Menyelamatkan Pria Asing

1407 Kata
“Ya ampun, Non Neeta. Apa yang terjadi, Non?” Bu Minah menyambut kedatangan Neeta dengan panik. Bagaimana tidak? Hampir seluruh pakaian Neeta dipenuhi dengan noda bercak darah. “Masuk dulu, Non. Ya ampun.” Bu Minah membawa Neeta masuk ke dalam rumah dengan gemetar. Kedua matanya berkaca-kaca dan siap menangis. Neeta meletakkan tas miliknya ke atas meja. Dia menurut begitu saja saat Bu Minah membawanya untuk duduk di atas sofa di ruang tamu. Wajah Neeta jelas menunjukkan kebingungan. “Apa yang terjadi, Non?” Bu Minah kembali bertanya. Sudah dua kali dia menanyai hal serupa kepada Neeta. “Darah siapa ini di baju Non Neeta?” Neeta menarik napasnya terlebih dahulu sebelum menjelaskan kepada Bu Minah apa yang baru saja terjadi kepadanya. Bahwa dia baru saja menyelamatkan hidup seseorang di saat dia sendiri berniat mengakhiri hidupnya. Bu Minah terkejut dua kali. Dia sudah sangat terkejut saat mendapati kedatangan Neeta yang dipenuhi bercak darah di seluruh pakaiannya. Dan sekarang dia kembali dikejutkan saat Neeta mengatakan dia ingin mengakhiri hidupnya. “Ya ampun, Non. Jangan tinggalkan Bu Minah. Non Neeta masih punya Bu Minah.” Wanita berusia lima puluh tahun itu bersuara. Direngkuhnya tubuh Neeta ke dalam dekapan dan mengusap punggungnya dengan lembut. “Jangan pernah berpikir untuk mengakhiri hidup Non Neeta sendiri. Non Neeta pasti mampu melalui ini semua. Tuhan juga marah kalau Non Neeta bunuh diri seperti itu. Ya ampun, Non. Jangan tinggalkan Bu Minah ya....” Wanita tua itu terus memohon kepada Neeta. Dia benar-benar tidak ingin Neeta berakhir tragis seperti itu. “Maafkan Neeta, Bu. Neeta nggak bisa berpikir dengan jernih. Semuanya terlintas begitu saja di kepala Neeta tadi.” Neeta membalas dekapan Bu Minah dengan air mata berderai dari pelupuk mata. “Non Neeta nggak perlu minta maaf. Bu Minah yang seharusnya meminta maaf karena membiarkan Non Neeta melalui ini sendirian,” kata Bu Minah sembari tangannya terus mengusap punggung Neeta dengan lembut. Neeta mengurai pelukan Bu Minah pada tubuhnya. Ditatapnya iris mata berwarna hitam milik Bu Minah dengan nanar. Pikiran Neeta masih kacau. Selain karena masalah yang menimpanya, juga karena tentang pria berjas cokelat yang baru saja diselamatkannya. Sekarang pria berjas cokelat masih berada di rumah sakit setelah mendapatkan perawatan atas luka di tubuh dan kepalanya. Neeta meninggalkan pria itu di sana karena Neeta perlu menjernihkan pikirannya dengan menemui Bu Minah. Pria berjas cokelat bukan hanya sekedar korban pengeroyokan. Neeta yakin dia adalah korban pembunuhan berencana sebab dia mendengarnya sendiri saat salah satu pria bertopeng hitam berujar. “Apa yang harus Neeta lakukan sekarang, Bu? Neeta nggak bilang sama pihak rumah sakit kalau pria itu adalah orang asing. Neeta bilang kalau dia adalah keluarga Neeta.” Suaranya masih getir sama seperti tadi. Air mata bahkan tak berhenti mengalir dari kedua ekor matanya, merembes melalui pipinya dan berakhir jatuh di atas celana berbahan katun miliknya. Jelas Bu Minah sangat paham kenapa Neeta mengatakan hal seperti itu. Kenapa Neeta sampai mengklaim pria berjas cokelat sebagai kerabat dekatnya. Karena kalau Neeta mengatakan pria berjas cokelat adalah orang asing, tentu pihak rumah sakit akan melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib. Dan pembunuh yang ingin menghabisi nyawa pria berjas cokelat akan tahu kalau sebenarnya dia masih hidup dan tidak mati. “Karena sudah terlanjur. Biarkan saja seperti itu, Non. Semoga pria itu cepat sadar dan Non Neeta nggak perlu bertanggung jawab lagi atas dia.” Bu Minah tidak akan menghakimi Neeta karena berani ambil risiko terlibat dengan orang seperti itu. Ada banyak kemungkinan yang mendasari seseorang menjadi korban pembunuhan berencana. Pertama, karena perebutan harta antar keluarga. Kedua, karena sakit hati yang berujung dendam. Ketiga, dia mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak diketahui. Entah poin yang mana menjadi alasan pria berjas cokelat yang Neeta selamatkan sehingga menjadi korban pembunuhan berencana. Bu Minah hanya terus memanjatkan doa semoga pria itu bukanlah orang jahat yang pantas mati namun dia diselamatkan oleh wanita berhati malaikat seperti Neeta. “Sekarang Non Neeta pergi mandi dulu. Ganti pakaian, makan, lalu kita pergi ke rumah sakit bersama-sama untuk memantau keadaan pria itu.” Bu Minah memaksakan senyumnya terbit keluar. Neeta mengangguk sambil mengusap kedua ekor matanya dengan pelan. “Baik, Bu,” sahutnya pelan. Bu Minah ikut beranjak mengantarkan Neeta ke kamarnya. Setelah meminta Neeta datang ke kediamannya, Bu Minah langsung menyiapkan kamar kosong untuk Neeta selama dia tinggal di sini. Kebetulan, Bu Minah adalah seorang janda tanpa anak. Dia hidup sendirian di rumah ini tanpa ada yang menemani. “Ini kamar Non Neeta. Letakkan saja koper Non Neeta di sana. Nanti Bu Minah yang akan memasukkan pakaian Non Neeta ke dalam lemari.” Jemari telunjuknya menunjuk ke arah samping meja. Meminta Neeta untuk meletakkan kopernya di sana. “Nggak usah, Bu. Jangan repot-repot, Neeta bisa sendiri kok.” Wanita itu menolak tegas. “Di sini Neeta cuman menumpang. Bu Minah jangan repot-repot melayani Neeta.” Bagaimana boleh seperti itu? Neeta di sini jelas adalah penumpang yang sama sekali tidak mengeluarkan uang. Dia benar-benar penumpang yang merepotkan. Masa dia juga harus serba dilayani? Neeta tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi. Justru Neeta yang seharusnya melayani Bu Minah karena sudah mau berbesar hati menampungnya di sini. “Tapi, Non—” “Sudah ya, Bu. Neeta mau mandi dulu. Dan tolong, selama Neeta mandi, Bu Minah jangan repot-repot memasukkan pakaian Neeta ke dalam lemari. Tolong ya, Bu.” Neeta bahkan sampai memohon. Dia tidak ingin Bu Minah memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari. Neeta berjalan keluar kamar menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sekujur tubuhnya mengeluarkan bau yang aneh. Bau darah yang bercampur dengan keringat. Sejenak, Neeta kembali mengingat sekelebat bayangan saat pria berjas cokelat yang dikeroyok di depan matanya. Neeta berusaha membuyarkan bayangan tentang kejadian itu dari pikirannya. Guyuran demi guyuran air Neeta berikan dari ujung kepala hingga kakinya. Tanpa cela. Tanpa jeda. Hingga dia sendiri merasa tersengal karena menahan napas selama mengguyur tubuhnya dengan air segar secara intens. Neeta menutup matanya dan berdiri mematung di depan bak mandi yang ukurannya tak seberapa. Dalam kepalanya terus memikirkan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Rumah peninggalan orangtuanya disita dan dia masih harus membayar sejumlah hutang yang tersisa. Pikiran untuk menyerah masih menghampiri. Namun lagi, kalau Neeta sampai menyerah, itu artinya dia juga membuat pria berjas cokelat menyerah atas hidupnya. Neeta yang bertanggung jawab atas hidupnya. Ya! hidup pria asing itu. *** Neeta tak berhenti menatap wajah pria asing yang terbaring lemas tak sadarkan diri di hadapannya. Di dalam ruangan ini, ada tiga buah hospital bed berjejer rapi. Namun hanya pria asing yang mengisi salah satunya dan dua lainnya kosong sebab tak ada pasien. Sepi. Hanya suara denting jam dan angin yang berembus masuk ke telinga Neeta. Kedua tangannya saling menggenggam satu sama lain. Pandangannya masih mengunci pada wajah tampan penuh lebam di hadapannya. “Kenapa kamu juga ada di sana? Kenapa orang-orang itu melakukan hal semacam ini sama kamu? Kesalahan apa yang sudah kamu perbuat sehingga orang lain ingin menghabisi kamu?” Neeta terus berbicara sendiri. Seolah pria yang terbaring di hadapannya itu dapat menjawab semua pertanyaan yang dilontarkannya. “Dunia ini kejam, kan? Kamu tahu? Terlalu banyak masalah yang menimpaku sampai aku berpikir pengen mengakhiri hidupku sendiri. Seharusnya hari ini adalah hari pemakamanku. Tapi, aku malah duduk di sini dan berbicara sama kamu.” Masih tak ada ekspresi apa pun tercetak di wajahnya. Neeta masih menatap pria berjas cokelat dengan tatapan nanar. “Kamu pasti sangat kesakitan.” Neeta menutup kalimatnya dengan beranjak dari duduknya. Kedua kakinya melangkah menuju hospital bed kosong di samping pria berjas cokelat. Neeta memilih untuk merebahkan tubuhnya di atas sana sambil kedua matanya terus mengawasi pria berjas cokelat yang tak sadarkan diri. “Tampan,” gumam Neeta pelan. Meski banyak luka lebam menghiasi wajahnya. Pria berjas cokelat masih terlihat tampan. “Apa kamu seorang aktor? Atau model ternama? Tapi aku nggak pernah melihat kamu di televisi atau majalah.” Neeta bergumam lagi. Wajah itu terasa sangat asing untuknya. Neeta terdiam setelah terus mengoceh sejak tadi. Percuma saja dia menanyai banyak hal. Toh, pria berjas cokelat juga tidak akan menjawab. Syukur-syukur kalau dia bisa mendengar. Neeta mengubah posisinya menjadi telentang dan tak miring menghadap pria itu lagi. Kedua matanya kembali terpejam. Sepersekian detik kemudian, air mata meleleh begitu saja dari ekor matanya. Jantungnya seperti dihujam oleh sesuatu. Kedua telinganya berdenging. Berpadu dengan suara desahan Danial dan juga Lia yang tiba-tiba terngiang. Sial! Neeta mengerang dalam diamnya. Hatinya terasa teriris dan berkecamuk tak karuan. “Dasar manusia-manusia b******n!” umpat Neeta begitu kesal. "Kenapa kalian harus melakukan hal ini padaku?!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN