Neeta menatap pria berjas cokelat dengan frustasi. Hilang ingatan? Hah, yang benar saja dia. Tidakkah cukup dia menyulitkan Neeta selama beberapa hari ini dan sekarang dia kehilangan ingatan? Astaga ya Tuhan! Kenapa dunia selalu tak sejalan dengan keinginan Neeta?
“Kamu beneran nggak ingat apa pun?” Neeta menanyai sekali lagi. Setidaknya pria ini harus mengingat namanya. Syukur-syukur kalau dia mengingat sedikit lebih banyak dari itu agar Neeta bisa bernapas dengan lega.
Pria itu terdiam cukup lama dengan pandangan kosong menatap ujung kakinya. Melihat itu, Neeta menghela napas berat sembari memasang wajah masam. Lihat saja wajah bingungnya itu, sepertinya pria berjas cokelat benar-benar kehilangan ingatannya.
Lama Neeta memandangi pria tanpa nama itu. Hingga akhirnya segelintir rasa iba bertitik di hatinya. Kehilangan ingatan dan tak ada sanak saudara yang mencari. Apakah dia adalah seorang yang hidup sebatang kara atau bagaimana? Neeta jadi kasihan.
Ah, ternyata sulit juga menjadi orang yang terlalu baik seperti ini. Neeta selalu tak tega melihat seseorang yang menderita, padahal dia sendiri juga tak kalah menderita. Terkadang Neeta merasa lelah sendiri, sebab apa yang dia pikirkan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Neeta ingin mengabaikan tapi hati nuraninya selalu bertentangan.
Neeta melangkah dengan sedikit gontai mendatangi pria berjas cokelat yang masih menatap kosong ujung kakinya. Meraih kursi yang terletak di dekat nakas, kemudian mendaratkan pantatnya di atas sana. Sekali lagi Neeta memandangi pria itu dari ujung kaki hingga kepala. Dan kembali lagi memandangi wajahnya yang—uhm—sedikit berantakan, mungkin?
Pria itu memiliki banyak luka lebam hampir di setiap titik wajahnya. Yang paling terparah adalah luka lebam merah keunguan melingkari matanya. Kembali, sekelebat bayangan yang sempat Neeta saksikan dengan mata kepalanya sendiri terputar dengan jelas. Di mana hari itu pria berjas cokelat dikeroyok oleh beberapa orang pria bertopeng hitam hingga berakhir seperti ini.
Sering kali Neeta bertanya-tanya sendiri. Kenapa pria berjas cokelat mengalami hal mengerikan seperti itu? Satu hal yang pasti Neeta ketahui, bahwa pria di hadapannya ini bukanlah korban perampokan. Karena hari itu Neeta mendengar dengan jelas salah satu dari pria bertopeng mengatakan akan menghabisi pria ini sesuai dengan perintah.
Tapi, siapa yang memberikan perintah itu? Kenapa dia memerintahkan pria ini untuk dihabisi? Apa kesalahannya? Ah, Neeta jadi pusing sendiri.
“Hei, sudahlah. Jangan terlalu dipaksakan kalau kamu memang nggak ingat.”
Pria berjas cokelat mengalihkan pandangannya menatap Neeta. Dipindainya wanita yang duduk di samping ranjangnya itu dari ujung kepala hingga kaki. Cantik. Sederhana. Putih bersih.
“Giandra.”
“Ya? Kamu tadi bilang apa?” Neeta membeo. Dia tidak terlalu mendengar dengan jelas. Ah tidak. Dia hanya sedikit tidak yakin jika pria berjas cokelat baru saja membuka suaranya. “Tadi kalau nggak salah, kamu bilang Giandra, kan? Itu nama kamu?”
Pria berjas cokelat mengangguk pelan. Sedetik kemudian dia merasakan kepalanya berdenyut hebat. Sontak, kedua matanya langsung terpejam sebab menahan sakit.
“Kamu kenapa?” Neeta langsung berdiri dari duduknya. Kedua tangannya refleks menahan tangan pria berjas cokelat—uhm maksudnya Giandra—yang hendak mengacak rambutnya sendiri.
Setelah berhasil mencegah Giandra mengacak rambutnya sendiri, Neeta pun menginstruksikan pria itu untuk merebahkan tubuhnya. Setelah apa yang terjadi kepadanya, Giandra harus banyak beristirahat agar cepat pulih.
“Baiklah Giandra. Sebaiknya kamu istirahat saja dulu. Bicaranya nanti saja. Aku ada di luar kalau kamu perlu sesuatu.” Neeta membantu Giandra mencari posisi nyaman sebelum kedua kakinya melangkah keluar ruangan.
Neeta kembali memandangi Giandra di atas pijakannya yang tertahan di ambang pintu. Hanya untuk memastikan jika pria itu sudah benar-benar terlelap nyaman di atas hospital bed yang menopang tubuhnya. Beberapa helaan napas pelan keluar dari celah bibirnya yang sedikit terbuka sebelum Neeta benar-benar membuka langkah menjauhi ruangan.
Neeta duduk di atas sebuah bangku besi panjang yang terletak tak jauh dari ruang rawat inap Giandra. Udara panas yang bercampur dengan aroma khas rumah sakit menusuk-nusuk hidungnya. Sejujurnya Neeta tak terlalu menyukai aroma ini. Namun karena beberapa hari ini bolak-balik ke mari untuk merawat Giandra, Neeta jadi sedikit terbiasa.
“Hhh, Neeta. Sebenarnya apa yang kamu cari dari berbuat baik kayak gini sama orang asing? Kamu bahkan meminjam uang Bu Minah untuk membayar tagihan rumah sakitnya. Kamu benar-benar harus bekerja keras untuk melunasi semua hutang-hutang ini,” gumam Neeta pelan menanyai dirinya sendiri.
Neeta tidak punya pilihan selain meminjam uang kepada Bu Minah untuk membayar tagihan rumah sakit Giandra. Dia sudah terlanjur melibatkan diri dengan pria asing itu. Dan sekarang Neeta harus membereskan semua kekacauan yang dia ciptakan.
Bagi Neeta, Giandra itu tak ada bedanya dengan sebuah kekacauan yang membebani dirinya. Mereka tidak saling kenal. Hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu dengan situasi berbeda. Neeta yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri dan Giandra yang hidupnya ingin diakhiri oleh orang lain. Tapi sejak hari itu keduanya menjadi saling terlibat karena keputusan Neeta yang ingin menolong pria asing itu.
“Semoga kekacauan ini cepat berlalu. Dan Giandra kembali mendapatkan ingatannya.”
Neeta benar-benar berharap banyak jika pria itu akan mendapatkan kembali ingatannya secepat mungkin. Neeta pikir setelah Giandra terbangun dari tidur panjangnya, semua masalah akan selesai dan mereka tidak akan bertemu lagi. Tapi nyatanya, Giandra malah kehilangan ingatannya dan mengharuskan Neeta terlibat lebih lama lagi dengan pria asing itu.
---
Giandra tak henti mengunci pandangannya pada seorang wanita yang duduk di dalam ruangan ini bersamanya dengan intens. Seorang wanita yang baginya terlalu banyak bicara dan juga pengatur. Ya, pengatur! Neeta selalu mengatur Giandra seolah dia adalah dokternya.
Giandra tidak boleh terlalu berusaha untuk mengingat masa lalunya. Tapi Neeta juga selalu bertanya dan akan sedikit kesal kalau Giandra tidak bisa mengingatnya. Rasanya membingungkan sekaligus menjengkelkan.
“Kamu mau makan sekarang?” tanya Neeta dengan nada yang sulit ditafsirkan. Apakah dia marah, kesal, jengkel, atau bagaimana. Giandra tidak bisa menjabarkan ekspresi dan juga nada suaranya.
“Jelas kamu harus makan. Makanmu terlalu sedikit tadi sore.” Neeta meraih mangkuk bubur yang terletak di atas nakas. “Bisa ‘kan makan sendiri?” lanjutnya bertanya. Namun sedetik kemudian Neeta mengembuskan napas pelan saat memindai kondisi tubuh Giandra sekarang. Dia terlalu lemah barang untuk memegang sendok di tangannya.
Neeta duduk di tepi hospital bed, tepatnya di samping pangkal paha Giandra. Mengulurkan tangannya dan meminta pria itu untuk membuka mulutnya.
“Buka mulut kamu.”
Giandra membuka mulutnya sedikit ragu. Menerima suapan bubur yang Neeta berikan untuknya. Rasa buburnya sama sekali tidak enak di indra pengecapnya. Baru kali ini Giandra merasakan bubur seaneh ini masuk ke mulutnya.
“Apa kamu membuatnya sendiri?” tanya Giandra dengan suara lemah.
“Maksud kamu?” Neeta menahan suapannya ke mulut Giandra.
“Bubur ini. Apa kamu membuatnya sendiri?”
Neeta benar-benar ingin tertawa sekarang. “Memangnya kenapa kalau bubur ini buatanku sendiri?” tanyanya sedikit ketus.
“Rasanya benar-benar, uhm, nggak enak dan juga dingin.” Seperti dugaan Neeta sebelumnya, bahwa Giandra akan mengatakan hal itu mengenai bubur ini.
“Astaga, pria ini. Bubur ini dari rumah sakit. Kalau kamu mau makan enak, makan saja di restoran.” Neeta menjawab telak. Selama ini yang Neeta tahu makanan rumah sakit memang tidak enak seperti ini.
“Biasanya makanan rumah sakit juga enak. Seharusnya kamu membawaku di kelas yang bagus. Bukan di kelas standar seperti ini.”
Neeta dibuat menganga mendengar jawaban dari Giandra barusan. “Hah, apa kamu barusan menyinggung soal kelas ruangan? Hey, aku nggak peduli kamu dari keluarga kaya atau gimana. Tapi seharusnya kamu bersyukur. Aku sudah menyelamatkan hidupmu dan sekarang ini yang kamu katakan padaku? Keluarga kaya mu bahkan nggak mencari keberadaan kamu dan aku yang miskin ini yang menolongmu padahal kita nggak saling kenal!”
Astaga yang benar saja pria ini. Neeta dibuat kesal hanya dalam sekejap. Bagaimana bisa seseorang tidak tahu cara berterimakasih seperti ini?
“Seharusnya kubiarkan saja kamu meregang nyawa waktu itu!” Percayalah, Neeta hanya sedang terbawa suasana sekarang. Dia tidak benar-benar mengatakan kalimat itu dari lubuk hatinya. Hanya saja, Giandra terlalu menyebalkan bagi Neeta.
Giandra terdiam sembari memandangi Neeta yang memasang wajah masam. Menyadari jika sekarang Giandra tengah menatapnya dengan serius. Neeta kembali mendesis karena seharusnya dia tak mengatakan hal semacam itu pada seseorang yang baru saja selamat dari ambang kematian.
“Memangnya apa yang terjadi denganku?”