Amnesia?

1206 Kata
Neeta duduk melamun di dalam angkot yang membawanya ke rumah sakit di mana pria berjas cokelat tengah dirawat. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Salah satunya memikirkan bagaimana nasibnya yang resmi menjadi pengangguran ini kelak. Secepatnya Neeta harus mencari pekerjaan. Selain untuk menghidupi dirinya sehari-hari. Neeta juga masih harus membayar sisa hutang Lia pada para rentenir. Meski sekarang dia sudah pindah ke rumah Bu Minah, namun Neeta yakin para rentenir itu pasti akan tetap menemukannya di mana pun Neeta berada. “Mbak, itu bekalnya mau jatuh.” Seorang gadis muda menyentuh lengan Neeta dengan pelan. Neeta terkesiap dengan sentuhan pelan di lengannya itu. Neeta benar-benar kehilangan pikirannya hingga tak menyadari wadah bekal yang Bu Minah berikan padanya hampir jatuh. “Ah, terima kasih.” Dengan cepat Neeta membetulkan posisi wadah bekal itu. Beruntung saja ada gadis muda baik hati ini memberi tahunya. Akan repot jadinya kalau isi di dalam bekal ini sampai tumpah. Neeta mengedarkan pandangan keluar. Dia baru sadar kalau rumah sakit tempat pria berjas cokelat dirawat sudah terlewatkan. “Mas... Mas... tolong berhenti di sini.” Neeta sedikit kelabakan meminta abang sopir angkot untuk menepi. Neeta tidak ingin berjalan lebih jauh lagi kalau dia tidak berhenti di sini. Setelah turun dan membayar ongkos, kedua kaki Neeta mulai melangkah menuju rumah sakit yang letaknya cukup jauh dari posisinya sekarang. “Semua karena kamu melamun, Neeta. Harus jalan kaki ‘kan sekarang,” gumamnya merutuki diri sendiri. Sebenarnya Neeta merasa kerepotan karena setiap hari harus pergi ke rumah sakit untuk menjenguk pria berjas cokelat. Namun apa boleh buat? Semua kekacauan ini dia sendiri yang menyebabkannya. Seharusnya Neeta tidak perlu mengakui pria berjas cokelat sebagai kerabatnya. Jadi, dia tidak harus bertanggungjawab seperti sekarang ini dan membuat dirinya kerepotan sendiri. “Ayolah, Neeta. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan. Kalau tidak hari ini, berarti besok. Kalau bukan besok, berarti besoknya lagi. Kalau masih belum juga, berarti nanti.” Sebuah prinsip yang selama ini Neeta pegang dengan teguh. Saat masih kecil, Neeta diajarkan oleh mendiang ibunya untuk selalu menjadi manusia dengan pribadi yang baik. Hingga dia menjadi dewasa sekarang, prinsip itu selalu Neeta jalankan tanpa kecuali. Neeta percaya, jika dia menebar kebaikan maka kelak dia akan menuai kebaikan pula. Sebaliknya, jika dia menebar keburukan, maka dia akan menuai keburukan pula. Sebuah prinsip yang sayangnya tidak tertanam di dalam diri Lia padahal wanita itu juga diajari hal yang sama oleh ibunya. Tak terasa kedua kaki Neeta sudah menginjak kawasan rumah sakit. Napasnya sedikit berat dan juga tersengal. Belum apa-apa Neeta sudah kelelahan. “Astaga, penuh perjuangan banget mau jenguk pria berjas cokelat.” Neeta menarik napas dalam sebelum kedua kakinya kembali terbuka untuk melangkah. Bahkan sekujur tubuhnya sudah dibasahi oleh keringat. Neeta berjalan di bawah terik matahari tanpa payung ataupun benda lainnya yang dapat melindungi kulit tubuhnya. “Hhhh....” Neeta menghela napas berat saat melihat kulit wajahnya sedikit merah karena terbakar matahari. “Seharusnya aku lari saja tadi daripada berjalan santai di bawah matahari. Haish!” Percayalah, Neeta benar-benar sangat kesal sekarang. Hanya karena dirinya melamun di dalam angkot, Neeta harus kerepotan seperti sekarang. Berjalan kaki sejauh beberapa ratus meter saja sudah membuat Neeta merasa kesal. Dan sekarang kulit wajahnya merah karena terbakar matahari. Siapa yang tidak akan kesal kalau menjadi Neeta? Neeta meletakkan wadah bekal di atas nakas saat dirinya baru saja tiba di ruang rawat inap pria berjas cokelat. Wajahnya masih tertekuk masam. Kedua netra miliknya tak lepas pandangan dari wajah pria berjas cokelat yang hingga saat ini masih menutup kedua matanya dengan rapat. “Kapan sih kamu bangun? Aku kerepotan tahu nggak karena harus bolak balik rumah sakit jengukin kamu. Apa kamu nggak punya keluarga? Sudah empat hari kamu di sini tapi nggak ada satu pun orang yang datang nyariin kamu.” Neeta terus bergumam sambil kedua tangannya sibuk mengeluarkan kotak bekal dari dalam kantong plastik. “Aku harap kamu segera bangun. Biar aku terbebas dari tanggung jawab ini. Aku harus nyari kerja secepatnya. Nggak bisa lama-lama ngurusin kamu.” Baiklah, Neeta benar-benar menumpahkan semua isi pikirannya hari ini. Selama beberapa hari merawat pria berjas cokelat, Neeta tidak pernah mengeluh sedikit pun. Dia hanya membicarakan hal-hal yang mengganggu pikirannya dan juga masalah yang menimpa dirinya. Tapi hari ini, Neeta sudah tidak bisa membendungnya lagi. “Kamu tahu nggak apa yang membuatku kesal hari ini? Aku harus jalan kaki sejauh beberapa ratus meter di bawah terik matahari sampai muka aku merah hanya untuk jengukin kamu di sini. Memangnya kamu ini siapa sampai bikin aku harus kayak gini? Pertama, kamu bikin aku gagal bunuh diri dan berujung nyelamatin kamu. Kedua, kamu bikin aku kerepotan setiap hari dan hari ini kulit muka aku sampai terbakar. Kaki aku juga pegal banget. Dan kamu tahu apa yang paling bikin aku kesal sekarang? Aku bicara sendiri selama beberapa hari karena kamu nggak bangun-bangun!” Neeta sampai menghentakkan kakinya dengan pelan saking dia merasa kesal. “Astaga!” Neeta terlonjak kaget saat memalingkan tubuhnya, dia mendapati kedua mata pria berjas cokelat sudah terbuka. Dengan cepat Neeta menghampiri pria berjas cokelat yang baru membuka mata setelah empat hari tak sadarkan diri. Seulas senyuman manis tercetak jelas di bibir ranumnya. Neeta merasa lega karena pria berjas cokelat sudah sadar. “Tunggu sebentar. Aku akan panggilkan Dokter.” Tangan kanan Neeta terulur menekan tombol nurse call. Sementara kedua netra miliknya tak lepas pandangan dari wajah pria berjas cokelat yang terlihat kebingungan. Dalam sekejap rasa kesal Neeta menghilang entah ke mana. Tidak sia-sia dia terus mengomel sejak tadi. Karena pada akhirnya pria berjas cokelat mau membuka matanya. Sementara menunggu Dokter dan juga Suster menuju ke mari, Neeta melontarkan beberapa pertanyaan kepada pria berjas cokelat. “Hey, gimana perasaan kamu?” tanyanya. Namun reaksi pria berjas cokelat membuat Neeta melunturkan senyuman. --- Baru saja Neeta merasa sangat senang karena pria berjas cokelat membuka matanya. Sekarang dia kembali dibingungkan oleh kenyataan bahwa pria berjas cokelat mengalami hilang ingatan. Dokter mengatakan bahwa pria berjas cokelat mengalami amnesia karena mendapat benturan benda tumpul di kepala. Neeta tertahan di ambang pintu. Kedua matanya bertatapan langsung dengan pria berjas cokelat yang juga tengah menatapnya. Apa itu artinya Neeta masih belum terbebas dari tanggung jawab ini? Tidak ada satu pun orang yang datang mencari pria berjas cokelat dan pihak rumah sakit mengira bahwa Neeta adalah kerabatnya. Itu artinya pria berjas cokelat masih akan menjadi tanggung jawab nya, bukan? “Kamu beneran nggak ingat apa pun? Soal diri kamu, keluarga kamu, atau kejadian hari itu? Kamu nggak ingat sama sekali?” tanya Neeta sambil membuka langkah mendatangi pria berjas cokelat yang duduk bersandar di atas hospital bed. Pria berjas cokelat menatap Neeta dengan kosong. Dia sama sekali tak membuka suara dan hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Neeta. “Oh My God. Aku benar-benar dalam masalah besar sekarang.” Neeta langsung memegangi kepalanya dengan frustasi. Neeta segera menurunkan kedua tangannya dari kepala. Dia berniat untuk menanyai kembali pria berjas cokelat. Namun dia kembali teringat pesan dari Dokter yang menangani pria itu. Tolong jangan paksa pasien untuk mengingat. Kalimat itu seakan terngiang di telinga Neeta dan menahannya untuk tidak menanyai apa pun pada pria berjas cokelat. Neeta menatap pria berjas cokelat yang memasang wajah bingung. Sebenarnya, kasihan juga saat kedua mata itu menatapnya. Tapi, Neeta sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. “Kamu siapa?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN