2. Ditraktir Tukang Parkir

2146 Kata
Setelah memarkirkan motor Sheila, Jaka pun beranjak menuju gerobak bubur ayam Rohmah kesukaannya. Dia tidak memedulikan beberapa karyawan perempuan yang mencoba menarik perhatiannya untuk memarkirkan motor. Masa bodoh dengan mereka. Dia hanya akan memarkirkan motor Sheila. Dia menulikan telinganya dan memasang kacamata kuda agar pandangannya hanya fokus ke depan. “Bu Rohmah, bubur satu seperti biasa ya?” Jaka mengacungkan jari telunjuknya pada Bu Rohmah yang sibuk melayani pembeli. “Eh, ada Jaka!” perempuan berusia lima puluhan tahun itu tampak senang melihat kedatangan salah satu pelanggan setianya. “Seperti biasa??” “Iya, Bu,” jawab Jaka tak kalah ramah. Jaka kemudian duduk di salah satu kursi plastik yang ada. Sambil menunggu pesanannya, dia kembali mengecek email yang masuk. Namun, bukannya membaca surat elektronik itu, matanya justru berkali-kali melirik pintu masuk kantor. Sesekali dia mengubah posisi duduknya. Sangat kentara sekali dia tidak nyaman. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Saat matanya kembali ingin melirik pintu masuk, otaknya langsung mencegah. “Udahlah, Jak! Ngapain kamu lirik pintu itu terus? Cewek itu nggak bakalan keluar lagi sampai nanti sore,” ucap jaka dalam hati. Jaka mendengus kesal. kenapa juga terus kepikiran cewek imut itu tadi? Nggak kok. Dia nggak mikir cewek itu. Dia Cuma ingin tahu Pak Supri berhasil bantu dia sampai mejanya nggak? Kakinya ‘kan sakit. Kasihan ‘kan, kalau dia jalan sendiri nggak ada yang bantuin? Iya kok, Jaka yakin hanya itu saja yang dia rasakan. Rasa kasihan pada gadis yang imut dengan bibir menggemaskan yang mengomelinya. Eh, kenapa jadi bahas bibir? Ya Tuhan!! Jaka hanya ingin bertanya pada Pak Supri tentang keadaan Sheila di dalam tadi. Ya hanya itu! Sekuat tenaga dia meyakinkan dirinya sendiri meski hatinya ragu. “Ini pesanannya, Jak.” Bu Rohmah datang dengan membawa satu mangkuk bubur ayam lengkap dengan toping ceker dan telur puyuh. Lamunan Jaka langsung buyar. “Terima kasih, Bu.” Jaka menerimanya dengan senang. Air liurnya sampai menetes menghirup aroma lezat bubur di depannya. Jaka langsung melahap sarapannya. Dia berusaha tidak ingin lagi melirik kembali pintu PT. KL. Namun, saat telinganya mendengar ada yang memanggil Pak Supri, Jaka Refleks mendongak. Ternyata benar Supri sudah kembali ke pos satpam. Bibirnya otomatis menyunggingkan senyum. “Apa aku yakin mau menanyakan kabar Sheila pada Pak Supri?? Nanti dikira aku aneh. Nggak kenal kok tanya-tanya. Huft, sudahlah, Jak. Ngapain penasaran sama Sheila?? Lebih baik selesaikan sarapanmu dan kembali ke apartemen. Sebentar lagi pasar bursa dibuka. Bukannya kamu mau beli saham batu bara lagi?” batinnya. Sebenarnya bisa saja Jaka datang ke kantor PT. KL. Toh, saham dia di sana juga tidak sedikit. Dia cukup dikenal oleh jajaran manajemen. Tidak ada yang tidak mengenalnya. Dia bisa berpura-pura ingin bertemu dengan CEO. Pasti dikabulkan. Jaka terkekeh dengan rencana yang tidak masuk akal itu. Dia merasa rencananya sungguh kekanak-kanakan. Dia tidak akan melakukan hal memalukan seperti itu! Jaka menghembuskan nafasnya, mengumpulkan kembali sisa-sisa kesadarannya, lalu kembali melanjutkan sarapannya yang sempat tertunda. Selesai sarapan dan membayar makanannya, Jaka segera menuju parkiran untuk mengambil motornya. Tangan dan matanya sudah sibuk dengan ponsel, berharap agar pak Supri tidak menghiraukannya. Kepala Jaka tertunduk semakin dalam saat melewati pos satpam. “Pak Arjuna, mau masuk?” Seorang satpam yang lain menghentikan langkah Jaka. Dia terlihat bersemangat bertemu dengan salah satu pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Mau tidak mau, Jaka pun berhenti. Dia mengangguk dan memasang senyum untuk satpam itu meski hatinya berteriak kesal. Akibat sapaan satpam –yang name tag-nya bernama Widodo- Supri pun akhirnya mengetahui keberadaannya. Senyum di wajah Jaka berubah kecut saat ekor matanya menangkap langkah Supri yang mendekat. “Iya, kebetulan tadi sarapan di depan. Motor saya titipkan di sini,” jawab Jaka pada Widodo. Dengan cepat, Jaka kembali melangkah memasuki area parkir. Langkahnya segera menjauhi pos satpam. Dan sedetik kemudian, dia merutuki kebodohannya. “Jaka bodoh! Yang memarkirkan motormu tadi Supri. Jelas dia yang tahu di mana motormu. Kamu tidak mungkin mengitari seluruh area parkir, ‘kan?” ucapnya kesal. “Pak Arjuna!” Jantung Jaka langsung berdetak kencang mendengar suara pak Supri. Jaka pura-pura tidak mendengarnya. Dia mempercepat langkahnya. Dan jantungnya bertambah kencang saat telinganya menangkap suara langkah mendekatinya dari belakang. “Tolong lidah jangan sampai nanti kamu buka mulut menanyakan Sheila! Ini kenapa aku jadi deg-degan? Sialan!” ucapnya dalam hati. “Pak Arjuna!” Pak Supri kembali memanggilnya. Jaka memejamkan matanya. Setelah mengatur nafas, dia pun menoleh dan kembali memasang senyum. “Pak Arjuna mau mengambil motor?” Suara Pak Supri terdengar putus-putus karena mengejar Jaka. Dia bahkan sampai memegangi dadanya yang kembang kempis. Jaka meringis, dia merasa bersalah pada pria separuh baya itu. “Iya, Pak. Tadi ditaruh di mana ya, Pak? Biar saya ambil sendiri.” “Jangan begitu, Pak Arjuna. Biar saya saja yang mengambilkan. Bapak tunggu di sini saja.” dan Pak Supri pun mulai melangkahkan kakinya. Namun tiba-tiba Jaka tidak bisa menahan lidahnya lebih lama lagi. “Bagaimana kabar gadis tadi, Pak?” Pak Supri langsung menoleh. “Gadis? Gadis yang mana ya, Pak?” tanyanya kebingungan. “Nggak, nggak jadi, Pak. Lupakan saja! Tolong ambilkan motor saya. Saya harus segera pergi.” Pak Supri hanya mengangguk meski dia masih kelihatan bingung. Baru dua langkah, Pak Supri langsung berbalik. “Mbak Sheila, Pak? Dia sudah mendingan. Tadi diberi obat sama temannya. Sudah bisa tertawa juga. Biasa, Pak, dia sedang galau masalah pacarnya. Jadinya jatuh,” ucap Supri sambil tertawa. Jaka lega mendengarnya. Sepertinya dia akan baik-baik saja satu hari ini. Jaka mengangguk mendengar penjelasan Pak Supri. Kembali dia menahan bibirnya untuk tidak membentuk senyuman. Tidak di depan Pak Supri. Dan saat satpam itu kembali menjauh untuk mengambil motor Jaka, bibir Jaka langsung membentuk senyuman lebar. Sangat lebar hingga matanya menyipit. “Ternyata dia baru putus dengan pacarnya!” batin Jaka menjerit. -- Di sebuah ruang kecil di apartemen, sudah berjam-jam Jaka duduk di depan laptop. Salah satu kamar tidur dia sulap menjadi ruang kerjanya. Sebuah meja kaca yang cukup luas menampung laptop terkenal yang juga super canggih. Di belakangnya terdapat sebuah lemari penuh dengan buku-buku tentang investasi dan tokoh-tokoh dunia. Di pojok kanan terdapat tanaman dengan tinggi satu meter untuk memanjakan mata dengan warna hijau yang segar. Sedangkan di pojok kiri terdapat lemari pendingin mini yang berisi beberapa botol minuman isotonik dan mineral. Tolong jangan bayangkan Jaka adalah seorang peminum. Nope! Dia tahu minuman itu sangat tidak baik untuk dikonsumsi. Selain menginvestasikan uangnya, Jaka juga menginvestasikan tubuh dan otaknya. Jaka tidak pernah ambil pusing saat teman-temannya mengoloknya kolot. Dia tahu semua yang dia lakukan hari ini akan dia panen suatu saat nanti. Sekali lagi pesan Pak Darmanto terngiang di kepalanya. Jadilah kaya dan berguna dan jangan terlihat kaya dan bermasalah! Mata Jaka awas mengamati pergerakan harga saham di portofolionya. Pikirannya fokus, menganalisa grafik yang terus naik turun. Semua berjalan baik-baik saja hingga sebuah panggilan di ponselnya membuyarkan semua konsentrasinya. Jaka berdecak. Dia tidak suka saat konsentrasinya dihancurkan seperti itu. Jaka melihat ponselnya yang tergeletak d samping mouse laptop. Nama sekretaris PT. KL muncul di sana. Ada apa ini? Sangat tidak biasa dia dihubungi oleh perusahaan yang dia miliki sahamnya. Dia hanya dihubungi saat ada rapat pemegang saham atau ada isu khusus dan besar terkait perusahaan. “Halo.” Jaka mengangkat panggilan itu. “Selamat siang, Bapak Arjuna. Saya sekretaris CEO PT. Karunia Laut.” “Iya, saya tahu. Ada apa?” “Kami berniat mengundang Bapak dan para pemegang saham yang lain untuk menghadiri rapat besok siang pukul sebelas siang.” “Sepertinya bulan ini bukan saatnya rapat pemegang saham. Apa ada masalah?” “Bukan kewenangan saya untuk membicarakan materi rapat. Kami harap bapak bersedia hadir besok.” “Hmm, aku akan datang.” “Terima kasih, Pak. Selamat siang.” Dan panggilan pun berakhir. Jaka menatap layar ponselnya yang kembali gelap. Tiba-tiba saja dia teringat Sheila. Apa mungkin besok dia akan bertemu dengan gadis itu? Lagi-lagi Jaka merasakan jantungnya berdebar lebih cepat membayangkan wajah gadis itu. Entah kenapa Jaka terus saja ingin bertemu dengannya. Apa mungkin karena pertemuan pertama mereka sedikit unik? “Dia menganggapku tukang parkir. Ya Tuhan.” Jaka menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. Dia kemudian meilirk jam di dinding. Pukul dua siang. Jaka segera mematikan laptop. Satu jam lagi, pasar akan tutup. Tidak masalah jika dia log out sebelum pukul itu. Toh, dia tidak akan membeli atau menjual portofolionya. Dia sudah membeli apa yang dia mau tadi pagi. Lima belas menit kemudian, dia sudah di jalan. Celana jeans panjang yang warnanya sudah memudar dan kaos oblong polos tanpa merk menutupi tubuhnya. Tidak lupa jaket kulit seharga tiga ratus ribuan terpasang di tubuhnya untuk menghalau sinar matahari yang terik. Tujuannya siang ini Cuma satu, PT. KL. Pikirannya sudah dipenuhi dengan area parkir. Sekali lagi, dia akan merendahkan dirinya untuk Sheila. Dia ingin tahu apa gads itu masih akan menganggapnya tukang parkir dan menyuruh-nyuruhnya. Jaka tahu dia datang terlalu cepat. Kantor bubar pukul setengah lima. Tidak masalah. Dia akan makan siang dulu di foodcourt sebelah kantor yang buka sejak siang. Banyak pegawai PT. KL yang memilih makan siang di sana. Mungkin besok Jaka akan berada di sana saat siang. Dia jadi penasaran apakah Sheila juga makan siang di sana. Tepat pukul setengah lima sore, Jaka langsung bangkit dari foodcourt dan melangkah menuju pos satpam. Supri dan rekannya, Widodo, tampak kikuk dengan kedatangan Jaka di pos satpam yang kecil itu. Meski ada kipas angin di dalam sana, tapi tetap saja tidak sesejuk AC. Namun, Jaka terus saja memastikan keduanya bahwa dia sama sekali tidak masalah dengan itu. Sikap Jaka yang ramah akhirnya membuat suasana yang tadinya kaku menjadi cair. Dan tidak lama kemudian, para karyawan mulai keluar. Pak Supri dan Widodo mulai mengarahkan dan membantu para karyawan keluar dari area parkir. Jaka masih setia di dalam pos. Matanya masih mengawasi pintu kantor, berharap gadis yang dicarinya keluar. Namun sampai parkiran sepi, Sheila tidak kunjung keluar. Jaka mulai khawatir. Duduknya tidak lagi tenang. Dia bahkan sampai mengepalkan tangannya untuk mengekspresikan rasa khawatir yang dirasakannya. Hingga akhirnya pukul delapan malam, Jaka melihat Sheila keluar. Kakinya sudah bisa berjalan normal meski sedikit berjingkat. Jaka langsung tersenyum dan keluar dari pos. Sheila tidak melihat Jaka yang keluar dari pos karena tanganya sibuk merogoh tasnya. Jaka melihatnya dengan jantung yang berlompatan. Ah, gadis itu masih terlihat imut meski wajahnya lelah. Rupanya, Sheila mencari ponselnya. Saat mendapat apa yang dia cari, Sheila segera menaruhnya di telinga. “Oh, dia menerima panggilan,” ucap Jaka dalam hati. Sheila terlihat tersenyum, lalu, tertawa, sedetik kemudian, dia mengerutkan keningnya. Jaka tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Sheila. Yang pasti dia terlihat tidak suka dengan apa yang dia dengar di telepon. Jaka lihat Sheila berkali-kali mengela nafas sebelum akhirnya mengakhiri panggilan. Pria itu yakin sang gadis sedang tidak baik-baik saja. “Eh, Mas Parkir!” Jaka menegang mendengar Sheila memanggilnya. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan mengembuskannya sebelum menarik bibirnya, tersenyum. “Iya, Mbak?” “Kunci motorku di pos satpam ya? Tolong ambilkan. Aku mau pulang. Tadi pagi ditaruh di mana motorku?” Dengan cepat, Sheila sudah berdiri di dekat Jaka. Jaka hilang fokus. Dia terlalu menikmati pipi lucu dan bibir yang kemerahan milik Sheila. “Eh, iya Mbak. Kenapa?” “Haduh, telinga kamu ini benar-benar ya? Untung aja kamu emang cakep. Kunci motor. Ambilin! Aku mau pulang. Capek,” ucap Sheila dengan wajah yang sangat lelah. “Oh, iya, Mbak. Sebentar. Mbaknya tunggu di sini saja. Saya ambilkan kuncinya di dalam.” Sheila hanya menjawabnya dengan deheman. Jaka tidak tahu apa yang mengganggu pikiran Sheila. Yang jelas, dia tidak ingin menambah beban hidup gadis itu. Dia harus meringankan hidupnya. Misalnya dengan mengambilkan kunci dan motornya. Ya, begitu saja Jaka sudah senang. Entah apa yang dilamunkan Sheila. Dia hanya bengong. Dia bahkan tidak sadar Jaka sudah mengambilkan motornya. “Eh, sudah ya, Pak? Terima kasih, Pak.” Sheila menerima otornya. Baru satu meter motornya sudah menyenggol motor yang masih terparkir. Alhasil, motor yang parkir tadi jatuh dan menimbulkan suara yang cukup keras. Sheila meringis melihat perbuatannya. Matanya berkaca-kaca. Air matanya sudah siap tumpah. “Mbak, tidak apa-apa?” Jaka berlari mendekati Sheila. Sheila hanya terdiam melihat motor yang jatuh. Pak Supri dan Widodo dengan sigap mengangkat motor yang jatuh tadi. “Mbak?” Jaka menepuk pundak Sheila yang masih mematung. Sheila seketika menoleh. Melihat Jaka yang tampak khawatir, Sheila tidak bisa membendung air matanya. “Lho, Mbak, kenapa?” Jaka pun bingung dengan sikap Sheila. “Aku baru putus tadi pagi. Roy selingkuh! Baru saja mama menelepon dan memarahiku. Dari dulu mama tidak setuju dengan Roy, tapi aku membandel. Sekarang mama maksa aku untuk menerima dijodohkan dengan anak salah satu temannya,” ucap Sheila terbata-bata. Tangannya menghapus air mata yang membasahi pipinya. Jaka tidak bisa berkomentar. Dia tidak tahu harus mengatakan apa untuk membuat Sheila tidak lagi menangis. Akhirnya Jaka punya sebuah ide. “Kamu sudah makan? Aku traktir, mau? Siapa tahu setelah makan kamu bisa berpikir dengan tenang.” Mata Sheila berbinar. Dan dia langsung antusias mengangguk karena mendengar kata makan dan traktir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN