Bucin

1319 Kata
-Semenjak ada kata bucin, romantis jadi tak seromantis maknanya.- *** Angkasa sudah tidak heran lagi ketika melangkah ke meja makan dengan berbalut seragam lengkap dan mendapati Aurora sebagai salah satu penyantapnya disana. Cowok itu khatam banget kalau setiap jam enam pagi Aurora sudah mengetuk pintu rumahnya setelah diantar Pak Liwon —sopir pribadi, ke rumahnya. Buat apa lagi kalau bukan numpang makan dan numpang boncengan ke sekolah. Kadang dia heran, kenapa Pak Liwon enggak langsung nganterin Aurora ke sekolah aja gitu? Ngeribetin banget. Angkasa memundurkan satu kursi yang bersebrangan dengan Aurora lalu mendudukinya. Sebenarnya dia ingin duduk di kursi sebelahnya, tapi disitu udah ada Pelangi. Dan Angkasa tahu kalau adiknya itu juga ogah bersitatap dengan Aurora selama makan atau nafsu makannya hilang. Bagaimana lagi, nafsu makan Angkasa juga jadi hilang, tapi dia lapar. "Pagi, Asa!" Aurora mempersembahkan senyuman manis untuknya pagi ini. Angkasa menatap dengan tak suka. "Asa?" Alis tebalnya bertaut. Sesegera mungkin Aurora mengangguk antusias. "Asa itu Angkasa. Tapi, Asa juga artinya harapan. Karena Angkasa adalah harapan besar untuk Aurora. Keren, kan?" Seruni segera bertepuk tangan kecil menanggapinya. Aurora jadi tertawa bahagia lalu melakukan high five bersama Seruni. Sedangkan Arthur, Papa Angkasa hanya menyunggingkan senyum sambil menggeleng tak ingin ikut campur. "Jangan panggil gue begitu," tolak Angkasa datar sambil menyuapkan nasi. Aurora memberengut. "Kenapa? Bagus, kan. Bagus ya, tante?" Seruni segera mengangguk. "Jelek," komentar Pelangi tanpa berminat mengangkat kepalanya dari makanan. "Kayak lo." Aurora segera mendengus karena idenya tertolak oleh dua orang. Kakak beradik ini benar-benar, deh! Bodo amat. Pokoknya Angkasa adalah Asa. Dan kalau cowok itu mau, dia bisa memanggil Aurora dengan sebutan Ara. Asa dan Ara. Widiiiih. Cakep! Aurora jadi tertawa geli sendiri dengan pikirannya. Sedangkan ekor mata Angkasa dan Pelangi melirik sinis pada Aurora yang masih terlihat cekikikan. Orang gila! Keduanya kompak menggeleng malas. *** Setelah memarkirkan motor hitamnya di parkiran sekolah, Angkasa berjalan di belakang Aurora dengan jarak agak jauh tiga meter. Ini karena mereka satu arah aja, ya. Aslinya Angkasa malas terus menerus melihat keeksistensian cewek itu. "P-permisi," Seorang cewek menghadang langkah Angkasa. Tentu saja cowok itu harus menghentikan langkahnya padahal dia hanya tinggal masuk ke pintu kelas. Cewek itu sepertinya adik kelas. Terlihat dari badge hijau di sebelah kirinya. Oh iya, sekolah mereka memang membuat tanda khusus untuk memperlihatkan tingkatan para siswanya. Hijau untuk kelas sepuluh. Kuning untuk kelas sebelas. Dan merah untuk kelas dua belas. Bentuknya segi delapan, dicetak dengan angka romawi X, XI, dan XII. Angkasa mengangkat satu alisnya pada adik kelas itu. Dia tidak bodoh melihat kotak bekal yang ditenteng oleh gadis berkuncir kuda di depannya. Bukan GR atau mau pamer, tapi terkadang Angkasa memang mendapatkannya. "Ini, buat Kak Angkasa. Aku Kia, dari sepuluh IPS 1," suara cewek bernama Kia terdengar malu-malu sambil menyodorkan kotak bekal di tangannya. Tuhkan. Seharusnya sih Angkasa tidak perlu repot menerimanya, karena sebentar lagi— Hap! —Aurora yang akan mengambilnya. Angkasa menggurat senyum pendek melihat Aurora yang menampilkan giginya dengan ramah pada Kia. Untuk beberapa momen, Angkasa tidak keberatan Aurora menyelesaikan hal-hal yang merepotkan seperti saat ini. "Makasih," Mata Aurora menjadi sabit ketika senyuman ramahnya terkesan dipaksakan. "Tapi kebetulan Kak Angkasanya udah makan tadi di rumah," Aurora melirik name tag. "Kia." Kia membulatkan mulutnya lalu bersuara oh dengan gugup. Bingung juga ketika bukan Angkasa yang menerimanya tapi malah orang lain. Matanya bergantian menatap Angkasa dan Aurora kepo dengan hubungan mereka berdua. Padahal infonya, Angkasa lagi jomblo. Uh, apa dia dikerjain, ya? Kia baru saja akan menarik kembali kotak bekal di tangan Aurora, tetapi kakak kelasnya itu malah membawanya menjauh. "Juneed!" Aurora memanggil Juned yang sedang memegang sapu dan pengki di koridor depan kelas. Sepertinya dia lagi piket. Lalu Aurora melambaikan tangan agar Juned mendekat. "Sini, deh!" Juned tersenyum sumringah sambil melemparkan asal sapu dan pengki di tangannya, lalu menghampiri Aurora dengan tangan merentang. "I'm coming for yeahh, my baby!" Senyuman Juned perlahan sirna ketika bersitatap dengan mata tajam Angkasa di sebelah Aurora. Tangannya yang merentang jadi tergenggam dan turun dengan kaku. Mengkeret dia dihujani tatapan laser sepagi ini. Aurora mengulurkan kotak bekal di tangannya. "Nih buat lo. Biasanya lo jarang sarapan kan, kalau berangkat sekolah." Mata Juned jadi berbinar dan senyumnya merekah lagi. "Duhh pengertian ya, kamu, beb," Tangannya kelepasan mencubit pipi Aurora dengan gemas. Lalu bisa dirasakan aura gelap di sebelah Aurora yang mengintimidasi. Juned berdeham menerima kotak bekal itu. "Nah dek, nanti kalau mau ambil wadahnya, ke kakak yang ini aja, ya. Ingat, kan mukanya?" Walaupun tak rela, Kia mengangguk pasrah. "Iya, kak. Ingat, kok. Item, dekil, dan, umm," Kia menelusuri perawakan tinggi Juned. "Kayak buto ijo." Juned menelan ludahnya menahan diri untuk tidak balas menghina cewek bantet, mungil, dan bermulut layaknya petasan itu. Eh, tapi kok imut, ya? Akhirnya Kia pamit undur diri setelah meratapi kotak bekalnya yang salah alamat. Juned mengedipkan satu matanya pada Aurora sebagai tanda terimakasih, sengaja tidak mau melirik ke arah Angkasa karena dia tahu bakalan di bunuh dengan tatapan laser cowok itu. Lalu dia berbalik pergi ke kelasnya sambil loncat-loncat seperti anak SD. Menghiraukan sapu dan pengki yang tergeletak di depan kelas. Aurora mendengus dan menggeleng geli dengan tingkah absurd teman kelasnya satu itu. Lalu melirik pada Angkasa yang masih berdiri di sebelahnya. "Asa, jangan masuk kelas dulu sebelum gue, ya!" pinta Aurora. Angkasa mengernyitkan dahinya tak mengerti. Akan tetapi dia tak beranjak dari pijakan terakhirnya. Lalu Aurora melangkah mundur menjauhi Angkasa sambil terus tersenyum menatapinya. Oh, rupanya gadis itu sedang melangkah ke kelasnya sendiri. Namun langkahnya mundur karena tidak rela putus kontak dengan mata Angkasa. Angkasa menghela nafas sembari memasukkan tangannya ke saku celana menunggui Aurora masuk kelas. Dan cewek itu malah melambatkan langkahnya. Cengar-cengir memandangi Angkasa yang mulai kesal. Aurora tertawa ketika melihat Angkasa geram dan akan menyusulnya karena kelamaan. "Dah!" Dia segera masuk ke kelasnya setelah melambai. Angkasa mendengus dongkol menatap pintu kelas yang menelan sosok Aurora. Dia baru saja menyadari satu hal. Barusan dia mengikuti perintah Aurora? Astaga naga! Yang bener aja, deh! Lelaki itu menggeram frustasi atas kebodohannya sendiri. *** Jika hari Senin adalah pelajaran olahraga bagi Aurora, maka kelas Angkasa adalah hari Selasa. Jadwalnya hari ini adalah memasukkan bola basket ke ring sebanyak lima kali kesempatan. Karena lapangan basket berada di dalam ruangan, jadi kelas Angkasa tidak perlu panas-panasan tersengat matahari. Setelahnya jam bebas. Teman kelas Angkasa melakukan pertandingan basket. Sebenarnya Angkasa tidak ingin bergabung kalau saja Angga tidak menariknya lalu menunjuknya sebagai kapten, dan Angga sendiri kapten dari tim lawan. Baiklah. Angkasa meladeninya. Lagipula apa salahnya dengan olahraga? Pertandingan berjalan cukup sengit. Terlanjur join, Angkasa tidak bakal kasih kendor. Tim lawan sampai kewalahan menghadangnya. Angkasa menangkap bola basket yang dilemparkan padanya, mendriblenya sebentar lalu melemparkannya ke ring. Masuk lagi. Tepukan tangan para cewek kelasnya yang sedang menonton di pinggiran langsung riuh. Skor tim Angkasa unggul 20 poin dari tim lawan. Cukup timpang untuk dikejar. Dan sebagian besar Angkasa lah yang menyumbang angka untuk timnya. "Bangkee, bangke! Kenapa lo jago banget, sih? Ganti, woy. Ganti!" Angga mengeluh bercanda sambil merentangkan tangan menghadang Angkasa yang akan men-shoot lagi. Angkasa hanya menanggapinya dengan mengangkat alisnya dan menyunggingkan senyuman songong. Lalu dia meliuk melewati Angga begitu saja. Satu bola yang masuk ke ring menjadi poin terakhir bagi pertandingan dadakan itu. Lagi-lagi Angkasa yang memasukkannya. Menjadi kemenangan telak bagi timnya. "Canggih emang si Angkasa," Angga menggeleng tidak mengerti pada bakatnya. Angkasa tidak menghiraukan dan malah mendekati Aurora yang bisa-bisanya ada di pinggir lapangan sambil melambai ke arahnya. Ini jam masuk, kenapa cewek itu bisa keluar? Dasar. "Untung udah ada yang punya. Coba kalau belum, beuh, kelipet-lipet kita makin susah nyari cewek. Jadi fandom dia semua!" Nendra di sebelahnya menanggapi sambil memperhatikan Aurora yang dengan romantisnya mengelap peluh di dahi Angkasa dan memberikan sebotol air mineral. Lalu dia mendesah tidak rela. "Aurora cakep-cakep mau aja jadi bucinnya Angkasa. Kenapa nggak jadi bucin gue aja, sih?" Angga jadi melirik dengan penuh penilaian. Keunggulan Nendra bahkan nggak nyampe seperempatnya untuk menyaingi Angkasa. "Mau gue pinjemin kaca, Dra?" "k*****t, lo!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN