Pagi ini Jaka bangun dengan suasana hati yang sangat baik. Bagaimana tidak? Ucapannya pada pria yang dia yakini adalah Roy yang mengaku kalau dia adalah calon suami Sheila membuat pria itu langsung diam seribu bahasa. Ditambah lagi, Sheila juga tidak menolak kalimat itu. Gadis imut itu justru tersenyum begitu manis padanya. Bertambahlah bunga-bunga yang bermekaran di hati Jaka.
Dengan peluh yang bercucuran, Jaka memasuki unitnya. Dia baru saja melatih ototnya di sasana lantai lima apartemen. Jaka segera memasuki kamar mandi untuk bersiap. Pukul sembilan nanti dia ada janji temu dengan CEO PT. KL. Entah apa yang ingin dibicarakan CEO itu. Yang Jaka tahu, CEO PT. KL adalah seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan. Namanya Alvin Haris Pratama. Ayahnya dulu yang mendirikan PT. KL itu. Jaka sudah menjadi investor di perusahaan itu sejak ayah pak Alvin menjabat dulu. Prospek perusahaan yang bagus dan cemerlang membuat Jaka tidak segan-segan untuk menambah investasinya hingga akhirnya dia mempunyai dua puluh persen saham di sana. Jumlah kepemilikan yang cukup besar. Dia pemilik terbesar kedua. Jaka alias Arjuna begitu dihormati di perusahaan itu.
Lalu saat pergantian CEO, Jaka melihat kalau Pak Alvin begitu cerdas dan cekatan, visioner dan perfeksionis. Sangat cocok memegang jabatan itu. Jaka sangat menyukai hasil kinerja Pak Alvin. Bersih, tidak pernah ada masalah. Lalu apa sebenarnya ada masalah di dalam perusahaan? Jaka jadi semakin penasaran.
Jaka sudah mandi. Sarapan juga sudah siap. Dengan kemeja putih dan jas abu-abu gelap, dia siap bertemu dengan CEO PT. KL. Rambutnya yang memang tidak panjang disisir rapi, diberi sedikit gel agar terlihat tidak kusam. Sepatu hitamnya selalu mengkilap karena rutin dirawat. Jaka kini duduk di dengan tenang di apartemennya yang sepi.
“Mungkin sebentar lagi tempat ini tidak akan sepi lagi kalau ada Sheila,” ucapnya dalam hati.
Jaka jadi membayangkan bagaimana harinya jika Sheila benar-benar menjadi istrinya. Duh, membayangkan saja sudah membuat hati pria itu berdebar tidak karuan. Senyum sesekali muncul di bibirnya saat sarapan. Dia bahkan sempat tersedak hebat saat meminum s**u rendah lemaknya.
“Ya ampun, Sheila. Ini gara-gara kamu sampai tenggorokanku sakit seperti ini. Untung saja bajuku tidak kotor.”
Pukul delapan lebih dua puluh menit tepat, Jaka keluar dari apartemennya. Kali ini, dia tidak mungkin menggunakan motor. Jadi dia memilih Lexus dua pintu miliknya yang dia beli seharga empat milyar rupiah lebih. Pukul sembilan kurang dua menit, Jaka sudah berdiri di depan pintu utama PT. KL.
“Selamat pagi, Pak Arjuna. Silakan!” Seorang satpam segera memimpin jalan memasuki gedung PT. KL. Kali ini bukan Pak Supri. Kira-kira ke mana satpam satu itu?
Dengan langkah tegap penuh percaya diri, Jaka melangkah masuk. Sesekali matanya mencari-cari keberadaan Sheila. Namun yang dia cari ternyata tidak ada di lantai satu.
Sekretaris Pak Alvin rupanya sudah menunggunya di depan lift. “Mari, Pak Arjuna.” Arjuna mengangguk dan mengikuti sang sekretaris memasuki lift.
Sekretaris perempuan itu kini memimpin Jaka. Dia memencet tombol lima belas, tempat para eksekutif tertinggi berada. Tidak ada yang tahu bagaimana berdebarnya sang sekretaris saat berdua di dalam lift dengan Arjuna.
Wangi parfum Dior menguar kuat tapi lembut dari tubuh sang investor muda. Chika tahu parfum yang digunakan Arjuna karena dia pernah sengaja survey parfum. Dia begitu penasaran dengan wangi Arjuna. Dan ternyata itu adalah Dior. Parfum yang identik dengan aktor keren Johny Depp itu terasa sangat cocok dipakai oleh Arjuna yang pendiam tapi tidak dingin, sama seperti bang Johny yang cool tapi suka tersenyum. Dan hal itu membuat sang sekretaris gugup dan berkali-kali meneguk ludahnya. Dia selalu saja merasa tenggorokannya kering setiap kali berdekatan dengan sang Arjuna. Dan lamunannya tentang betapa nyaman berada di samping Arjuna harus terhenti karen pintu lift sudah terbuka.
Chika keluar terlebih dulu dan diikuti oleh Arjuna.
Arjuna alias Jaka berjalan di belakang Chika. Entah hanya perasaannya sendiri atau memang sudah aslinya cara berjalan Chika begitu. Jaka merasa langkah Chika terlalu dibuat-buat, seakan menggodanya. Jaka menyadari itu karena jika dia berjalan dengan Pak Alvin dan Chika di depan, langkahnya terlihat biasa saja. Jaka menghela nafas. Semoga saja ini hanya perasaannya sendiri.
Chika segera membuka pintu ruang CEO begitu mereka tiba.
“Pak Arjuna, silakan masuk!” Alvin berdiri untuk menyambut tamunya dengan hormat.
Arjuna melangkah masuk sedangkan Chika langsung undur diri untuk membawakan minum dan makanan ringan untuk bos dan tamunya.
“Pak Arjuna, apa kabar?” Alvin menjabat tangan Jaka.
“Baik, Pak Alvin. Terima kasih.” Jaka menyambut tangan Alvin.
Alvin mengajak Jaka duduk di sofa. Arjuna memilih duduk di sofa panjang sedangkan dia sendiri dudu di sofa single.
“Sepertinya belum satu tahun sejak terakhir kita bertemu,” kata Jaka tanpa basa-basi.
Alvin terkekeh. “Memang betul. Pak Arjuna begitu teliti. Tidak salah bisa menjadi investor kaya yang benar-benar memiliki passive income dari saham.”
“Pak Alvin terlalu memuji. Saya hanya manusia biasa. Jadi, ada berita apa?”
Belum sempat Alvin menjawab, Chika mengetuk pintu dan kembali masuk dengan membawa troli berisi minuman hangat dan beberapa camilan. Setelah menata semua di meja, Chika kembali undur diri.
Setelah pintu kembali tertutup, Alvin menatap Jaka dengan raut serius. Tangannya memegang satu map. “Jadi begini, Pak Alvin. Kami berencana membuat produk baru, seafood kaleng. Semua sudah dijelaskan di dalam map ini.”
Jaka menerima map itu dan membukanya. Matanya mulai membaca huruf-huruf di sana.
“Dari pada kami berutang pada bank, kami menawarkannya terlebih dulu pada Anda.”
“Hmm. Tiga ratus milyar?”
“Betul, Pak Arjuna.”
“Dan ini secara otomatis menambah jumlah saham saya di sini?”
Alvin kembali mengangguk. “Secara otomatis juga menambah dividen Anda, Pak Arjuna.” Alvin begitu optimis Arjuna akan menyetujui proposalnya. Dalam hal ini, tidak akan ada yang dirugikan. Semua bisa untung. Perusahaan tidak perlu berutang pada bank dan Arjuna bisa mendapat dividen yang menggiurkan setiap tahun. Alvin yakin Arjuna punya lebih dari tiga ratus milyar.
Arjuna alias Jaka masih membaca proposal yang diajukan oleh Alvin. “Saya akan mempelajari ini lebih dulu. Tidak mungkin saya langsung teken karena nilainya cukup tinggi. Beri saya tiga hari.”
“Baik, pak Arjuna. Kami sangat berterima kasih Anda bersedia meluangkan waktu untuk mempelajari proposal kami.”
Dan pembicaraan mereka pun beralih ke topik yang lebih ringan sambil menikmati teh dan kue kering yang disuguhkan Chika.
--
Jaka kini sudah mengubah penampilannya. Tidak lagi ada kemeja mahal dan jas keren. Semua diganti dengan kaos polos berwarna abu-abu terang. Celana kain panjang sudah berganti dengan celana jeans pudar panjang. Sepatunya diganti dengan sandal mini so seharga seratus ribu. Gaya investor kerennya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Semua barang yang dia kenakan tidak ada yang lebih dari seratus lima puluh ribu kecuali jam tangan. Itu pun dia hanya memakai Alexander Christie yang seharga satu jutaan. Dia takut jamnya terkena air dan langsung rusak. Itu sebabnya dia masih memakai yang sedikit mahal.
“Sudah siap jadi tukang parkirnya Sheila sore ini. Sori tadi pagi nggak bisa bantu markir sepeda kamu karena ada undangan,” ucapnya sendiri saat di depan cermin.
Senyum bahagia terpancar kuat dari bibir Jaka. Gegas dia meraih kunci motornya karena jam sudah menunjukkan pukul tiga sore lebih. Dia tidak ingin terlambat.
Jaka memukul kemudi motornya dengan kesal. sebuah kecelakaan membuat jalanan macet. Akibatnya perjalanan ke kantor KL yang biasanya hanya memakan sekitar tiga puluh menit, kini sudah dua jam. Sudah bisa dipastikan dia terlambat. Jam kerja Sheila sudah lama berakhir. Akhirnya Jaka tiba di parkiran KL pukul enam sore. Dia turun dari motornya dengan kesal. Hari ini dia gagal bertemu Sheila.
“Sial!” Jaka memandangi area parkir KL yang sudah sepi. Ada beberapa motor, tapi bukan motor Sheila. Jaka yakin! Dia sudah sangat hafal dengan nomor pelat gadis imut itu.
Jaka memilih untuk mencari makan saja. perutnya sudah lumayan kosong. Terakhir kali perutnya diisi saat siang tadi dia pulang dari KL. Setelahnya, pikirannya larut dengan segala tulisan di dalam proposal Alvin.
“Saya pesan ikan bakar satu. Tolong lalapannya dibanyakin!” ucap Jaka pada salah satu pelayan stand. Pelayan itu mengangguk lalu memberikan Jaka meja khusus karena suasana sedang ramai-ramainya. Maklum saja, jam magrib begini banyak pegawai yang sedang mencari makan.
Sebuah meja kecil dengan dua kursi ditata untuk tempat sang pemilik lahan yang sebenarnya. Dengan sedikit sisa kesabaran, Jaka menunggu makan malamnya. Matanya hanya fokus pada ponsel di tangannya. Dia sama sekali tidak tertarik untuk mengamati sekitarnya. Tidak akan ada yang menarik. Dengan penampilannya yang seperti ini, tidak banyak wanita yang menginginkannya. Berbeda saat dia sedang dalam mode investor. Seakan semua wanita berlomba-lomba untuk menarik perhatiannya. Jaka tersenyum miris. Betapa murah harga seorang wanita akhir-akhir ini. Sangat jarang wanita yang menawarkan hati yang tulus. Itulah yang membuat Jaka masih betah melajang sampai sekarang meski dia sudah matang.
Tidak lama kemudian, makan malamnya sudah tersedia di hadapannya. Jaka mulai menikmati makan malamnya dalam diam hingga tiba-tiba seseorang duduk di hadapannya.
Mata Jaka melotot. Sheila duduk di depannya!!
“Mas Parkir! M-maksudku Jaka, kita nikah beneran aja, yuk! Aku ikhlas meski kamu Cuma tukang parkir. Yang penting pekerjaanmu halal dan kamu tekun bekerja, nggak malas. Gimana?”
Jaka masih belum bisa memroses kalimat Sheila yang memasuki telinganya.
“Mas Jaka jangan khawatir tentang keuangan. Nanti kita bisa fifty-fifty. Aku sudah pegawai tetap di KL meski baru satu tahun. Gajiku empat juta, belum termasuk lembur. Gimana?”
Sheila kembali bertanya pada Jaka. Dia terlihat gelisah tapi matanya menatap Jaka penuh permohonan.
Tidak baik membiarkan gadis imut memohon terlalu lama, bukan? Jadi Jaka menjawab, “Oke!”