Sheila merasa dirinya sudah gila karena semalam mengajak Jaka menikah begitu saja. Dan lebih gila lagi karena lelaki itu langsung setuju begitu saja!! Entah apa yang ada di pikiran Jaka. Pria itu pasti berpikir kalau dia gadis gila karena mendadak melamarnya. Atau jangan-jangan Jaka memang sudah menyukainya? Uh, jangan keger eran dong, Shei!
Salahkan saja pada Roy yang kemarin menerornya terus seharian. Sheila sudah bilang kalau tidak mau bertemu. Eh, mantan sok cakepnya itu malah menunggunya di parkiran waktu pulang kerja. Apalagi pria itu dengan tidak tahu malunya bilang kalau Sheila terlalu lebay dan mengada-ada sampai meminta putus. Dengan entengnya dia bilang dia tidak ada hubungan apa pun dengan Linda itu. Dan apa yang dilihat Sheila waktu itu tdak berarti apa-apa. What? Apa itu maksudnya mereka telanjang di sebuah apartemen itu memang tidak terjadi apa-apa? Helo! Biar Sheila masih perawan, tapi dia nggak bloon.
Uh, kan Sheila jadi tahu nama selingkuhannya!!
Padahal Sheila sendiri sudah bisa melewati harinya tanpa air mata meski dia baru saja putus. Memang seharusnya dia mendengarkan perkataan mamanya kalau Roy bukan laki-laki yang baik.
Eh, tapi apa itu artinya Jaka memang laki-laki yang baik untuknya?
“Ya Tuhan!! Di mana-mana pria yang melamar gadisnya. Ini kenapa aku yang melamar prianya???” Sheila menggelengkan kepalanya sambil memejamkan matanya. Dia kemudian memijit kepalanya.
“Kamu kenapa?” tanya Cindy, rekan kejanya. Mereka cukup dekat sebenarnya. Beberapa kali mereka nonton bersama.
Sheila langsung menoleh. “Nggak ada apa-apa. Tiba-tiba aja pusing,” jawabnya sambil tersenyum kecut.
Cindy mengangguk. Dia kembali fokus dengan laptopnya. “Tapi dari kemarin aku lihat kamu sedikit pendiam.”
“Pendiam gimana?”
“Ya kamu agak diam aja. Nggak banyak omong. Biasanya ‘kan kamu suka ngomong tuh. Tapi kamu pendiam banget dari kemarin. Ada apa?”
Sheila terdiam. Apa dia perlu menceritakan masalahnya pada Cindy? “Aku putus sama Roy.” Akhirnya Sheila mengungkap fakta itu.
“Hah? Serius?” Cindy melotot kaget.
“Apa sih? Biasa aja dong reaksinya.”
“Jelas kaget dong! Kamu ‘kan kayaknya cinta banget sama dia. Tiap hari yang diomongkan gimana sempurnanya Roy jadi pacar kamu yang tampan, pengertian, sabar, baik, dan blah blah blah itu. Ini kenapa jadi bisa putus? Dan aku sama sekali nggak lihat kamu menangis! Kamu Cuma diam aja gitu.”
“Dia selingkuh.”
Cindy semakin melotot. Sheila yakin kedua bola mata temannya itu akan melompat sebentar lagi. “Emangnya pelakornya lebih cakep dari kamu?” Cindy langsung memutar kursinya dan menghadap Sheila dengan benar.
Sheila mengedikkan bahunya. Dia malas mengingat-ingat wajah Linda. Buat apa?
“Ck! Tapi pelakor itu meski nggak cantik-cantik banget yang penting bisa diajak ke kamar pasti lakinya mau,” ucap Cindy sinis
“Emang gitu??” Kini giliran Sheila yang terkejut. “Pantas saja!”
“Apa? Ada apa? Emang pelakornya diajak ke ranjang ya?”
“Aku lihat dia setengah telanjang gitu di apartemen Roy. Dan si Roy Cuma pake boxer doang,” jawab Sheila enteng.
“What?? Kamu serius?? Wah, parah emang si Roy. Kenapa kamu ceritanya biasa aja gitu? Nggak ada sedih-sedihnya sama sekali.” Cindy memerhatikan raut Sheila dengan seksama.
“Eh eh, ada apa ni?” Gita yang mendengar suara Cindy langsung bergabung.
“Sheila putus dari Roy,” bisik Cindy.
“What??!!” pekik Gita.
“Ehm!!” Deheman Kepala bagian akunting langsung membuat tiga orang itu langsung duduk di meja masing-masing dan kembali fokus dengan laptop mereka.
“Maaf, pak,” ucap tiga gadis itu kompak.
“Ngerumpinya dilanjut saat makan siang saja. Itu hanya dua puluh menit lagi.”
“Iya, Pak.”
“Yang lain ayo semangat kerjanya! Akhir bulan sudah kurang seminggu lagi.”
Setelah sang kepala bagian berlalu, Gita langsung mengirim pesan pada Sheila dan Cindy meminta mereka untuk makan siang bersama.
Cindy langsung menjawab oke dengan emotikon api membara dan mata berbinar.
Sheila hanya membalas dengan emotikon jempol saja.
Sheila memasukkan ponselnya ke dalam saku dan kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia begitu fokus hingga bahunya ditepuk oleh seseorang. Dan ternyata itu Gita dan Cindy yang tengah tersenyum lebar padanya.
“Apa?” tanya Sheila tanpa dosa.
“Ck! Ini udah jam istirahat, Sheila. Ayo buruan! Kamu berhutang banyak penjelasan sama kita.”
“Serius udah istirahat?” Sheila langsung melihat jam di tangannya. Benar sudah jam dua belas.
“Ya udah, ayo!” Sheila segera menyimpan pekerjaannya dan bersama kedua temannya berjalan menuju foodcourt di sebelah kantor.
Mereka bertiga langsung mendatangi penjual makanan yang mereka mau. Gita memilih nasi campur dan es jeruk. Cindy lebih suka nasi gudeg dan es buah sedangkan Sheila memilih bakso campur pedas ditambah lontong. Untuk minumnya, dia memilih es kelapa muda.
“Eh, kalian sadar nggak sih kalau kita dapat meja dengan mudahnya?” tanya Gita sambil berbisik.
Cindy dan Sheila pun mendongak dan mengedarkan pandangannya.
“Hm, benar! Lihat tuh sebelah sana ada yang nggak kebagian tempat duduk. Emangnya tadi yang milih meja siapa?” tanya Cindy. Pasalnya, meja mereka bahkan hanya diisi mereka saja meski sebenarnya bisa untuk enam orang.
“Sheila tuh yang selesai pesan duluan. Jadi dia yang cari meja,” jawab Gita.
Sheila mengangguk, membenarkan kalimat Gita. “Tapi aku nggak ngusir siapa pun kok. Suer! Waktu aku berjalan ke sini, mejanya memang benar-benar kosong. Nggak ada siapa pun.”
Jelas saja kosong, Sheila! Kan pengelola lahan ini udah diberi pesan khusus oleh Jaka kalau Sheila makan di sini harus dilayani dengan baik. Jadilah dia mendapat perlakuan khusus.
“Cerita dong, Sheila! Gimana kamu bisa putus sama Roy?” Gita memulai sesi wawancaranya.
“Makan dulu, Git. Setelah itu baru aku cerita.”
“Porsimu sekarang nambah ya, Shei? Itu ada bakso beranak sama lima pentol kecil. Belum lagi tahu, siomay, dan gorengannya. Lontongnya juga banyakan.” tanya Cindy.
“Nggak kok. Tapi kelihatannya porsinya memang banyakan ya? Aku juga ngerasa gitu. Padahal aku Cuma pesan bakso campur aja.”
“Memang tadi harganya berapa?” Kali ini Gita yang bertanya.
“Dua belas ribu.”
“Hah? Nggak mungkin segini Cuma dua belas ribu.”
“Mungkin aja penjualnya lagi kasih aku diskonan. Kan aku sering ke sini.”
Gita dan Cindy kompak menyipitkan mata mereka. Mereka tidak percaya dengan kalimat Sheila.
“Eh, kita juga sering ke sini tapi nggak ada diskon-diskonan,” ucap Gita berapi-api.
“Hm, daripada bingung dengan diskonannya abang bakso, mending aku bagi aja deh. Ini memang terlalu banyak buat aku.”
Sheila pun membagi pentol-pentolnya pada kedua temannya. Tentu saja Cindy dan Gita tidak menolak.
“Besok aku coba beli baksonya ah! Siapa tahu aku juga dapat diskonan,” ucap Cindy dengan mulut penuh pentol.
Setelah menikmati makan siang. Sheila pun menceritakan apa yang terjadi dengan hubungannya dengan Roy. Cindy dan Gita begitu geram dengan Roy.
“Eh, tapi kayaknya kemarin malam aku lihat Roy di dekat parkiran,” ucap Gita.
“Iya, emang. Dia nungguin aku,” jawab Sheila.
“Mau ngapain dia?” tanya Cindy penasaran.
“Mau konfirmasi. Katanya aku terlalu lebay minta putus hanya karena kesalahpahaman itu,” jawab Sheila dengan wajah jijik.
“Gila!! Jangan mau!!” seru Gita.
“Jelas lah! Aku nggak gila mau nerima lagi pria kayak gitu,” jawab Sheila tanpa ragu.
“Bagus!! Jadi cewek jangan Cuma bisa mewek. Kita harus strong apalagi sama laki buaya!” sahut Cindy.
Gita dan Sheila kompak mengangguk.
“Udah ah! Kurang lima menit lagi nih. Balik ke kantor yuk!” Sheila beranjak dari kursinya diikuti oleh Cindy dan Gita. Namun saat kakinya baru melangkah, seorang pelayan mendekatinya dan memberikan satu kotak roti bakar dan churos keju cokelat.
Kening Sheila berkerut. Dia hendak menolak, tapi kata si pelayan itu karena Sheila adalah pelanggan bakso ke seratus dan berhak mendapat hadiah itu. Cindy dan Gita langsung saja menerimanya dengan girang. Mereka bilang terima kasih atas nama Sheila dan langsung menyeret gadis yang masih syok dengan segala kebaikan yang dia terima seharian ini.
Ini kenapa hari ini dia mujur terus? Ada apa sebenarnya?
“Mungkin Tuhan memang sedang memberikan kebahagiaan setelah aku dikhianati Roy,” ucapnya dalam hati sambil tertawa lebar.