-Aku membutuhkanmu.
Karena setiap luka tak akan mampu sembuh dengan sendirinya.-
***
"Ssstt! Kamu jangan nangis terus, nanti om jahat denger," Aurora terus menenangkan Rahma dengan mengusap-usap punggungnya. Mama sering melakukan itu jika dia menangis karena jatuh, dan Aurora akan merasa tenang.
"Tapi takut, kak," Rahma mencicit disertai suara tangisan tertahan yang membuat pipi gembil anak itu menjadi merah dan basah. Aurora segera mengusapnya.
"Nggak usah takut, kan ada Kak Rora. Kita pasti keluar dari tempat ini. Papa Rora orangnya kuat loh, nanti dia bakal pukulin om jahat."
"Kayak om jahat pukulin Maya?" pertanyaan polos Rahma membuat d**a Aurora sesak. Dua hari lalu ruangan pengap dan kotor ini berisi tiga orang. Namanya Maya. Dia anak yang imut dan paling cantik yang pernah Aurora temui. Lalu kemarin pria bertubuh tinggi bercodet datang dengan sempoyongan sambil membawa kayu balok. Berteriak-teriak dengan kasar dan menyeret Maya, memukuli tubuh kecil itu dengan kayu balok. Jeritan-jeritan pilu Maya terdengar mengerikan bagi Aurora. Darah dimana-mana. Maya diseret keluar dan tidak pernah kembali lagi.
"Kayak power rangers kalau lagi berantem sama monster." Aurora memeluk Rahma erat sekali. Bukan. Bukan untuk menenangkan anak berambut pendek itu, melainkan untuk menenangkan ketakutannya sendiri. Tanpa sadar air matanya menetes, lalu Aurora tersengguk pelan.
"Kak Rora, jangan nangis. Katanya kita bakal keluar dari sini sebentar lagi."
Aurora tersenyum getir. Lihatlah, anak lima tahun sedang menenangkan dirinya yang berumur enam tahun.
BRAKH!
Pintu kayu itu terbuka keras sehingga mengagetkan dua anak yang sedang berpelukan. Aurora semakin mengeratkan pelukannya ketika merasakan tubuh Rahma bergetar ketakutan. Walaupun dirinya juga amat sangat panik ketika mata pria besar itu menatapnya.
"Wow wow wow. Pemandangan apa ini? Manis sekali." Pria berkaus hitam itu meletakkan jerigen putih lalu jongkok mengamati dua anak yang tampak seperti kucing baru lahir. Senyuman seramnya tersungging miring saling menatap dengan Aurora.
"Bocah pemberani." Pria itu mengelus pipi Aurora. Mengamatinya lama sekali lalu terkekeh dengan suara aneh.
"Jangan sakiti kami," suara lirih Aurora terdengar bagai dentingan piano di telinga pria itu.
"Siapa? Aku? Duh duhh, kita akan bersenang-senang." Tiba-tiba saja pelukannya terlepas paksa karena pria itu menarik tubuh kecil Rahma.
"Kak Roraaa!" Rahma berteriak histeris. Tangan kecilnya meraih-raih udara.
"Jangan! Jangaan!" Aurora sekuat tenaga menahan kaki pria besar itu yang sudah menggendong Rahma. Namun cicitan permohonannya tak terdengar, Aurora di tendang dengan keras sampai tubuhnya mental terantuk tembok.
"Kak Rora tolong!"
Aurora menangis melihat Rahma disirami air berbau bensin. Tubuhnya amat berat dan sakit, dia juga pusing. Aurora merasakan darah mengalir di belakang kepalanya. Matanya berkunang-kunang. Gadis kecil itu terus berteriak memohon ketika api muncul dan langsung membesar.
Jangan. Tolong. Jangan.
"Kak Roraa! Panas! Tolooong!!"
"JANGAN! RAHMA!"
Aurora tersentak dengan nafas menderu. Bulir keringat membasahi tubuhnya. Dia mengedarkan pandangan dan menemukan tubuhnya berada di atas tempat tidur.
Mimpi buruk itu lagi. Darah. Api. Teriakan minta tolong dan tangisan kesakitan. Semua bayangan-bayangan masa lalu itu menghantui pikiran Aurora sekarang. Perlahan mata Aurora menggenang membiarkan air mata lolos tak tertahan dari sana. Gadis itu meringkuk ketakutan.
Kehidupan tragis semacam apa yang ditakdirkan untuk Aurora? Di masa sekarang saja semuanya cukup sulit. Lalu Aurora harus terjebak di masa kelamnya dahulu lewat mimpi-mimpinya di malam hari.
Adakah yang bisa menolongnya?
***
Angkasa tidak ingin bertanya mengapa Aurora tidak menyapanya ketika tadi sarapan, atau mengapa cewek itu tak mengatakan apapun di sepanjang perjalanan menuju sekolah. Angkasa tidak penasaran. Dia hanya membiarkan cewek itu memeluknya erat dari belakang boncengan sambil menyenderkan kepala di punggungnya.
Bahkan ketika Angkasa sudah mematikan mesin motor dan berniat turun, Aurora masih memeluknya. Ck. Angkasa bisa melihat mata orang-orang yang memandanginya sambil senyum-senyum. "Heh, nyampe b**o!"
"Ennnnggg. Asa, ngantuk." Aurora melepaskan pelukannya lalu turun dari motor dengan lunglai. Lingkaran hitam di bawah matanya kentara sekali. Wajahnya lesu tanpa semangat.
Angkasa memandanginya sambil menghela nafas. Dengan sabar tapi kesal, Angkasa melepaskan helm Aurora karena cewek itu sepertinya lupa.
Tuk!
"Aw!"
"Seger?"
Bibir Aurora mengerucut protes atas perbuatan Angkasa yang baru saja menyentil dahinya.
"Asa," mata sayu Aurora menatapnya seperti anak ayam kurang gizi. "Ngantuk ih," melihat d**a Angkasa yang sandarable banget, Aurora jadi pingin memejamkan matanya disana.
Angkasa mendengus nafas. "Terus?"
"Gendong, kek. Sampe kelas." Aurora merentangkan kedua tangannya.
Angkasa segera memutar bola matanya. Mana sudi dia gendong anak dugong pagi-pagi. Sambil berdecak Angkasa memutar tubuh Aurora dan mendorongnya pelan. "Buruan jalan. Sepuluh menit lagi mau bel."
"Ennnggggg,, Asa," Aurora menghentak-hentakkan kakinya merengek.
Errhh. Dengan menahan kesal, Angkasa memegang bahu Aurora dari belakang. "Merem. Gue tunjukin jalannya."
"Okey!"
Meskipun bukan sesuai permintaan, tetapi Aurora tetap senang karena tidak perlu melek untuk melihat jalan. Langkah-langkah kecil gadis itu diarahkan oleh Angkasa sampai ke depan kelas. Mungkin siswa lain yang melihatnya menganggap ini adalah adegan romantis. Tapi bagi Angkasa ini sangat merepotkan!
***
Aurora benar-benar ketiduran selama pelajaran Sejarah sampai bel istirahat berbunyi. Untungnya Vivian teman sejati, menghalangi Aurora dengan alibi buku paket yang di buka berdiri. Membuat Aurora tampak seperti orang yang sedang membaca.
"Jujurlah padakuuhh bila kau tak lagi cinta. Tinggalkanlah akuuhh, bila tak mungkin bersama. Jauhi dirikuuhh, lupakanlah aku. Selamanyaaaahiyaahhh~"
"AGUM!" Aurora melemparkan buku paket sejarahnya pada Agum yang mendadak konser di atas meja sambil memegang sapu. Mendengar nada sumbang dari cowok itu benar-benar membuat kepalanya nyaris pecah.
"Anjir, Rora! Kira-kira dong sayang nggak usah KDRT juga. Masalah kita bisa dibicarakan baik-baik." Agum mengelus kakinya yang terkena buku paket setebal tiga ratus halaman.
"Berisik tau, nggak!"
"Tau. Mana suara kayak orang lagi o***i, mendesah-desah nggak karuan." Juned ikut ngatain. Agum langsung turun tidak terima.
"Lo nggak tau tahun kemarin gue ikutan Indonesian Idol bareng Brisia Jordi?"
"Yang lo langsung suruh pulang itu? Terus scene lo nggak ditayangin karena takut rating acara jadi anjlok?"
Mulut Agum langsung terkatup rapat namun berkedut-kedut ingin berkata kasar. Tapi gimana, Juned mengatakan fakta.
"Hiliih, lo kalau-"
"Kalian bisa diem, nggak?"
Semuanya langsung menoleh kepada seorang cewek yang juga merasa tidurnya terganggu. Agum langsung kicep.
"Tau nih Juned."
Juned membalas tanpa suara yang terlihat seperti k*****t lo!
"Lanjut aja tidurnya, Bina," ujar Agum jadi mendadak kalem.
Sabina baru akan menelungkupkan wajahnya lagi sebelum suara berat menahan gerakannya.
"Lo disuruh menghadap Bu Ratna, belum ikutan ulangan Geografi kan minggu kemarin?"
Itu Aksel.
Aurora dan Vivian jadi saling menatap. Juned dan Agum juga. Mereka semua kenal Sabina. Teman sekelas yang memang seringkali bolos. Troublemaker langganannya Bu Anih sang guru BK. Dan kurang suka membaur sehingga siapapun akan canggung jika berbicara dengannya. Keempatnya jadi kompak menatap kasihan pada Aksel. Kalau bukan karena jabatan ketua kelas, pasti dia juga lebih suka menjaga jarak aman dengan singa betina itu.
Sabina hanya menatap malas selama tiga detik, lalu kembali menelungkupkan wajahnya di atas meja.
Terlihat Aksel memejamkan mata dan menarik nafas. "Lo dengarin gue, nggak?"
"Ya."
Andai saja Juned punya keberanian tingkat tinggi, Sabina pasti sudah dia gotong ke ruang guru. Tapi sayangnya nyalinya juga ciut kalau berhadapan sama cewek jutek itu.
Mungkin merasa sia-sia, Aksel memilih pergi dari kelas.
Suasana kelas jadi hening kembali. Keempat orang itu masih memandangi Sabina.
Vivian menggelengkan kepalanya dengan mata menyipit. "Bebeb gue dicuekin masa, Ra. Kasian," bisiknya tak terima.
"Lo juga dicuekin bebeb lo. Kasian."
Vivian menjeblehkan bibirnya sebal. "Eh, entar pulang sekolah ada turnamen basket antarsekolah, tau. Katanya lawan anak SMK Pemuda Nasional. Nonton yuk, Rora!" Vivian jadi melupakan rasa kesalnya.
Aurora tampak berpikir. Sudah terbayang di otaknya kalau Angkasa akan dengan gamblang menolak ajakannya. "Nggak ah. Angkasa juga nggak bakal mau."
"Ih kan sama gue. Ngapain Angkasa, sih?"
"Lo tau kan-"
"Kalau Angkasa itu tunangan lo. Kemana-mana harus sama dia. Pulang pergi bareng. Nyenyenyenye," Vivian mencibir keki. Aurora langsung terkekeh mendengar tuturan Vivian. Memangnya sesering itu, ya, dia bilang begitu? Vivian sampe hafal.
Hahaha.
***
"Asa, katanya sekarang ada turnamen basket. Nonton bentar, yuk!"
"Males."
Tuhkan. Untung Aurora sudah menolak ajakan Vivian tadi. Lagipula dia tidak terlalu tertarik untuk menonton pertandingan begituan. Mendingan sama Angkasa. Bisa boncengan pulang sekolah, berpelukan seperti Teletubies.
Aurora mengikuti langkah santai Angkasa menuju parkiran sambil senyum-senyum memandangi punggung itu.
"Hei." Tiba-tiba saja seseorang menarik pergelangan tangan Aurora sampai dia perlu menghentikan langkahnya. Lalu cewek itu mengernyit memandangi seorang cowok jangkung bermasker di depannya. Tubuhnya berbalut jaket abu, bukan seragam. Sehingga Aurora yakin kalau cowok itu bukan anak sekolahnya. "Eh, kenapa? Siapa, ya?
Merasa Aurora tidak lagi mengikutinya, Angkasa membalikkan tubuhnya untuk memastikan. Dia memiringkan kepalanya melihat pada tangan Aurora yang dipegangi oleh cowok tak dikenal.
Cowok itu menurunkan maskernya. "Lupa sama gue?"
Aurora mengerjap-ngerjap. "Eh, Galaksi?" Seketika wajahnya berseri. "Kok lo disini, sih?"
Galaksi menunjuk tas di punggungnya. "Turnamen basket."
Sorot mata Aurora tambah berbinar-binar. "Loh, kirain lo tuh anak kuliahan tau." Aurora jadi terkikik ternyata perkiraannya salah waktu itu.
"Setua itu?" Galaksi berekspresi pura-pura sebal. Aurora menangkup kedua telapak tangannya meminta maaf.
"Habisan, seminggu yang lalu kan muka lo hancur banget, udah kayak ayam geprek."
Galaksi menarik hidung Aurora gemas. "Gue belum bilang makasih buat malam itu."
"Ahh, kal-"
"Lo mau pulang atau gue tinggal?" Suara Angkasa yang terdengar sinis menghentikan ucapan Aurora. Matanya saling menatap datar dengan Galaksi.
"Jangan ditinggal, Asa," Aurora merengek. "Gue duluan, ya!" Dia melambaikan tangan sambil berlalu menggandeng Angkasa. Baru beberapa meter, Aurora berbalik lagi, mengepalkan tangannya memberikan semangat untuk Galaksi sebelum dia benar-benar menghilang di belokan koridor.
Galaksi masih dengan tatapannya mengamati bayangan kosong yang tadi masih diisi oleh Aurora.