Pagi ini Jaka bangun dengan semangat membara dan tubuh yang begitu sehat. Dia tidak pernah merasa begitu bersemangat seperti ini. Hari ini adalah hari Sabtu dan dia bermaksud mengajak Sheila membeli cincin di sebuah mall. Jaka sengaja bergerak cepat. Dia tidak ingin dicap sebagai pria yang suka menggantungkan hubungan. Bukankah dia sudah bersedia memperistri Sheila? Apalagi restu calon ibu mertua sudah di tangan.
Ini adalah kencan sungguhan pertama mereka. Sungguh Jaka merasa berdebar. Dia bahkan menyabuni tubuhnya sampai tiga kali. Dia yang biasa tidak berendam, kali ini menyempatkan diri untuk berendam agar wangi tubuhnya lebih tahan lama.
Jarum jam masih di angka delapan, tapi Jaka sudah selesai mandi dan bersiap. Sebuah kaos berkerah berwarna biru muda dipakainya dan dipadupadankan dengan celana jeans panjang berwarna gelap. Rambutnya ditata sedemikian rupa. Tubuhnya yang tegap tampak begitu mempesona. Bibirnya tertarik ke atas, membentuk senyum indah saat dia bercermin. Dia berharap Sheila akan meleleh saat melihatnya.
“Stop it, Jak! Jangan seperti orang gila tersenyum sendiri di depan cermin. Huft!” Jaka mengembuskan nafasnya. Jantungnya masih saja berdebar kencang. Sebaiknya sekarang dia sarapan sambil menunggu waktu janjinya.
Jaka pun melangkahkan kakinya okeluar kamar. Di dapur, Jaka segera menghidupkan mesin kopinya. Dia juga mengambil dua lembar roti, memanggangnya. Dua butir telur dikocok lepas dan menggorengnya acak. Pagi ini, dia ingin menikmati roti panggang dan kopi saja. Dia terlalu bersemangat hingga tangannya gemetar untuk membuat nasi goreng andalannya.
Satu jam kemudian, Jaka sudah memarkirkan motornya tidak jauh dari kos Sheila. Jaka sengaja memarkirkan motornya sedikit jauh. Dia tidak ingin Sheila tahu bahwa dia sudah datang lebih awal. Jauh lebih awal sebenarnya karena mereka janjian pukul sepuluh. Jaka melirik jam di tanganya. Masih satu jam lagi hingga waktu janjian. Dengan sabar, Jaka akan menunggu sambil merokok saja. Setelah menghabiskan dua batang rokok, Jaka mulai menyalakan motornya. Lima menit dari waktu janjian cukup normal untuk muncul.
Seorang penghuni kos yang kebetulan sedang membeli nasi bungkus di depan, bertanya pada Jaka.
“Cari Sheila ya, Mas?” tanyanya. Dia ingat dengan Jaka, pria tinggi dan tampan dengan senyum menggoda yang sering mengantar Sheila pulang bekerja.
Jaka mengangguk. “Iya, Mbak.”
“Sebentar ya.”
Jaka kembali mengangguk. Dia memilih duduk di atas motornya sambil menunggu Sheila keluar. matanya mengamati lingkungan kos Sheila. Sepertinya ada banyak rumah kos di daerah ini. Jaka melihat ada kos putra di depan dan satu lagi di sebelah kirinya. Ada sedikit perasaan tidak rela karena tempat tinggal Sheila dikelilingi oleh kaum Adam. Ingin rasanya dia segera menikahi Sheila dan mengajaknya pindah.
“Hai!” Sebuah suara terdengar begitu merdu di telinga Jaka, membuat pikirannya seketika buyar.
Jaka langsung memutar kepalanya. Seorang gadis cantik berdiri di depannya. Sheila tampak berbeda. Kemeja sifon berwarna kuning pucat dengan rufle membuat gadis itu tampak semakin imut dan menggemaskan. Rambutnya hanya diikat ekor kuda dengan beberapa helai membingkai di sisi kanan dan kiri wajahnya. Mata Jaka tidak bisa berkedip. Dia juga kesusahan menelan ludahnya.
“Bu!! Aku mau kawin sekarang!!” pekik Jaka dalam hati.
Pun dengan Sheila. Dia merasa Jaka sedikit berbeda hari ini. Dia terlihat tampan. Ralat! Dia memang selalu tampan setiap hari. Wangi parfumnya menggelitik indra penciuman Sheila, membuatnya merasa melayang sekaligus nyaman.
Wajah Sheila memerah mendapat tatapan penuh puja dari Jaka. Dia juga memang sengaja sedikit berdandan. Dia memakai liptint dan eyeliner. Sepertinya rencananya untuk membuat Jaka terpesona sukses besar.
Sheila menunduk dan merapikan rambutnya. Dia tidak tahan ditatap sedemikian rupa.
“Ehm!” Jaka berdehem, mencoba membasahi tenggorokannya yang mendadak mengering.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Jaka.
Sheila mengangguk. Bibirnya melekuk, membentuk senyum yang indah. Jantung Jaka semakin melompat-lompat tidak karuan.
“Maaf aku membuatmu menunggu terlalu lama,” ucap Sheila. Dia merasa bersalah karena Jaka datang saat dia masih berdandan.
“Tidak! Aku baru saja sampai kok.” Jaka mengibaskan tangannya. Tidak mungkin dia mengatakan kalau dia sudah satu jam lebih menunggu Sheila.
Jaka mengembuskan nafasnya perlahan, menahan degup jantung yang menggila di dalam dadanya.
Setelah membantu Sheila memasang helm, Jaka melajukan motornya menuju daerah Pakuwon.
“Kenapa harus membeli di sini?” tanya Sheila kebingungan. Jaka sudah mengajaknya menuju sebuah toko perhiasan terkenal. “Aku pikir kita hanya akan beli di toko emas biasa,” bisiknya pada Jaka.
“Aku tidak mugnkin membelikanmu emas biasa untuk sebuah pernikahan,” jawab Jaka enteng. Matanya memindai isi etalase.
“Baiklaj, kita bisa patungan. Toh yang memakai cincin itu nantinya aku.”
“Tidak!” sergah Jaka. “Aku yang akan membelikan cincinmu, Sheila,” ucap Jaka dengan tegas.
Sheila meremas-remas tasnya. Dia benar-benar merasa tidak nyaman. Bukannya dia tidak suka dengan emas dan berlian yang dijual di sini, tapi dia tidak ingin Jaka menjadi miskin dalam sehari karena membelikannya cincin mahal.
Seorang pramuniaga menunjukkan beberapa cincin berlian yang begitu indah. Dengan lugas, dia menjelaskan cincin nikah yang ada. Dan semuanya mahal!! Bahkan Sheila harus menabung selama enam bulan untuk membeli satu cincin itu. Wajah Sheila semakin memucat.
“Sebaiknya kita keluar saja,” bisiknya lagi. Kali ini tangannya sudah menarik-narik lengan Jaka.
Jaka menatap wajah Sheila yang ketakutan. Dia tampak begitu menggemaskan dengan mata bulatnya yang terus bergerak. Bukannya mengikuti kemauan Sheila, Jaka justru tersenyum lebar.
Jaka memutar tubuhnya. “Kenapa kita harus keluar?” tanyanya. Matanya terus menikmati ekspresi Sheila. Ingin rasanya dia mencubit pipi Sheila.
“Aku tidak ingin menjadi miskin hanya demi cincin kawin. Sudahlah! Aku tidak masalah meski hanya sebuah cincin nikah polos,” ucap Sheila lagi.
Jaka sama sekali tidak suka dengan kalimat Sheila. Wajahnya menggelap. Dia tidak ingin wanitanya hanya memakai sebuah cincin biasa. Bahkan dia bisa membelikan satu set berlian untuk Sheila di sini.
“Kita akan tetap membeli cincin di sini. Jangan mengkhawatirkan apa pun! Tidak akan ada yang menjadi miskin.”
“Apa kau baru saja mendapat promosi?” tanya Sheila keheranan. Dia begitu penasaran kenapa Jaka memaksa membeli cincin di sini.
Mulut Jaka langsung terbuka saking terkejutnya. Wajah gelapnya berubah menjadi terkejut. “Promosi??”
“Iya! Naik jabatan. Apa kau baru saja mendapatkan itu?”
“Oh.” Kini Jaka tahu arah pembicaraan Sheila. Jaka menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu kau baru saja naik jabatan. Mungkin juga bonusmu sudah turun. Jika tidak, uangmu tidak akan cukup untuk membeli satu cincin di sini.”
Jaka menyunggingkan senyum. Dia tidak repot menyangkal atau membenarkan kalimat Sheila. Kenapa Sheila selalu saja menyangka dia seorang tukang parkir? Bukankah dia tidak pernah memakai seragam keamanan atau parkir? Ya, Jaka tahu Sheila tidak salah mengiranya tukang parkir karena mereka memang selalu bertemu di area parkir.
Wajah Sheila sudah berubah cerah sekarang. “Seharusnya kau bilang padaku kalau kau mendapat promosi. Apa sekarang jabatanmu? Satpam baru? Atau ketua keamanan? Bodohnya aku! Pemimpin perusahaan baru saja ganti. Kau pasti mendapat promosi karena pergantian pemimpin ini, benar ‘kan?”
Jaka kembali menggeleng. Tanpa menjawab pertanyaan Sheila, Jaka kembali memilih cincin untuk Sheila. “Jadi kau suka yang mana?”
Netra Sheila menatap beberapa cincin yang sudah dikeluarkan oleh sang pramuniaga. Semua cincin terlihat sangat indah dan berkelas. Ingin rasanya Sheila menanyakan yang paling murah. Namun, dia tidak ingin membuat Jaka tersinggung.
Melihat keterdiaman Sheila, Jaka berinisiatif untuk membeli cincin terbaik yang ada. Akan tetapi, sebuah suara menginterupsi.
“Sheila?”
Sheila yang merasa dipanggil segera menoleh. Gadis itu cukup terkejut melihat siapa yang memanggilnya. Dia tidak akan melupaka wajah itu. Wajah seorang wanita setengah telanjang di apartemen Roy pagi itu.
Linda mendekati Sheila. Bibirnya tersungging senyum mengejek. Matanya begitu merendahkan.
Jaka sama sekali tidak suka dengan dengan wanita yang mendekati mereka. “Apa kau mengenalnya?” tanya Jaka pada Sheila.
Sheila menoleh. Wajah tegangnya berubah datar. “Tidak usah memedulikan nenek sihir itu!”
“Apa kau bilang???” Mata Linda melotot tajam mendengar kalimat Sheila.
“Oh, kau merasa ya? Bagus itu! Aku jadi tidak perlu menjelaskan banyak hal.”
“Kau!!” Linda terlihat meremas tangannya. Dia begitu murka.
“Nona, tolong jaga sikapmu!” ucap Jaka. Pria itu sudah berdiri di tengah-tengah Sheila dan Linda.
Linda kini menatap Jaka, memindainya dari atas sampai bawah. Kaos murah, celana yang warnanya sudah pudar, sepatunya juga tampak biasa. Linda yakin keseluruhan outfit Jaka tidak lebih mahal dari tas yang dia bawa.
Linda tertawa mengejek. “Putus dari Roy dan kini kau menggandeng gelandangan ini? Kau memang lebih pantas bersama dia.” Tangannya menunjuk Jaka atas dan bawah. “Roy yang jauh lebih kaya dari pacarmu ini memang tidak pantas kau gandeng.”
Seketika itu juga Jaka tahu siapa wanita di hadapannya ini. Wanita sombong yang melihat kebahagiaan dari rekening dan baju bermerk.
“Uang dan pekerjaan masih bisa di-upgrade, tapi harga diri yang murah tidak bisa.” Ucapan Sheila menohok d**a Linda.
Darahnya mendidih mendengar kalimat Sheila.
Beberapa pembeli dan pramuniaga yang mednengar Sheila langsung terkikik. Orang-orang yang lewat mulai memelankan langkah mereka.
“Hei! Memangnya pacarmu yang miskin ini bisa membeli perhiasan di sini? Kamu tidak akan bisa mampu!” kata Linda dengan suara meninggi.
“Kamu!” Linda menunjuk pramuniaga yang tadi melayani Sheila. “Mereka berdua tidak akan mampu membeli apa pun di sini. Kenapa kamu masih melayani mereka? Usir saja gadis miskin dan pacarnya ini!”
Pramuniaga yang ditunjuk sontak menelan ludahnya. Dia langsung membeku. Memang tadi Sheila sepertinya ragu bisa membeli cincin di sini, tapi pacarnya bilang dia mampu. Dia jadi bingung.
“Tunggu apa lagi?? Kamu juga yakin kalau mereka tidak bisa membeli, ‘kan?” ucap Linda lagi. urat-urat di lehernya tampak menonjol.
Mata pramuniaga itu bergerak liar. Dia memohon pertolongan dari teman-temannya, tapi tidak ada yang mau menolongnya.
“Berani kau mengusir kami, aku pastikan kau akan dipecat hari ini juga!” ucap Jaka dengan suara berat dan mata menggelap, membuat siapa pun yang melihatnya langsung merasa terintimidasi.