Sumbu Poros

1105 Kata
-Kamu adalah ketidak mungkinan yang selalu aku usahakan.- *** "Hormaaat, grak!" Murid SMA 71 yang berjejer memenuhi lapangan kompak mengikuti intruksi dari komandan upacara. Lagu Indonesia Raya mengalun semangat dinyanyikan oleh tim paduan suara yang dipimpin oleh seorang dirigen. Terik matahari di Senin pagi ini mungkin bakalan menjatuhkan banyak korban jiwa kalau-kalau nanti Pak Supendi, selaku pembina upacara, menyampaikan amanat lebih dari tiga puluh menit. Ditambah lagi jika Bu Anih -sang guru BK yang sering digodain begundal langganan sekolah-, menambahkan pengumuman di akhir upacara. Beuh, siksa neraka berasa sedang turun sebagai azab para murid 71. Vivian yang berdiri di depan Aurora sudah tampak menyerah, kakinya ditekuk-tekuk bergantian sambil menahan tangannya agar tetap tegap di ujung topi. Lagu kebangsaan Indonesia Raya akhirnya selesai bersamaan dengan Sang Saka Merah Putih yang berkibar gagah di ujung tiang. Konon, bendera kebanggaan Indonesia itu butuh ratusan tahun perjuangan dan jutaan darah agar dapat mencapai puncak kejayaannya. Aurora ikut menurunkan tangannya ketika komandan upacara memberi perintah lagi. Lalu dengan iseng, diam-diam kepalanya menengok ke belakang sebentar, lalu dipalingkan lagi ke depan sambil membawa seulas senyuman cerah. Angkasa di belakangnya. Di samping kanan kalau mau tahu lebih detailnya. Upacara di SMA 71 selalu mengatur siswanya agar berbaris sesuai kelas, dengan wanita di depan, laki-laki di belakang. Aurora sengaja berdiri paling akhir di antara barisan kelasnya. Disusul Agum di belakang yang kadang iseng mencolek pinggangnya. Lalu di sebelah kanan adalah kelas sebelah. Kebetulan banget itu adalah kelas Angkasa. Dan kebetulan juga cowok itu berdiri paling pertama di antara teman cowok lainnya. Aurora menengok lagi ke belakang, keberuntungan di pihaknya karena Angkasa langsung menoleh ke arahnya. Aurora langsung memasang senyuman. Dan Angkasa langsung memalingkan arah pandangnya lagi ke depan. Huh. Aurora mendengus, tetapi tetap senang. Angkasa adalah tempat dimana Aurora mengitari setiap detik dalam hidupnya. Sumbu porosnya. "Untuk pengumuman. Istirahat di tempaaat. Grak!" Hampir semuanya melenguh protes. Perkiraan tidak meleset. Bu Anih memang tidak pernah absen memberikan pengumuman tambahan. Uh, Aurora ikut menggenggam pergelangan tangan kanannya ke belakang. Vivian sudah membungkukkan punggungnya lemas, lalu menoleh sedikit ke belakang dengan tatapan melas. "Rora, pengen pingsan," rengeknya. Aurora mengelus-elus punggung Vivian. "Gue duluan ya," sahutnya sama lemas. "Psst. Sini abang tangkap!" Agum, teman kelasnya, ikut-ikutan aja. Aurora dan Vivian segera merespon dengan delikan tak sudi. BRUKH! Ada yang pingsan namun bukan Aurora ataupun Vivian. Dia seorang siswi dari kelas sebelah yang berdiri tepat di depan Angkasa, di sebelah Aurora. Alih-alih menangkap dan menahan tubuh itu agar tidak jatuh, Angkasa malah minggir ke kiri hampir menabrak Agum di belakang Aurora, sehingga siswi itu ditangkap oleh cowok lain di belakangnya. Mulut Aurora melangah menatap tidak percaya pada wajah datar Angkasa. Benar. Inilah Angkasanya. Seorang cowok dengan segala sikap tidak pedulinya. Mulut pedasnya. Tatapan tajamnya. Wajah juteknya. Dan hati kerasnya. *** Setelah mencepol rambutnya yang banjir keringat itu ke atas dengan hasil acak-acakan, Aurora menepuk-nepuk paha Vivian geli. "Sengklek emang tunangan gue mah! Bukannya ditolongin malah diliatin doang," seru Aurora. Vivian mengangguk antusias. Vivian tidak berhenti ngakak bersama Aurora saat membicarakan kejadian di upacara tadi. "Liat nggak sih, Ra. Itu si Kania kayaknya bohongan pingsan deh. Cari kesempatan itu mentang-mentang yang di belakangnya ada Angkasa. Padahal duuh, yang nangkep si Jojo." Tawa Vivian menyembur lebih keras lagi. Geli ketika memori saat Kania yang jatuh dengan dramatis sambil memegangi kening dan ditangkap oleh Jojo berputar lagi di otaknya. Dasar dramaqueen. Satu laki-laki berpostur tubuh tinggi berkulit kecoklatan yang sedang menyeruput marimasnya ikut berkomentar. "Tega kalian ngetawain orang yang lagi sakit. Lo tau nggak, azab orang julid, saat meninggal mayatnya tidak dikubur tapi cuma dinyinyirin doang," celetuk Juned sambil melengang duduk ke kursinya di belakang. Vivian dan Aurora hanya mendecih dengan mata mengekori langkah Juned. "Daripada itu, lo mendingan browsing cara memutihkan badan secara alami tanpa harus suntik dan pake skin care," Aurora membalas keki. Juned mengibaskan tangannya ke udara seolah kebal dengan kalimat pasaran itu. "Lo pada yang baru keluar goa mana ngerti arti eksotis sih. Bule-bule di luar sana rela panasan di pantai demi kulit coklat ini," belanya bangga sambil menegakkan kerah seragam. "Juned. Lihat muka lo! Item. Dekil. Tak terawat. Tai kuping sampe menggumpal nggak di korek. Iew!" hina Vivian telak. Juned langsung memajukan bibir bawahnya ke depan sambil memasang wajah terluka. "Kalian jahat. Aku sakit." Juned menepuk dadanya mendramatisasi keadaan. Untung saja ada Aksel, sang ketua kelas dengan otak jenius dan pembawaannya yang kalem itu segera menengahi hujatan. "Ganti baju olahraga. Ditunggu Pak Anton di lapangan," suara serak yang dipuja-puja sama Vivian itu menyeru kepada semua isi kelas. Bahu Aurora langsung turun lemas. "Kenapa jam olahraga harus pas udah upacara, sih? Berasa double kill tau nggak. Dedek kan lelaah," ia menggerak-gerakkan kakinya geregetan di bawah meja. Vivian ikut menghela nafas panjang. "Untung ada Aksel di kelas kita. Kalau capek gue bisa modus pura-pura pingsan kayak si Kania tadi," sahut Vivian, kemudian nyengir sendiri atas idenya barusan. "Belajar dari kejadian tadi bego. Aksel entar minggir, dan hap! Yayang Juned yang membopong dengan gagah perkasa!" Aurora tergelak keras saat mendapatkan toyoran dari Vivian. Semua siswi di kelas sebelas IPS 1 itu langsung membawa seragam olahraga ke toilet untuk berganti termasuk Aurora. Kalau cowok sih enggak ribet, karena mereka tanpa malu-malu membuka kancing dan berganti di kelas. Baru sampai di koridor, langkah Aurora berhenti ketika di depan kelas. Vivian yang berjalan di sebelahnya mengkerutkan kening. "Apaan?" Aurora nyengir penuh maksud. "Bentar ya," ujarnya pelan. Lalu gadis itu membalikkan langkahnya sambil membungkuk ke kelas IPS 2. Tempat dimana Angkasa sedang belajar hari ini. Vivian menghela nafas panjang lalu bersidakep menunggu teman bucinnya satu itu. Pelan-pelan Aurora menyembulkan kepalanya di jendela paling belakang kelas itu untuk menghindari ketahuan. Angkasa ada disana. Duduk paling belakang dan menyender malas pada tembok sambil memainkan pulpen di tangannya daripada menyimak pelajaran. Aurora jadi terkikik melihat wajah lesu Angkasa. Mungkin merasa ada yang memperhatikan, Angkasa menoleh ke jendela dan melebarkan matanya ketika mendapati kepala Aurora menyembul disana. Angkasa mendelik tak suka ketika Aurora melambai dan mengepalkan tangan untuk memberinya semangat. Cowok itu mengalihkan tatapannya ke depan sambil berdecak malas. Melihat respon itu, Aurora jadi manyun. "Rora buru ih!" Vivian menyeru. "Gue nggak mau lari keliling lapangan karena telat, ya! Capek tadi udah panasan pas upacara!" Aurora mendengus tapi menurut juga. Untuk terakhir kalinya dia mengintip lagi ke dalam kelas itu, tetapi Angkasa tidak pernah menoleh lagi ke arahnya. Memang seperti itu sejak hampir tiga tahun ini. Aurora hanya mampu mengubah status Angkasa sebagai tunangan, bukan perasaannya. Namun, batu yang keras saja bisa lapuk jika terus menerus terkena air, kan? Aurora sudah membulatkan tekad untuk menghancurkan batu yang mengeraskan hati Angkasa untuknya. Membuat Angkasa juga membalas perasaannya. Berdo'a saja supaya Aurora tak menyerah. Aurora, fighting! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN