Puzzle

2003 Kata
-Ini hati, bukan puzzle. Yang bisa kamu acak-acak, lalu disusun utuh kembali- *** "Gimana kondisi perusahaan sekarang, Pa? Lebih baik, kan?" Arthur mengangguk sambil menyesap kopi buatan istrinya di Minggu pagi yang cerah ini. "Berkat Felix yang membantu menambal kerugian dengan menjalin kerja sama, kondisi perusahaan cukup stabil untuk sekarang. Tapi masih ada kendala perizinan tanah di Surabaya, rencana pembangunan hotel disana mangkrak, malah bentrok dengan warga yang tetap nggak mau pindah dari rumahnya, padahal katanya sudah dikasih uang kompensasi. Satu proyek itu bikin kita keluarin dana yang nggak tanggung-tanggung, tapi hasilnya masih nihil." Seruni berdiri ke belakang suaminya yang sedang duduk, lalu memijat pelan pelipis lelaki paruh baya yang nampak pusing ketika kembali memikirkan keadaan perusahaan. Dia memang tidak mengerti tentang segala t***k bengek urusan kantor itu, tetapi setidaknya Seruni ingin meringankan pikiran Arthur. "Nggak usah dipikirin. Nanti kalau masih mandet, minta bantuan sama Felix coba, kali aja kan dia mau bantu." Arthur menghela nafas panjang. "Rasa-rasanya aku payah banget, ya. Merepotkan dia terus. Andai tiga tahun yang lalu dia nggak pulang ke Indonesia dan makan malam sama kita, mungkin RajendraGroup sudah tinggal nama." "Hush! Kalo ngomong tuh jangan sompral. Sejauh ini kita masih bertahan, kan? Bersyukur, deh!" Arthur hanya tersenyum kecut mendengar omelan Seruni. Tanpa mereka sadari, gadis belia yang memasuki umur tiga belas tahun yang kebetulan sedang bersiap untuk berangkat jogging keliling komplek, mendengar percakapan di ruang makan itu. "Andai tiga tahun lalu Om Felix nggak pulang ke Indonesia dan nggak makan malam sama kita, Kak Angkasa sekarang udah punya pacar yang dia taksir sendiri, bukan karena perjodohan demi kepentingan bisnis Papa," ucap Pelangi lantang dengan nada yang terkesan sinis. Gadis itu mengatakannya sambil memakai sepatu sneakers balenciaga hitam hadiah ulang tahunnya kemarin. Erh oke baiklah, ini hadiah dari Aurora. Pelangi memang tidak menyukai cewek rese itu, bukan berarti menolak sepatu seharga lebih dari sepuluh juta ini, kan? Seruni dan Arthur kontan menengok pada anak gadisnya. "Ini lagi," Seruni menggeleng tidak mengerti. "Jaga deh, omongan kamu, Pelangi. Nggak ada perjodohan bisnis." Pelangi memutar bola matanya bosan. "Terus apa? Hutang budi? Balas jasa karena Om Felix udah bantuin kita, dan kalian jual masa depan Kak Angkasa? Coba kalau aku kasih tau Kak Angkasa alasan ini, gimana perasaannya?" Sejak lama Pelangi sudah tahu kalau perjodohan konyol yang melibatkan kakaknya ini pasti punya maksud tertentu. Dan secara tidak sengaja pemikirannya terjawab, ketika dua tahun lalu dia mendengar percakapan Papa dan Om Felix di telepon yang membicarakan seputar bisnis lalu disambungkan dengan hubungan Angkasa dan Aurora, Pelangi mulai mengerti kenapa perjodohan ini amat sangat mengikat. Arthur menghela nafas panjang lalu mendekat dan berjongkok persis di depan anak gadisnya. Pria berwajah tegas itu membantu Pelangi untuk mengikat tali sepatu. "Kamu anak Papa yang paling cantik," Arthur tersenyum tulus lalu mengusap pipi Pelangi. "Masih terlalu muda untuk berprasangka negatif, dan suatu saat nanti kalau kamu udah gede, pandangan buruk kamu tentang beban berat Angkasa bakal berubah. Jadi, Papa minta jangan mengatakan hal buruk yang nantinya bikin kamu menyesal, ya, sayang." Inilah penyebab Pelangi tidak bisa mengatakan yang sejujurnya kepada Angkasa. Permintaan Papa dengan nada hangat dan usapan lembut selalu berhasil membuat hatinya luluh. "Assalamu'alaikum!" Baik Pelangi, Arthur, maupun Seruni, menoleh berbarengan ke ambang pintu. Disana sosok Aurora muncul dengan cengiran polos sambil melambai kemudian melangkah masuk. "Uuu, si cantik inii," Seruni menyambutnya dengan pelukan penuh rasa sayang. "Asa masih molor pasti, ya?" "Jangan ditanya. Minggu itu jadwal kebo-nya dia." Aurora menggeleng tak habis pikir. "Entar kalo udah jadi suami, Rora siram tiap subuh. Beneran, deh!" Seruni tertawa. Tanpa sadar rahang Pelangi mengeras mendengar tuturan Aurora. Apa katanya? Suami? Ngimpi banget, dah! Dengan kesal Pelangi berdiri lalu pergi keluar rumah setelah matanya saling menatap sinis dengan Aurora. Muak. Pelangi muak dengan Aurora. Kenapa harus ada dia yang menyeruak masuk di lingkup keluarganya yang sempurna? Huh. Mengingat lagi perjodohan Aurora dan Angkasa, juga hubungan timbal balik mengenai membaiknya perusahaan Papa. Pelangi tahu kalau keluarga mereka bukan diselamatkan, namun dimanfaatkan! *** "Asa," Aurora membisik hati-hati di telinga Angkasa yang tengah pulas. Tidak melihat adanya respon, Aurora menoel pipi cowok itu berkali-kali. "Asaaaa," serunya lagi masih dengan nada berbisik. Bola mata Angkasa bergerak risih dalam pejamnya. Namun sepertinya cowok itu enggan bangun dan memilih berguling menjauhi Aurora. Aurora terkikik tanpa suara, lalu beringsut mendekati Angkasa lagi. "Ayo nyebut, Asa. Asyhadu alla ilaha illallah." "Ck. Ra!" Angkasa terduduk jengkel. Sedangkan Aurora langsung ngakak sampai tak kuat menahan diri dan terbaring di tempat tidur sambil memegangi perut. "Lagian ih. Udah jam delapan juga masih ngebo aja. Disuruh sarapan sama Tante Seruni tuh," Aurora sampai harus mengusap ujung matanya yang berair karena tertawa berlebihan. Baru akan bangkit dari posisinya, tiba-tiba saja Angkasa langsung mengungkung tubuh Aurora dengan lengan kokohnya. Bola mata Aurora membulat terpana untuk beberapa detik memandangi wajah sempurna Angkasa dari jarak sedekat ini. Alis hitam tebal dan lurus, mata tajam yang sedikit sipit akibat baru bangun tidur, hidung mancung, bibir.... omaygat. Ya Tuhan kuatkan iman Aurora. Aurora memang sudah sekuat tenaga menahan imannya, namun entah apa kabar dengan Angkasa. Karena sekonyong-konyong gerakan cowok muka bantal itu memagut bibir Aurora selama dua detik. Lalu setelahnya Angkasa beranjak ke kamar mandi setelah melihat wajah Aurora yang mematung dengan pandangan kosong. "Angkasa bau jigooong!" *** Jam sepuluh di hari Minggu ini Angkasa berenang di kolam belakang rumahnya setelah sarapan dengan sepiring nasi dengan ikan mujair tadi. Dua jam sebelumnya, saat Aurora dengan ngeselin membangunkan dia, Angkasa hanya membasuh mukanya dan menggosok gigi. Sementara Angkasa yang berenang dengan d**a telanjang, Aurora duduk di samping kolam sambil memperhatikan cowok itu, sesekali menyedot yakult di tangannya. Melihat betapa sempurnanya bentuk tubuh Angkasa saat olahraga, Aurora menahan mulutnya agar tidak terbuka yang mana nantinya air liur akan mengalir deras dari sana. Di sela-sela kesibukan memperhatikan punggung Angkasa yang berenang kesana kemari, nafas panjang Aurora terhela lemas. Sorot matanya meredup dan bibirnya sedikit melengkung ke bawah. Pikirannya kembali ke saat dua jam lalu, dimana Angkasa menciumnya tanpa aba-aba. Lalu setelahnya bersikap seolah dia tidak melakukan apapun. Saat ditanya kenapa, jawabannya adalah, "Iseng." Satu kata. Singkat. Ringkas. Padat. Jelas. Ini hanya perasaan Aurora yang terlalu melambung dan berpikir bahwa Angkasa sudah mutlak luluh padanya. Nyatanya, gunung itu belum sepenuhnya ia daki. Aurora baru sampai di lereng bawah yang landai saja, mencoba menggapai-gapai puncak yang sudah jelas tak akan pernah tergenggam di tangannya. *** "Tante, Rora pulang dulu ya!" Aurora mencium kedua pipi Seruni. Dan wanita itu balas mencium pipi serta keningnya. "Hati-hati yaa." Aurora mengangguk dengan senyuman. Matanya melirik ke pintu kamar Angkasa yang tertutup. Inginnya dia mendapatkan rekaman terakhir wajah cowok itu untuk malam ini di memorinya. Tapi sepertinya Angkasa tidak mau keluar kamar. Dengan berat hati Aurora menghembus nafas. "Bilangin Angkasa ya, Rora pulang. Bilangin juga, jangan kangen. Berat." Aurora terkekeh ketika Seruni mengangkat jempolnya. Pak Liwon sudah menunggu dengan mobil Fortuner putih yang terparkir gagah di depan gerbang rumah. Aurora segera memasukinya setelah pamit sekali lagi dengan lambaian tangan pada Seruni. Disertai helaan nafas, Aurora menyandarkan punggungnya di kursi. Memperhatikan pemandangan malam yang di lewatinya sepanjang perjalanan. Rumah-rumah dengan lampu menyala yang pasti di dalamnya ada keluarga hangat dan bahagia, kan? Seperti keluarga Angkasa. Hangat. Aurora tersenyum getir ketika memorinya mengorek kenangan sepuluh tahun yang lalu saat dia tertawa di pundak ayahnya yang berlari-lari di kejar Mama di taman kota. Dia pikir, tawa itu akan tetap hadir mengisi hari-harinya, tetapi ternyata itu adalah tawa terakhirnya bersama Mama dan Papa. "Rora kalau udah gede mau jadi apa?" Aurora masih ingat suara Mama yang bertanya dengan nada manja. "Mau jadi anak paling bahagia, main kejar-kejaran lagi sambil di gendong sama Papa!" Kala itu, Mama dan Papa terpingkal mendengarnya. "Gustii, Felix. Nggak kebayang aku entar umurmu empat puluh tahun gendong Rora yang udah segede aku di pundakmu." Sepuluh tahun yang lalu, Papa menggelitikinya karena gemas membayangkan saat nanti jika dia benar-benar menggendong Aurora di pundaknya. "Neng!" Aurora tersentak kaget. "E-eeeh, maap Neng geulis. Habisnya dipanggil-panggil enggak nyahut," kekehan canggung Pak Liwon terdengar jelas menyeret paksa Aurora keluar dari lamunannya. Aurora baru sadar kalau mobilnya tidak lagi melaju, dan juga tidak berhenti di rumahnya. "Kok berhenti, Pak?" "Anu Neng. Ini bannya kempes. Haduhh, ada-adaaa aja malem-malem begini. Bapak ada ban serep di belakang. Ganti dulu ya sebentar, nggak papa kan, Neng, ya?" "Iya, Pak Liwon, kalem ih." Aurora turun dari mobil bersamaan dengan Pak Liwon yang kemudian ke belakang untuk mengambil ban serep. Gadis itu memilih duduk di pinggir jalan sambil memeluk lengannya yang terkena angin malam. Sambil menunggu Pak Liwon mengganti ban, Aurora iseng mengedarkan pandangannya. Matanya menangkap segerombolan pemuda yang sepertinya sedang memukuli seseorang. Kalau tidak salah, mungkin jumlahnya lima orang. Gila! Tanpa sadar dia menggigit bibirnya tak tega ketika melihat orang itu terus di tendangi padahal sudah tak berdaya. Ya gimana dong. Aurora mau tolongin, tapi mana bisa. Yang ada dia diketawain kalau sampai nekat memisahkan. Dia bukan Sailormoon yang punya kekuatan bulan! Setelah beberapa waktu di dera kecemasan, Aurora melihat gerombolan itu pergi, salah satunya sempat meludahi orang yang sudah terkapar tak berdaya. Naluri kemanusiaan Aurora menjerit untuk menghampiri orang itu. Tetapi jiwa antisipatifnya berkata jangan mencampuri urusan orang lain apalagi dengan sejarah dipukuli segerombolan manusia mengerikan yang tampak seperti preman. PERSETAN! Jiwa antisipatifnya kalah. Aurora bergegas mendekati 'korban' yang sekarang sedang terbatuk mengeluarkan darah dari mulutnya. Melihat betapa parah luka memar di wajah orang yang ternyata adalah seorang lelaki, sesaat Aurora labil dan ingin putar balik saja. Tetapi langkahnya tertahan ketika mata lelaki itu menangkap gerakannya. Dengan kikuk Aurora akhirnya memilih mendekat. "Lo... nggak papa?" Fix. Kebodohan akut seorang Aurora adalah bertanya nggak papa kepada orang yang mukanya sudah tak terdeteksi lagi. Terdengar decihan sebagai jawaban. Kemudian cowok yang Aurora taksir berumur dua puluh tahun itu mencoba bangkit walaupun dadanya terasa ngilu luar biasa. Dengan inisiatif Aurora mengulurkan tangan. Tidak disambut. Baiklah. Setelah susah payah berdiri sendiri, sepertinya cowok itu berniat pergi dengan kaki pincangnya. Melihat itikad baiknya sama sekali tidak dipedulikan, Aurora jadi menatap dongkol. "Dasar. So kuat," desisnya sinis. Dia baru saja akan kembali menghampiri mobilnya, namun punggung cowok itu berbalik. "Gimana?" Suara berat yang terdengar serak keluar dari mulut sang 'korban pengeroyokan'. "Apanya?" "Tadi lo bilang apa?" "Apa?" Aurora jadi ngegas. Tak mendengar jawaban, Aurora melihat cowok berjaket jeans belel itu menghela nafas dengan tatapan tak lepas darinya. Kemudian langkahnya mendekat sehingga Aurora perlu merasa was-was. "Lo punya alkohol?" "Mana ada! Ni muka kelihatan ada tampang slengean kayak situ?" "Alkohol buat luka. Plis jangan ngajak ngegas, mulut gue nggak bisa mangap lebar-lebar buat ngatain." Ada aqua? "O—oh." Aurora berdeham mempertahankan harga diri. "Ada." Lalu dia menarik lembut tangan cowok di hadapannya untuk berjalan menuju mobilnya. Mungkin Aurora tidak sadar cowok itu terus memperhatikan pergelangan tangan yang diraihnya. Setelah menyuruh duduk di trotoar jalan, Aurora mengambil kotak obat yang untungnya selalu tersedia di laci mobil. Setiap gerakannya selalu terpindai di mata cowok itu. "Sshh! Lo nggak pernah ikutan PMR atau praktik P3K? Barusan itu penganiayaan, bukan pengobatan. Asal lo mau tau." Aurora mendelik. Untuk level orang yang hampir sekarat, cowok ini cukup bertenaga untuk melontarkan kalimat pedas walaupun dengan suara pelan. Meskipun dongkol, Aurora menurut saja untuk memelankan tekanannya pada memar-memar di wajah cowok itu. "Galaksi." "Hah?" "Nama gue. Galaksi." "Galaksi Bimasakti?" racau Aurora terkekeh ringan. "Iya. Galaksi Bimasakti." Aurora mendengus geli mendengar nama unik itu. "Ternyata nama kita sama-sama unik, ya. Gue Aurora." Selanjutnya tidak ada lagi percakapan di antara mereka sampai Aurora selesai mengobati luka cowok bernama Galaksi itu. Tak berapa lama, Pak Liwon menghampiri dan memberitahu bahwa mobilnya sudah siap jalan. Aurora berdiri. "Kalo gitu gue duluan, ya!" Wajah imut itu sempat menyungging senyum perpisahan sebelum akhirnya terjejal ke dalam mobil dan berlalu dari arah pandangnya. Sesaat, lelaki yang baru saja diobati itu terdiam merenung, berkedip memandangi jalanan sepi yang kosong. Lalu entah naluri apa yang dirasakannya, dia segera berdiri dan berlari menuju mobilnya sendiri, kaki pincangnya jadi makin ngilu namun itu tidak begitu penting sekarang. Karena rasa penasarannya mengalahkan rasa remuk redam yang seolah memencar di semua anggota badan. Dia mengikuti Aurora sampai ke rumah gadis itu. Hanya untuk mengetahui dimana tempat tinggalnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN