“Hah? Mas Jaka serius? Nggak bohong, ‘kan?” tanya Sheila. Dia begitu terkejut karena Jaka langsung mengiyakan ajakannya begitu saja.
“Lho? Kamu sendiri serius atau nggak?” Jaka bertanya balik.
“Aku serius!”
“Ya udah!”
“Ya udah!”
“Ayo!”
“Ke mana?” tanya Sheila kebingungan.
“Makan dulu setelah itu baru kita bahas ajakanmu.” Jaka meminta pelayan untuk tambah nasi dan lauk untuk dimakan berdua bersama Sheila.
Mereka berdua pun menikmati makan malam. Jaka sekuat tenaga menahan bibirnya untuk tidak terus tersenyum. Jantungnya berdetak kencang penuh kebahagiaan. Dia juga menahan matanya untuk tidak berkali-kali berkali-kali melirik gadis imut yang duduk di depannya. Dia tidak pernah mengira Tuhan akan begitu baik padanya, memuluskan jalannya untuk berdekatan dengan Sheila dan bahkan memilikinya!!
Sedangkan Sheila hanya terdiam menikmati makan malamnya. Pikirannya bergejolak. Dia tidak menyangka Jaka akan benar-benar menerimanya sebagai istri semudah itu. Apa keputusannya sudah benar? Tiba-tiba saja Sheila merasa berdosa pada Jaka. Apa Jaka benar-benar dia jadikan pelarian? Semoga saja tidak. Sheila yakin dia akan mudah jatuh cinta pada Jaka yang memang baik dan hell yeah dia cukup tampan!! Matanya melirik sekilas pria tampan di depannya. Pandangan mereka bertemu. Jaka menyunggingkan senyum yang teramat manis membuat d**a Sheila berdegup sedikit lebih kencang.
Selesai makan malam, Jaka sengaja mengantar Sheila kembali ke kosnya. “Kita bahas ajakanmu besok saja. Aku lihat kau sedikit lelah,” ucap jaka.
Sheila mengangguk. Dia memang lelah setelah semua yang terjadi hari ini. Mereka berdua pun berjalan beriringan menuju parkiran.
“Terima kasih sudah mau menerimaku, Mas. Aku tidak tahu harus berkata apa atau melakukan apa untuk membalasmu.”
Jaka tersenyum mendengar kalimat Sheila. Kakinya melangkah mendekat. Tingginya yang 180 sentimeter membuat Sheila mendongak untuk melihat wajah Jaka. Mata keduanya terkunci saling menyelami sosok masing-masing.
“Lihatlah! Bukankah dia begitu imut? Tingginya hanya sebatas bahuku saja. Tubuhnya kecil. Beratnya mungkin hanya 45 kilogram. Ya Tuhan! Dari semua wanita yang pernah aku jumpai, nyatanya hanya Sheila yang mampu membuatku begini,” ucap Jaka dalam hati.
“Aku bukan pria romantis yang bisa memberimu kata indah dan melelehkan hatimu. Tapi aku seorang pria yang akan melakukan apa pun untuk kebahagiaanmu. Dan itu termasuk kesetiaanku,” ucap Jaka dengan nada tenang dan penuh keyakinan.
Mata Sheila sontak berkaca mendengar semua itu. “Aku akan selalu menuntutmu untuk setia. Aku tidak peduli dengan pekerjaanmu. Yang penting halal. Berapa pun yang kau berikan, aku akan menerimanya dengan senang hati.”
Jaka tersenyum dan mengangguk. Jaka semakin yakin dengan Sheila. Gadis di depannya ini tidak menormorsatukan harta. Dia menginginkannya bukan karena harta yang dia miliki! Jaka jadi semakin ingin memanjakan Sheila. “Itu pasti! Aku rasa pernikahan kita memang sudah direstui oleh Tuhan. Buktinya ibumu langsung setuju denganku. Dan aku yakin orang tuaku juga akan menyukaimu.”
Mendengar kata restu dari orang tua, sontak saja membuat hati Sheila berdesir hangat. Jantungnya berdegup kencang. Ya, dulu hubungannya dengan Roy memang tidak direstui oleh ibunya.
“Ayo! Aku antar pulang ke kos. Sebagai calon suami, aku berhak tahu tempat tinggal kamu, ‘kan?” Jaka membantu Sheila mengeluarkan motornya. Lalu dia sendiri mengeluarkan motornya.
Motor mereka pun beriringan sampai ke kos Sheila. Sheila berkendara di depan dan Jaka dengan setia mengekor di belakangnya.
“Terima kasih, ya Jaka,” ucap Sheila saat sudah sampai di depan kos.
Jaka mengangguk. Mereka sedang berdiri di depan gerbang kos.
“Mau aku parkirkan motormu? Aku juga bisa jadi tukang parkir di sini.”
Sheila terkekeh tapi sedetik kemudian dia membayangkan gadis-gadis penghuni kosnya akan berusaha merebut perhatian Jaka. Meski Cuma tukang parkir, tapi Jaka memang memesona. Tubuhnya yang tinggi dan wajahnya yang bersih mampu menutupi pekerjaannya dengan sempurna. Tidak akan ada yang menyangka dia hanya seorang tukang parkir.
“Jangan ah! Entar penghuni yang lain jadi ingin diparkirkan motornya. Nggak boleh! Aku nggak mau orang lain menikmati pelayananmu.”
“Eh? Pelayanan apa ini maksudnya?” goda Jaka. Dia memainkan alisnya sambil tersenyum penuh makna.
“Ngg, m-maksudnya... itu...” Sheila tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Mukanya sudah memerah. Dia tidak menyangka Jaka akan menggodanya seperti itu.
“Tunggu nikah dulu ya. Nanti aku kasih pelayanan yang memuaskan.” Sekali lagi Jaka menggoda Sheila hingga wajahnya yang sudah merah semakin memerah.
“Nggak ngerti ah! Mending pulang sana, udah malam.” Sheila buru-buru masuk dan menutup pagar.
Di luar, Jaka tertawa melihat tingkah Sheila yang selalu menggemaskan di matanya.
“Oke, aku pulang ya?” teriak Jaka. Setelahnya, dia kembali melajukan motornya kembali ke apartemennya.
Sesampainya di apartemen, Jaka langsung menghubungi kepala keamanan PT. KL.
“Selamat malam, Pak Arjuna.”
“Malam, Pak. Tolong kirim CCTV di lobi, area parkir, dan tempat divisi pajak dan akunting selama sehari ini!”
“Baik, Pak. Akan segera saya kirim ke email.”
“Hm, terima kasih. Maaf mengganggu malam-malam.”
“Tidak masalah, Pak. Selamat malam.”
Jaka meletakkan ponselnya di atas nakas. Dia pun mencuci muka dan mengganti bajunya dengan piama. Setelahnya, dia memilih duduk di sofa kamar dan membuka laptop. Sebuah email sudah masuk. Jaka pun membukanya.
Dia merasa ada yang aneh dengan Sheila malam ini. Meski dia suka dan sangat menyambut baik ajakan gadis imut itu, tapi tetap saja ada yang mengganjal. Tidak mungkin seorang gadis mengajak nikah seorang lelaki seperti itu. Jaka yakin ada sesuatu yang terjadi pada Sheila hingga gadis itu begitu frustrasi mengajaknya menikah. Sheila juga terlihat sedikit pendiam. Tidak seperti biasanya. Namun apa pun itu, Jaka tidak akan mengubah keputusannya menikahi Sheila.
“Oke, sekarang mari kita lihat apa yang terjadi pada Sheilaku hari ini.” Jaka mulai memutar rekaman CCTV kantor.
Pertama kali dia membuka rekaman CCTV di ruangan Sheila. Tidak ada yang aneh. Hanya saja, Sheila terlihat agak tidak bersemangat. Jaka beralih menuju kamera lobi. Jaka melihat seorang kurir mengantarkan kresek dengan logo restoran fast food yang terkenal. Dia yakin isinya makan siang. Ternyata kiriman itu untuk Sheila. Jaka kembali melihat raut Sheila yang ditekuk. Kemudian, tanpa aba-aba, dia langsung memberikan makan siangnya pada seorang OB yang kebetulan lewat. Jaka jadi berasumsi kalau yang membelikan makan siang adalah orang yang tidak disuka Sheila.
Kini, tangannya mengarahkan kursor pada CCTV di area parkir. Awalnya, tidak ada yang aneh. Rekaman itu menunjukkan pukul 19.50. Sheila mendekati motornya lalu tiba-tiba dia melihat Roy mendekati gadis itu. Jaka bisa melihat raut ketidaksukaan pada wajah Sheila. Mereka terlibat sedikit perdebatan namun Sheila menyingkir lebih dulu.
Ternyata Roy mengejarnya dan menggenggam lengan Sheila. Keributan kecil itu akhirnya mengundang sekuriti yang ada. Kemunculan dua orang satpam membuat Roy harus menyingkir. Sheila pun memasuki gedung kantor dengan selamat.
Jaka kembali memutar rekaman di lobi. “Kenapa Sheila kembali masuk? Bukankah sudah waktunya pulang? Lagipula, ini sudah hampir pukul delapan malam.”
Mata Jaka mengawasi rekaman yang diputar. Dia melihat Sheila memasuki kamar mandi di lobi. Tangannya berkali-kali mengusap pipi. Jaka yakin Sheila menangis.
Secara otomatis, tangannya mengepal. Matanya menggelap saat gambar Roy terlihat di layar laptopnya.
--
Jaka sudah mempelajari dengan baik proposal yang diajukan Alvin. Pagi ini, dia berencana untuk menemui CEO itu. Setelan kemeja dan jas tanpa dasi sudah dia pakai. Kesan formal dan kasual tampak melekat dalam diri Jaka. Dengan langkah tegap dan percaya diri, Jaka memasuki gedung PT. KL. Kali ini Chika sudah menunggunya di pintu lobi. Sekretaris itu langsung menyambut Jaka dan mengarahkannya menuju ruangan Alvin.
Chika kembali dibuat terpesona oleh penampilan Jaka. Sesekali, dia melirik investor muda itu melalui pintu lift dan tidak sadar meneguk ludahnya sendiri.
“Tolong bersikap profesional!” ucap Jaka tanpa tedeng aling-aling. Dia sudah merasa jengah dengan sikap Chika yang menyebalkan. Padahal Jaka sudah tidak melirik ataupun menunjukkan gesture menerima semua lirikan Chika, tapi sekretaris satu ini seperti tidak tahu malu.
Chika langsung tergagap mendengar kalimat Jaka. Gadis itu langsung menunduk. “Ma-maafkan saya, Pak Arjuna,” ucapnya tanpa mengangkat kepalanya kembali.
Jaka tidak menyahut. Suasana hatinya memburuk karena Chika. Namun Jaka segera teringat kembali tujuannya datang kemari.
“Silakan, Pak Arjuna.” Chika membuka lebar-lebar pintu ruangan Alvin.
Arjuna masuk saat Alvin sudah berdiri untuk menyambutnya. “Selamat pagi, Pak Arjuna! Silakan masuk. Chika tolong minum dan camilannya.”
“Baik, Pak.” Chika mengangguk dan segera berbalik menuju pantry.
“Langsung saja, Pak Alvin. Saya sudah membaca proposal Anda kemarin. Terus terang saja, saya tertarik,” ucap Jaka tanpa basa-basi.
Wajah Alvin langsung berseri secerah mentari pagi.
“Tapi saya punya sedikit penyesuaian,” lanjut Jaka.
“Katakan saja, Pak Arjuna!” sambut Alvin tidak sabar.
“Saya bersedia menambahkan seratus milyar dengan imbal kepemilikan saham 52%.”
Mata Alvin membesar. Dia tidak menyangka Arjuna alias Jaka ini mengincar perusahaannya. Dengan kepemilikan di atas 50%, bukankah itu berarti Jaka berniat memiliki perusahaan ini? Apa sebenarnya yang diincar pria ini?
“Tap-tapi... Pak Arjuna serius?”
“Apa saya terlihat sedang bercanda, Pak Alvin?”
Alvin langsung menyandarkan punggungnya ke sofa.
“Pak Alvin tenang saja. saya tidak akan menggeser jabatan Pak Alvin di perusahaan ini. Saya juga tidak mumpuni untuk menjadi seorang CEO. Semua direksi akan bekerja seperti biasa. Saya tidak akan ikut campur, saya cukup puas dengan kinerja mereka. Saya hanya ingin 52% saham di sini. Bagaimana?”
“Tapi, Pak...”
“Kalau memang Pak Alvin ragu, lebih baik saya investasikan uang saya di bidang lain saja.” Arjuna langsung berdiri.
“Tunggu dulu, pak Arjuna!” Alvin langsung ikut berdiri.
Jaka menoleh.
“Begini saja, Pak Arjuna. Saya akan mendiskusikan hal ini dengan mama terlebih dulu. Bagaimana? Beliau juga punya saham di sini, ‘kan?”
“Hmm, saya benar-benar tidak punya waktu Pak Alvin. Uang saya di brankas keburu dimakan tikus,” ucap Jaka asal meski dia tahu tidak akan ada tikus di apartemennya. Kakinya perlahan melangkah menuju pintu.
“Baik! Baik, Pak Arjuna. Saya setuju. Saya yakin mama juga akan setuju dengan keputusan saya.”
Jaka langsung tersenyum lebar. Tidak sia-sia dia belajar negosiasai. Dengan 52% kepemilikannya di PT. KL, Jaka berharap dia bisa lebih melindungi Sheila dari kecoak bernama Roy. Dia tidak ingin lagi pria itu mengganggu calon istrinya, Sheilanya. Mulai sekarang, hidup Sheila akan berubah dengan bantuannya.