a dan memasang senyuman remeh. Tanpa mempedulikan protesan Aurora, gadis tiga belas tahun itu melangkah keluar rumah dengan jumawa.
"Ayo, Kak Angkasa. Anter ke alfa."
Dengan sigap Angkasa melepaskan tangan Aurora yang bergelayut protektif di lengannya. Lalu melangkah keluar mengikuti Pelangi. Sebelumnya dia memasang senyuman lebar untuk Aurora dan berpesan, "Hati-hati."
Aurora menghentak-hentakkan kakinya sebal luar biasa pada kelakuan kakak beradik ngeselin itu. Mereka tuh cuma ganteng sama cantik doang kelebihannya. Sisanya ngeselin, mulut pedes, otak pas-pasan, dan enggak cocok bersosialisasi sama manusia.
Sono hidup berdua sampai akhir hayat di Gurun Sahara!
***
Party Vivian hanyalah pesta anak remaja biasa dan hanya mengundang teman kelasnya saja. Dengan menyewa kafe di lantai dua, tempat itu jadi mendadak ramai dengan fasilitas karaoke. Juwi dan Rina menyanyikan lagu ceria dari Korea yang entah artinya apa. Yang lain bersenda gurau secara terpisah di tiga meja panjang yang berjejer ke belakang. Vivian dan Aurora saling bersebelahan, ada Agum dan Juned di depan mereka.
"Jadi lo kalah pesona sama adiknya Angkasa?" Vivian tergelak sampai wine di tangannya tumpah sedikit. Cewek itu menjerit histeris pada dress ungunya yang kebasahan, lalu dengan rempong mencari-cari sapu tangan.
Aurora menghempaskan punggungnya ke sofa dengan menghela nafas. "Kadang tuh ya, pengen banget gue sumpal mulut Pelangi pake cabe j****y sekulkas. Udah mulutnya labas, tengil lagi."
Agum yang duduk di sofa seberang jadi menggeleng kasihan. "Lo sadar nggak sih, Rora, ini tuh azab karena lo selalu nolak gue."
Juned di sebelahnya mengangguk mantap. "Karena nolak gue juga."
"Lagian apa sih bagusnya Angkasa?"
"Tau. Cakepan juga gue yang eksotis ini."
"Mending sama gue, nanti gue kasih perhatian dari subuh sampe subuh lagi."
"Gue juga rela dateng ke mimpi lo tiap malam."
Kedua cowok itu saling bersahutan mengunggul-unggulkan diri mereka sendiri. Untung Aurora sedang tidak memegang gelas. Kalau iya, dia yakin isinya akan tumpah di wajah dua cowok itu. Pada nggak minder kali ya membandingkan kelebihan mereka sama Angkasa.
"Udah, daripada stress. Mending lo minum dulu, deh," Vivian menyodorkan segelas wine untuk Aurora. Sebenarnya Aurora tidak berniat untuk minum malam ini. Selain karena besok masih sekolah, dia juga tidak kuat minum lebih dari dua gelas. Tetapi hatinya sedang dongkol. Setidaknya satu atau dua tegukan bisa membuat pikirannya sedikit dingin.
"Permisi."
Keempat manusia yang baru saja melakukan cheers langsung menyemburkan air dari mulutnya ketika melihat seorang wanita unpredictable datang juga di kafe itu.
"Gue dengar ada teman kelas yang ajak party di kafe ini."
Vivian langsung tertohok ketika mata mereka saling bertubrukan. Lalu dengan bodoh dia mengangguk.
"Boleh join?"
Kebodohan Vivian yang mengangguk lagi dirutuki oleh Aurora, Juned, dan juga Agum.
Sabina tersenyum kecil lalu duduk dengan enteng di sebelah Vivian. Cewek itu mengambil satu gelas lalu menuangkan wine dengan amat anggun. "Cheers?" tawarnya mengangkat tinggi gelas di tangan.
Keempat manusia disana tertawa gugup meladeni tawaran itu lalu minum setiap kali Sabina menawarkan cheers berkali-kali.
***
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like
On a-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, baby, kiss me
Aurora terus berceloteh menyanyikan lagu milik Frank Sinatra dengan satu tangan melambai lemas dan tangan lainnya memegang mic karaoke. Agum dan Juned pamit entah sejak kapan. Kesadaran Aurora ada di ambang serat tipis sehingga tidak menyadari dua cowok itu sudah pergi.
Vivian terkulai lemas dengan mata terpejam menyandar di sofa dengan nyaman. "Rora, gue nggak sanggup nyetir sumpah." Sepertinya dia berniat menginap di kafe ini saja, deh. Sabina yang juga menyender di sofa menengok ke samping dengan wajah yang sama layu.
"Bentar, gue telepon pahlawan gue," ucap Aurora setengah sadar meraih ponselnya di atas meja. Matanya sampai nyureng berusaha fokus pada huruf-huruf di ponselnya yang mendadak bergoyang.
"Hallo."
"Apa?"
Mendengar nada ketus itu Aurora jadi nyengir. "Angkasa jemput dong sayang."
Di seberang sana Angkasa merinding mendengarkan nada manja Aurora.
"Lo gak tau ini jam berapa?"
Aurora menggeleng bodoh. "Jam berapa, sih?"
"Hampir tengah malam."
"Tuh kan, makanya jemput. Pake mobil ya, soalnya kita bertiga. Ya?"
Bip.
Aurora langsung mematikan sambungan panggilan. Lalu terkekeh pada Vivian dan juga Sabina yang menatapinya dengan mata sayu. "Tunggu paling lama dua puluh menit!" Tetapi cewek itu malah mengangkat empat jari.
Ketiga wanita muda itu lanjut menyanyikan lagu yang terputar di layar dengan setengah sadar. Mereka bahkan bisa ketawa sendiri, atau mengoceh tidak jelas. Vivian bahkan mengomel pada meja yang acak-acakan. Aurora ikut misuh-misuh tidak jelas. Sedangkan Sabina terlalu lemas buat nimbrung.
"Kalian pulang naik apa?" Suara berat khas lelaki yang begitu di puja oleh Vivian terdengar amat seksi. Dalam keadaan mabuk pun Aurora bisa melihat senyum sumringah Vivian. Mengingatkan dirinya sendiri kalau sedang bersama Angkasa.
"Gue bawa mobil!" Vivian mengacungkan kunci mobil. "Tapi nggak sanggup nyetir," katanya terkekeh.
Aksel, sang ketua kelas yang merasa bertanggung jawab atas anak-anak kelasnya —padahal harusnya Vivian yang merasa begitu, mengambil kunci milik Vivian. "Ayo, gue yang antar."
Vivian berdiri semangat. Baru akan menggandeng lengan Aksel, Sabina malah ikut berdiri menghalangi niatnya. "Ayo. Gue udah ngantuk." Lalu Vivian hanya sanggup melongo melihat Sabina menarik Aksel pergi. Dengan cemberut cewek itu membuntut.
"Eh," Aurora mengerjap-ngerjap. "Gue ditinggal." Dengan langkah berat dan linglung Aurora berusaha berjalan keluar mengikuti Vivian.
Aurora baru akan ikut menyempil di kursi belakang bersama Vivian dan Sabina, namun sebuah tangan menarik lengannya dan membuat tubuhnya segera berbalik.
"Lo mau kemana?" Wajah kaku pemuda yang ia tahu bernama Angkasa muncul di depan Aurora.
"Asaaa!" Tubuh berat Aurora langsung limbung dalam dekapan Angkasa.
Cowok jangkung itu hanya bisa menghela nafas lelah. "Lo antar aja dua orang ini, yang satu biar sama gue," ujar Angkasa kepada Aksel. Setelah mendapat anggukan dan mobil itu pergi, Angkasa menoyor Aurora yang senyam-senyum menghirup aroma tubuhnya. "Siapa yang suruh mabuk?"
Aurora tidak menjawab, malah cengengesan sambil mundur meraih satu tangan Angkasa lalu dia menari-nari menyanyikan lagu terakhir yang di dengarnya tadi.
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like
On a-Jupiter and Mars
In other words, hold my hand
In other words, baby, kiss me
Angkasa terpaku pada wajah merah merona Aurora yang terlihat begitu bahagia menari tak jelas sambil menyanyikan sebuah lagu. Berputar-putar dengan mengangkat tangannya yang tertaut dengan Angkasa, membuat dress putih bermotif bunga itu mengembang indah mengikuti gerakan tubuhnya. Tawa renyah Aurora seakan menghipnotis Angkasa untuk menarik tubuh itu mendekat dan meraih tengkuknya untuk kemudian membungkam bibir ranum merah muda itu dalam sebuah ciuman dalam. Katakan Angkasa gila. Bukannya menjauh, dia malah sengaja mengeratkan tangannya di pinggang menjadi sebuah pelukan intim, seolah tak memberikan waktu untuk Aurora merasa terkejut dengan sentuhannya yang tiba-tiba. Ciuman itu berangsur menggila menjadi pagutan dan hisapan yang Angkasa sukai sensasinya.
Lenguhan Aurora dalam lumatannya menyadarkan Angkasa untuk segera memisahkan diri. Mata legamnya memindai pada setiap mili wajah Aurora. Pikiran Angkasa bercabang tak menentu sekarang. Apa pesona gadis mabuk memang sefantastis ini? Atau dia yang sudah tak waras?
***