“Ah, maaf. Pertanyaanku bodoh banget ya? Tolong jangan dimasukkan ke dalam hati ucapanku tadi.” Neeta memutuskan untuk beranjak keluar dari kamar. Meninggalkan Giandra yang masih duduk tegang di tempatnya.
Sepanjang langkahnya keluar dari ruangan yang tak seberapa luas itu, Neeta terus merutuki kebodohannya tadi. Sambil memukuli pelan mulutnya sendiri, Neeta benar-benar menyesal karena sudah berbicara seperti tadi kepada Giandra. Neeta sama sekali tak berniat menyakiti hati pria itu dengan pertanyaannya. Percayalah, Neeta hanya sedang banyak pikiran makanya sampai tak bisa mengontrol diri sendiri terlebih ucapannya.
“Non Neeta, mau ke mana?” tanya Bu Minah yang baru saja keluar dari dapur.
Neeta berhenti di pijakannya. Dipandanginya Bu Minah yang tengah memegang nampan dengan teko berisi air putih dan juga gelas kosong di atasnya. Wanita itu tersenyum sebelum mulutnya terbuka untuk menjawab pertanyaan yang Bu Minah lontarkan padanya.
“Neeta mau cari kerja, Bu. Doain Neeta ya semoga dapat,” sahutnya minta didoakan.
Bu Minah meletakkan nampan ke atas meja yang terletak tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Sementara kedua tangannya terulur menyentuh bahu Neeta, kemudian mengusapnya dengan lembut penuh kasih sayang. Tentu saja dengan senang hati Bu Minah mau mendoakan Neeta, bahkan tanpa wanita itu meminta kepadanya.
“Bu Minah doakan, semoga Non Neeta segera mendapat pekerjaan,” kata wanita tua itu. Kedua sudut bibirnya tersungging ke atas, tak ayal membuat deretan giginya yang sudah tak lengkap lagi itu pun terekspos dengan jelas.
Rasanya begitu menyenangkan mendengar seseorang mendoakan dirinya. Sudah beberapa tahun lamanya Neeta tak pernah merasakan momen seperti ini. Tinggal berdua dengan Lia, memang apa yang bisa Neeta harapkan dari kakaknya itu? Lia tidak berperan selayaknya seorang kakak apalagi sampai mau menggantikan peran ibu mereka yang meninggal dunia.
Dengan kedua mata yang berbinar terang, Neeta menatap lekat pada manik mata Bu Minah yang tak lagi sebening dahulu. Namun jelas Neeta rasakan jika ada berjuta kasih sayang bersarang dalam tatapan matanya itu. Sejak dulu Bu Minah memang selalu menyayangi Neeta seperti anaknya sendiri.
“Terima kasih, Bu. Karena sudah mau mendoakan Neeta.” Kedua mata Neeta kini telah berkaca-kaca. Lagi-lagi Neeta tak dapat menyembunyikan rasa bahagia sekaligus terharunya. “Aduh, kok aku jadi mewek begini ya,” sambungnya sembari menyentuh ekor matanya yang basah dengan jempol tangannya.
Kedua tangan Bu Minah perlahan bergerak ke atas dan berhenti tepat menangkup kedua pipi Neeta. Sementara kedua jempolnya saling bergerak untuk mengusap air mata yang samar jatuh membasahi bawah mata Neeta.
“Jangan menangis. Bu Minah jadi sedih melihatnya,” ucapnya dengan suara lembut.
Neeta akui, akhir-akhir ini dia menjadi sangat sensitif sekali. Hanya karena Bu Minah mendoakannya tepat sebelum berangkat mencari kerja, Neeta sampai menangis seperti ini. Padahal Neeta bukannya ingin pergi merantau ke tempat yang jauh. Dia hanya ingin mencari kerja dan lagi pula masih di kota ini.
Neeta berusaha menghentikan tangisannya dan mengembangkan kedua sudut bibirnya dengan perlahan. “Maaf ya, Bu. Neeta sensitif banget akhir-akhir ini. Kayak gini aja Neeta sampai menangis,” ujarnya kemudian terkekeh pelan.
Bu Minah hanya mengangguk pelan. Seolah dirinya paham betapa kacaunya perasaan Neeta sekarang. Wanita tua itu dapat memaklumi jika Neeta menjadi begitu sensitif seperti sekarang ini.
“Ya sudah. Bu Minah harap Non Neeta tidak terlalu memikirkan masalah yang terjadi. Bu Minah tidak mau melihat Non Neeta merasa sedih. Ingat, Bu Minah selalu ada untuk Non Neeta. Jadi jangan pernah merasa sendiri ya, Non.”
Entah yang ke berapa puluh kali sudah Bu Minah mengatakan kalimat itu. Mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan kalimat yang sama berulang kali kepada Neeta. Dia ingin menekankan kepada wanita cantik itu agar tak merasa sendirian di dunia ini. Bahwa masih ada dirinya yang akan menemani dan membantu Neeta memikul beban masalahnya.
“Terima kasih, Bu. Karena selalu ada untuk Neeta dan mau menampung Neeta di sini dan juga Giandra.”
“Hey, jangan bicara begitu. Ini semua bukan apa-apa dan tidak ada bandingannya dengan apa yang Bu Minah terima dari keluarga Non Neeta dulu.” Wanita tua itu menampik. Menurutnya, apa yang dia lakukan pada Neeta sekarang sama sekali tidak ada bandingannya dengan apa yang orangtua Neeta lakukan dulu terhadapnya. Sampai kapan pun, Bu Minah akan merasa dirinya berhutang budi pada keluarga Neeta.
Neeta tak lagi menjawab. Ah tidak. Sebenarnya dia tak lagi berniat untuk menjawab. Neeta kehabisan kata-kata dan tak tahu harus menjawab Bu Minah dengan kalimat apa lagi.
“Neeta pamit berangkat dulu ya, Bu.”
Bu Minah kembali mengangguk dengan pelan. Kedua kakinya sontak ikut melangkah mengekori Neeta hingga ke depan pintu. “Tunggu sebentar, Non,” kata Bu Minah dan Neeta langsung menahan langkah begitu mendengar Bu Minah bersuara.
“Ada apa, Bu?” tanya Neeta bingung.
“Terima ini. Memang tidak seberapa, tapi bisa untuk beli makan dan bayar ongkos angkot.” Nampak salah satu tangan Bu Minah meraih tangan Neeta sementara tangannya yang lain menyerahkan beberapa lembar uang untuk Neeta.
“Ah, jangan. Bu Minah nggak perlu repot kasih Neeta uang. Lagian uang Neeta masih ada kok, Bu.”
Neeta menolak menerima beberapa lembar uang yang Bu Minah berikan padanya. Bukan karena Neeta tidak menghargai niat baik wanita tua itu, justru dia sangat menghargai Bu Minah sehingga tak bisa menerima uang yang wanita tua itu berikan.
Neeta tahu uang tersebut adalah uang hasil jerih payah Bu Minah bekerja menjadi Asisten Rumah Tangga di rumah Bu Susi. Mana bisa Neeta menerima uang tersebut? Neeta benar-benar tidak bisa. Dia sudah begitu banyak menyusahkan Bu Minah. Bahkan terakhir kali dia terpaksa meminjam uang tabungan Bu Minah untuk membayar tagihan rumah sakit Giandra.
“Jangan ditolak, Non.”
“Maaf, Bu. Neeta beneran nggak bisa terima. Neeta serius saat bilang uang Neeta masih ada. Jadi Bu Minah nggak usah khawatir ya.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum, meyakinkan Bu Minah jika dia benar-benar masih memiliki uang di sakunya.
Bu Minah menatap ragu kedua mata Neeta yang memang tampak tak begitu meyakinkan. Apakah wanita muda ini benar-benar masih memiliki uang di sakunya atau dia hanya berbohong karena tak ingin merepotkan dirinya lagi dengan masalah uang. Bu Minah sama sekali tak tahu dan tak bisa menampik lagi. Neeta begitu bersikeras menolak uang yang ingin dia berikan padanya.
“Neeta berangkat dulu,” ucapnya sembari melambaikan tangan.
Masih berdiri di atas pijakannya, Bu Minah menatap punggung Neeta yang perlahan mulai menjauh. Wanita tua itu sama sekali tak berniat masuk ke dalam rumah sebelum sosok Neeta benar-benar tersapu dari pandangannya.
“Ya Tuhan, kuatkan wanita itu. Semoga dia selalu berada dalam lindungan-Mu.”
***
Pukul dua belas siang, Neeta melihat jarum jam yang melingkar di tangannya menunjuk pada angka tersebut. Matahari sedang terik-teriknya namun orang-orang seakan tidak peduli dengan panasnya yang begitu menyengat kulit. Neeta merasa sangat kepanasan sampai mengibaskan pakaiannya sendiri untuk mendapat kesejukan. Memang tak seberapa efektif namun setidaknya dia sedikit terbantu karena itu.
Neeta meluruskan kedua kakinya yang terasa penat karena berjalan sejauh ratusan meter untuk melamar pekerjaan. Hari ini tidak terlalu bagus, banyak tempat yang Neeta datangi mengatakan jika mereka sedang tak membutuhkan karyawan. Sebenarnya Neeta tak berharap bisa bekerja di sebuah perusahaan dengan posisi yang menjanjikan. Neeta hanya ingin mendapatkan pekerjaan secepatnya, itu saja. Terserah apakah hanya sebatas office girl, pelayan cafe, atau sales sekali pun.
Neeta menghela napas berat. Dipandanginya map berwarna cokelat berisi surat lamaran pekerjaan miliknya yang tergeletak di atas paha. Wajahnya lesu, matanya sayu.
“Ngelamar kerja, Neng?”
Seseorang yang duduk di sampingnya bersuara. Membuat Neeta sedikit terkesiap dan langsung menolehkan kepala ke arah sumber suara. Seorang pria yang Neeta perkirakan berada di usia penghujung tiga puluh tahun.
“I-iya, Pak,” sahut Neeta sedikit gugu. Sebenarnya Neeta sedikit syok karena tidak mengira orang di sampingnya akan mengajak berbicara.
“Bagaimana? Sudah melamar ke mana saja hari ini?” tanya Pria itu lagi.
“Sudah melamar ke mana-mana, Pak. Tapi mereka semua bilang lagi nggak membutuhkan karyawan.” Neeta menjawab dengan pasrah. Nampak sekali dia putus asa sekarang.
“Zaman sekarang memang susah cari pekerjaan. Tapi Neng tenang aja, saya ada pekerjaan untuk kamu. Gajinya menjanjikan.”
Kedua mata Neeta sedikit melebar. Entah kenapa hanya dengan mendengar kalimat itu membuat rasa putus asa yang sebelumnya menyelimuti seketika sirna. Neeta merasa terselamatkan meski dia belum tahu pekerjaan apa yang pria itu maksud.
“Kerja apa, Pak?” tanya Neeta mulai antusias.
Pria itu tak langsung menjawab. Terlebih dahulu pria itu merogoh saku jaket miliknya untuk mengambil kartu nama lalu menyerahkannya kepada Neeta.
Neeta menerima kartu nama yang pria itu berikan kemudian membaca kata demi kata yang tertulis di sana. Nama pria itu beserta nomor teleponnya. Kemudian kembali memandangi pria itu untuk mendapat jawaban tentang pekerjaan seperti apa yang dia tawarkan.
“Kerjanya mudah. Kamu hanya cukup menari untuk menghibur para tamu. Kalau mereka suka dengan tarian yang kamu suguhkan, tak menutup kemungkinan mereka akan memberikan tips yang besar.”
Kening Neeta sontak berkerut dan matanya melotot memandangi pria berkulit cokelat dan bertubuh atletis itu. “Maksud Bapak, penari klub malam?” tanyanya tak yakin. Apakah pekerjaan itu benar-benar penari klub malam seperti yang ada dalam pikirannya atau bukan.
Pria itu mengangguk tanpa ragu. “Bagaimana? Kalau kamu bersedia, kamu bisa memulainya kapan saja. Malam ini juga bisa.”
Neeta langsung berdiri dari duduknya. Persetan dengan pekerjaan yang katanya mudah dan tips yang besar. Neeta merasa sangat marah kepada pria di sampingnya ini.
“Pak! Seberapa pun saya membutuhkan pekerjaan, tapi saya nggak akan mengambil pekerjaan semacam ini! Apa Bapak pikir saya ini murahan dan wanita semacam itu untuk mendapatkan uang? Saya masih waras!” Neeta sampai membentak pria itu dengan menekankan suaranya.
Pria itu berdecih. “Cih, Zaman sekarang kamu masih memikirkan harga diri? Kamu sudah berkeliling melamar pekerjaan tapi tidak ada satu pun hasilnya. Pikirkan lagi tawaran saya dan hubungi saya kapan pun jika kamu berubah pikiran,” sahut pria itu kemudian ikut beranjak. Ditipiskannya jarak dengan Neeta kemudian kembali bersuara, “Wajah kamu sangat cantik dan tubuh kamu juga oke. Saya jamin kamu akan mendapatkan begitu banyak uang jika mengesampingkan harga diri.”
Neeta mengepalkan tangannya dengan kuat. Dalam kepalanya terus memikirkan untuk melayangkan beberapa pukulan pada pria kurang ajar yang menawarinya pekerjaan sebagai penari klub itu. Dia sudah kelelahan karena terus berjalan, dia juga kepanasan karena matahari yang begitu terik, dan perutnya juga begitu lapar karena belum makan siang. Neeta merasa sebentar lagi dia akan menggila jika pria itu tidak segera pergi dari hadapannya.
“Saya nggak tertarik apalagi sampai berubah pikiran. Jadi jangan berharap saya akan menghubungi kamu!”
Pria itu hanya tersenyum sebagai upaya merespon ucapan Neeta barusan. Membuat Neeta semakin murka dan marah kepadanya. “Jangan terlalu yakin. Bisa saja nanti kamu tiba-tiba berubah pikiran. Dan ketika kamu menghubungi saya, saya akan pura-pura tidak mengingat ucapan kamu barusan,” sahut pria itu sembari terus membuka langkah meninggalkan Neeta.
Kedua mata Neeta semakin melebar kala mendengar ucapan pria itu kepadanya. Dan sudut bibirnya yang mengembang seolah mengejek dirinya, Neeta ingin sekali merobek mulut Pria itu agar tak bisa lagi berbicara.
“Jangan bicara sembarangan kamu! b******n!” teriak Neeta tak sabar. Dia bahkan tak peduli dengan orang-orang yang memandang ke arahnya karena berteriak dengan begitu kesal.
Neeta kembali mendaratkan pantatnya di atas kursi taman. Bagaimana bisa hari ini begitu sial? Wajah dan telinganya bahkan sampai merah karena meredam amarah.
Seumur hidupnya baru kali ini Neeta bertemu dengan seorang pria b******n seperti tadi. Baru kali ini pula dirinya ditawari untuk menjual diri. Gila! Ini gila! Amarah Neeta kembali naik dan tak terbendung lagi. Neeta harus segera meredakan amarahnya jika tidak ingin terlihat seperti orang gila sekarang.
“Tenang, Neeta. Kamu harus tenang. Dia orang gila! Pria itu gila! Kamu harus tenang dan jangan pikirkan omongan orang gila tadi.” Neeta terus memantrai dirinya sendiri dengan berbagai kalimat yang ia yakini akan meredakan amarahnya. Sambil terus menarik napasnya dengan dalam, Neeta perlahan mulai tenang dan tidak terlalu tegang lagi. Pria berengsek itu benar-benar sukses memancing emosinya.
Sekarang Neeta merasa sesuatu dalam kantong celananya bergetar. Tanpa ingin membuang waktu, Neeta merogoh saku celananya untuk mengambil benda pipih yang dia simpan di dalam sana. Sebuah deretan angka yang begitu asing terpampang di layar ponselnya.
“Halo?”