"I will love you unconditionally."
-Aurora
"Then I will hate you officially."
-Angkasa
***
Sejak kecil Angkasa tidak pernah mengambil pusing sikap dan aksioma orang-orang terhadapnya. Cowok itu juga sadar akan pesonanya, bukannya tidak peka dengan wanita yang mendekatinya silih berganti, caper dengan berbagai modus. Hanya saja dia malas terlibat hubungan asmara yang menurutnya ribet dan mengekang. Angkasa hanya perlu diam, menatap malas, memandang jengah, lalu mereka akan tahu diri dan mundur alon-alon.
Kecuali satu.
Aurora.
Jangan klasifikasikan cewek itu ke dalam golongan wanita yang tahu diri setelah Angkasa menolaknya. Karena pada kenyataannya, Aurora selalu lekat sebagai bayangan Angkasa. Mengikuti langkah demi langkah dalam pijakan alur kehidupannya. Tidak akan hengkang walaupun berkali-kali Angkasa menjatuhkan semangat gadis itu lalu menginjaknya.
Pernah, suatu ketika saat Angkasa mengusir Aurora dari rumahnya karena entah kenapa cewek itu betah sekali selonjoran di kamarnya, Aurora berkata,
"Gue itu seperti rumput. Walaupun lo injak dan lo babat. Bagaimanapun caranya pasti akan tumbuh lagi. Semuanya tergantung lo, Angkasa. Mau menganggap gue sebagai rumput hijau yang menghiasi taman, atau rumput liar yang merusak pemandangan. Gue bakal tetap hidup. Di hati lo."
Aurora mengatakan itu dengan santai sambil menyeruput yakult yang dia ambil dari kulkas dapur. Angkasa hanya bisa mengepalkan tangan dan berlalu dari ruang kamarnya sendiri.
Jika saja ada yang bisa menjawab tentang 'oke google, cara melenyapkan Aurora', Angkasa akan segera berlutut menyembahnya seperti dewa.
***
Sepulang sekolah ini, Angkasa membaur bersama siswa lain untuk pulang. Berjalan sendiri di koridor disaat yang lain saling tertawa bersama teman mereka. Angkasa nggak punya teman? Ada, kok. Hanya saja dia enggan terlibat terlalu dalam. Tenang saja, bukan hal drama seperti trauma atau apalah yang membuat dia begitu. Angkasa hanya malas bersosialisasi. Lelaki pengagum senja dan hujan itu lebih senang jika dunianya sepi.
"Angkasaa!"
Oke, satu orang saja sudah berhasil membuat hidup Angkasa ramai. Angkasa berdecak ketika sesosok gadis menghadang dengan tangan merentang di depannya.
"Kenapa nggak tungguin gue?" Aurora manyun. Angkasa berusaha untuk tidak terpancing emosi. Melihat Aurora membuat mood nya berantakan tak karuan.
"Toh lo nyusul, kan?" Suara berat Angkasa terdengar dingin.
"Iya, sih. Tapi kenapa lo selalu ninggalin gue. Belum pernah ya lo, ngerasain ditinggal? Mau gue tinggal, hah?"
MAU PAKE BANGET YA AMPUN!
Tetapi Angkasa tahu, apapun jawabannya, Aurora akan tetap disampingnya. Walaupun dia ingin sekali menjauhkan diri sejauh mungkin, Aurora akan tetap mengikutinya. Pindah planet kalau bisa, dan Angkasa akan menemukan Aurora menyusulnya.
Aurora masih mengomel dengan kalimat-kalimat yang sama sekali tidak Angkasa dengarkan, hanya memandangi wajah itu dengan malas. Angkasa memperhatikan sejumput anak rambut Aurora yang basah karena keringat dan menempel di pipi cewek itu. Ck. Aurora ini habis belajar apa lari marathon, sih? Kenapa keringetan? Bikin risih aja.
Angkasa menyibak anak rambut itu ke belakang telinga Aurora sehingga sukses membuat omelan dari bibir gadis itu berhenti dan malah terpana menatapnya.
Melihat respon itu, Angkasa mendengus lalu mendorong dahi. "Bacot banget sih, lo!" makinya lalu pergi meninggalkan Aurora yang kini tengah memegangi dadanya. Merasakan dentuman jantung yang sedang euforia dan melelehkan kakinya seperti jelly.
Tolong kasih tahu Aurora, Angkasa barusan so sweet banget, kan?
Menyadari lagi-lagi ditinggalkan, Aurora berlari mengejar ke parkiran. Lalu mencomot helm bogo yang bertengger di sisi kanan dan naik ke boncengan. Motor hitam itu baru akan melaju, Aurora segera memeluk Angkasa sangat erat.
Angkasa tidak jadi menggas motornya. "Woy ah! Engap, b**o!" Lagian, dimana otak Aurora yang bisa-bisanya berpelukan di area parkiran sekolah? Blo'on banget cewek satu ini.
Aurora malah cengar-cengir melonggarkan pegangannya.
Walaupun dengan perasaan jengkel, Angkasa tetap melajukan motornya. Padahal, kalau bisa tuh cewek di belakangnya ini minggat aja gitu. Naik angkot, kek. Manja, deh.
Saat kuda besinya sudah membelah jalanan, Aurora kembali mengeratkan pegangan menjadi sebuah pelukan. Menghirup wangi khas Angkasa yang sangat cocok bagi indera penciumannya. Angkasa ini termasuk cowok yang memperhatikan penampilan. Walaupun terkesan slengean, tetapi baju seragamnya selalu licin dan harum. Oke iya deh, itu karena Tante Seruni yang setrikain.
Cuma membutuhkan waktu lima belas menit untuk sampai di rumah Angkasa. Bangunan bercat abu-abu putih berlantai dua dan luas, juga asri dengan tanaman bonsai di halaman depan.
Aurora berjalan di belakang Angkasa seperti anak ayam yang mengikuti induknya. Setiap langkah santai Angkasa menapak selalu dipijak oleh Aurora sambil senyum-senyum. Tak sadar pemilik kaki itu berhenti, Aurora langsung menubruk punggungnya. Angkasa jadi berbalik melotot galak.
"Ngapain sih, lo?" semprot Angkasa sebal.
Aurora malah nyengir. "Setiap langkah Angkasa adalah langkah Aurora."
Angkasa jadi kepikiran untuk menginjakkan kakinya di liang lahat, lalu mengubur Aurora disana biar enggak bisa keluar lagi.
"Jangan masuk kamar gue. Gue mau ganti baju!" peringatnya lalu beranjak ke kamar.
"Eeh," tangan Aurora terulur menahan udara. Terlambat. Pintu kamar Angkasa langsung menutup begitu Aurora berniat mengejarnya.
Menghela nafas lesu, Aurora mendekati Tante Seruni yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya yang nampak teduh dan selalu tersenyum kepada Aurora, kini sedang menggosok spons ke piring kotor.
"Biar Rora yang bilas, Tante!" serunya jadi semangat. Lalu berdiri di sebelah Seruni dan mengambil piring yang sudah dicuci untuk kemudian dibilas menggunakan air keran.
Seruni ingin menjembel pipi gembil Aurora kalau saja tangannya tidak penuh dengan busa. "Calon mantu paling perhatian deh, kamu, Ra."
Deretan gigi rapih Aurora tercetak atas pujian itu.
"Halah, palingan juga ada maunya."
Kenalin, Pelangi. Adik Angkasa yang sebenarnya siiih cakep, tapi mulutnya sudah melebihi petasan di bulan puasa. Seperti Angkasa yang tampan sempurna, wajah Pelangi ini sepertinya sukses memikat banyak teman cowoknya. Cuma ya gitu, galak. Berjarak umur tiga tahun, sekarang dia baru kelas dua SMP. Selalu menjelek-jelekkan Aurora di berbagai kesempatan, sering mengibarkan bendera perang dan untungnya Aurora terlalu malas meladeni.
"Kan maunya Angkasa," Aurora memberikan kedipan kepada Pelangi yang sedang duduk di meja makan sambil memotong apel. Bukan kedipan tulus. Hanya sengaja ingin membuat Pelangi tambah keki.
Benar saja. Pelangi melotot kepada Aurora sambil mengacungkan pisau ditangannya. Segera dibalas juluran lidah oleh Aurora.
***
Malam ini hujan mengguyur rumahnya. Tidak deras. Angkasa menarik kursi dari meja belajar untuk di hadapkan ke jendela kamar. Lalu lelaki itu duduk disana. Memandangi air Tuhan yang turun dan membasahi kaca. Entah kenapa rasanya damai ketika mendengarkan suara tetesan air yang berbenturan dengan bumi. Menguarkan aroma khas yang disebut petrichor.
Tiba-tiba lamunannya terlempar ke memori saat Aurora pernah ikut duduk di sampingnya dan ikut memperhatikan air hujan.
"Lo suka hujan ya?"
Waktu itu Angkasa tidak membalas pertanyaan Aurora. Toh sudah lama cewek itu tahu.
"Angkasa. Kalau lo suka hujan, kenapa nggak keluar?"
Pertanyaan bodoh nggak, sih? Angkasa suka hujan. Bukan suka sakit karena hujan. Tetapi dia tetap tidak minat menanggapi. Males.
"Lo bisa keluar nikmatin hujan. Entar gue di sebelah lo. Payungin lo. Biar lo nggak kehujanan. Kita lakuin itu tiap hujan. Yuk!"
Segera mendapatkan penolakan. "Nggak."
***
Di saat Angkasa tenang menatapi hujan, Aurora di rumahnya sedang sibuk dengan pensil dan kertas kosong. Berbekal foto Angkasa yang diambilnya diam-diam, cewek itu mulai mengarsir lembaran polos di atas meja. Menggambar Angkasa.
Dia baru saja selesai membuat garis muka dan mata lelaki itu, tetapi aktivitasnya terhenti karena layar ponselnya berganti menunjukkan satu panggilan masuk.
Papa
Senyuman manis langsung tercetak disana. Aurora segera menggeser layarnya ke samping. "Hallo, Papa!" pekiknya kesenangan.
"Rora, belum tidur?"
Senyuman itu perlahan luntur ketika mendengar suara seorang wanita, bukan Papa. "Belum, tante."
Aurora tidak begitu mengenal wanita itu. Tapi dia tahu dari asisten Papa kalau ayahnya memang sedang dekat dengan seorang wanita berkebangsaan Indonesia yang juga bekerja di Turki, katanya kantornya dekat dengan tempat tinggal Papa, dan mereka kenalan karena pertemuan tidak disengaja.
"Ini jam berapa disana? Jam sebelas ya? Kamu besok nggak sekolah?"
"Tante telepon Rora, pakai hape Papa, udah izin?"
Sesaat tidak ada balasan. Tetapi kemudian gelak tawa terdengar renyah di seberang sana. "Masa harus izin dulu mau kenalan sama calon anak?"
Mata Aurora memanas mendengarnya. Bukan. Bukannya Aurora egois melarang ayahnya untuk menikah lagi. Hanya saja, kadang bayangan Mama masih lekat sering tersenyum dalam mimpinya.
Aurora meneguk ludah. Tiba-tiba saja dadanya merasa sesak. Samar-samar dia mendengar suara ayahnya yang pelan.
"Kamu telepon siapa?" Lalu dibalas dengan, "Rora, nih."
Dan sambungan panggilan itu terputus.
Aurora bergeming lama dengan tatapan kosong. Setitik air matanya jatuh tanpa berniat untuk diseka. Lalu air mata lainnya menyusul dan menganak pinak membasahi pipi putihnya.
Dulu, tangis Aurora sering diredam oleh pelukan Mama. Saat dia terisak, Mamanya segera menyeka sambil mengepalkan tangan memberinya semangat.
Sekarang dia harus meredamnya sendiri. Menyeka air mata dengan punggung tangannya sendiri.
Mencoba menghibur perasaannya, Aurora mencari kontak Angkasa dan memanggilnya.
"Apa?"
Suara favoritenya terdengar setelah sambungan keempat. Aurora tersenyum mendengar nada ketus Angkasa. Lagi-lagi air matanya mencelos keluar.
"Tiga detik lo nggak ngomong. Gue matiin."
Aurora semakin melebarkan senyuman mendengarnya. Angkasa memang seperti ini.
Benar. Tiga detik berikutnya menjadi akhir dari panggilan itu.
Aurora sebenarnya sudah sedikit lebih senang daripada tadi. Akan tetapi entah kenapa dia tidak bisa menghentikan tangisannya sendiri. Padahal mendengar suara Angkasa sudah membuat Aurora merasa hangat. Namun sepertinya tetap ada yang menyakitkan di dalam sana. Di hatinya. Kerinduan kepada Mamanya.
Malam itu, tangisan Aurora yang pilu teredam suara hujan yang kian deras.
***