Neeta Mulai Ragu

1212 Kata
Giandra terdiam dengan pandangan yang tak lepas dari ujung kakinya yang menyentuh sudut kasur. Sementara kedua telinganya fokus mendengarkan pembicaraan dua wanita asing yang sudah berbesar hati menyelamatkan dirinya dan mau menampungnya di sini. Meski mereka tidak berada dalam satu ruangan yang sama, namun Giandra masih dapat mendengar dengan jelas suara-suara di luar karena kamar ini hanya memiliki triplek sebagai dindingnya. Sebenarnya Giandra tak pernah bermaksud untuk mencuri dengar pembicaraan orang lain. Hanya saja dia sama sekali tidak memiliki pilihan karena memang suara-suara di luar sana dapat terdengar jelas hingga ke dalam kamarnya. Apa boleh buat selain mendengarkannya, bukan? “Apa dia menangis?” Giandra bergumam pelan saat mendengar suara Neeta yang bergetar saat berbicara dengan Bu Minah. Giandra terus memainkan jemari tangannya satu sama lain sambil kedua telinganya terus mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat yang Neeta ucapkan. Mulanya Giandra memang tak berniat untuk mendengarkan, namun sekarang dia mendadak tertarik saat mendengar suara wanita itu sedikit bergetar. Dia ingin tahu apa yang membuat Neeta sampai menangis seperti sekarang. “Bu, Neeta nggak tahu ke mana Kak Lia pergi. Dia melimpahkan semua hutangnya sama Neeta dan sampai sekarang dia masih nggak bisa dihubungi. Danial juga sama, mereka berdua sama-sama nggak bisa dihubungi. Rumah peninggalan Mama sama Papa sudah disita, Neeta juga kehilangan pekerjaan. Sekarang Neeta harus gimana, Bu? Neeta bingung. Neeta takut.” Terdengar suara Neeta yang semakin bergetar pilu di luar sana. Giandra terdiam beberapa saat setelah mendengar semua keluh kesah yang Neeta utarakan pada Bu Minah barusan. “Memangnya seberapa besar hutang yang ditinggalkan kakaknya sampai dia menangis seperti itu? Kenapa dia harus bingung dan takut? Kehilangan pekerjaan, bukankah dia bisa mencari pekerjaan yang baru lagi?” Bagi Giandra, terlepas dari apa yang menimpa Neeta saat ini, sama sekali tak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang dia alami beberapa waktu terakhir. Dia hampir mati karena dikeroyok—Neeta menyebutnya pembunuhan berencana meski tak pernah langsung mengatakan hal tersebut kepada Giandra. Bukankah hal itu lebih mengerikan dari apa yang Neeta alami? Dan lebih mengerikan lagi karena sekarang dia harus bergantung pada seseorang yang juga kesulitan seperti Neeta. Giandra merasa hidupnya benar-benar sangat buruk karena hal itu. Giandra semakin menyelami pikirannya sendiri. Merangkai kembali semua potongan kejadian saat Neeta menyelamatkan dirinya. Wanita itu bahkan membayari semua tagihan rumah sakit dan membawanya ke mari karena Giandra kehilangan ingatannya. Di luar sana, Neeta tak lagi berbicara. Hanya suara tangisnya yang begitu pilu memaksa masuk ke dalam kedua indra pendengaran Giandra. Mungkin wanita itu mengira jika Giandra sudah terlelap, maka dari itu dia sama sekali tak ragu saat menangis begitu sesenggukan sambil mengutarakan semua yang ada dalam benaknya. “Jadi, kenapa dia menolong dan membantuku kalau dia sendiri sangat kesulitan seperti itu?” Giandra sama sekali tak bisa memahami perbuatan Neeta kepadanya. Mendengar dari suara tangisnya sekarang, Giandra cukup yakin jika wanita itu benar-benar merasa sulit. Tapi, kenapa dia menolongku? Kalimat itu terus berputar di kepalanya dan membuat Giandra merasa sangat pusing. Andai saja keadaan tak serumit ini. Giandra pastikan untuk membalas budi kepada Neeta yang sudah mau berbesar hati menolongnya. Mengeluarkan wanita itu dari semua masalah yang membuatnya sangat kesulitan seperti sekarang. Tapi, apa mau dikata? Giandra sedang terjebak dalam permainan yang dia ciptakan sendiri. “Aku pastikan untuk membalasmu ... nanti.” *** “Jadi, boleh aku tahu siapa nama lengkap kamu?” Giandra menatap Neeta yang tengah menyiapkan obat untuknya. Padahal Giandra bisa melakukannya sendiri, namun dia diam saja saat Neeta begitu sibuk membuka semua bungkus obat-obat itu untuknya. “Ganeeta Kalya Raharjo.” Neeta menjawab tanpa menatap sang lawan. Pandangan matanya masih fokus tertitik pada bungkus obat-obatan. “Raharjo?” Giandra membeo cepat. Rasanya dia pernah mendengar nama itu sebelumnya, namun dia sama sekali tak bisa mengingat kapan dan di mana persisnya dia mendengar nama itu disebutkan. Neeta mengangguk pelan. Salah satu keningnya terangkat ke atas saat melihat ekspresi Giandra yang cukup terkejut saat mengucapkan nama belakangnya. “Kenapa? Raharjo adalah nama keluargaku. Lebih tepatnya nama ayahku,” sahut Neeta menjelaskan. Dengan cepat Giandra menggelengkan kepalanya ke kiri lalu ke kanan. “Bukan apa-apa. Aku hanya bertanya,” balasnya kemudian meraih gelas berisi air putih di atas meja. Raharjo. Di mana sebenarnya Giandra pernah mendengar nama ini? Rasanya tak begitu asing di telinganya. Giandra yakin pernah mendengar nama ini disebutkan sebelumnya. Tapi, bukankah banyak orang yang memiliki nama tersebut? Sekali pun Giandra pernah mendengar nama itu sebelumnya, apa memang benar mereka adalah orang yang sama? Jelas hal itu adalah kemungkinan yang tidak terlalu besar, bukan? “Ini, ambil dan cepat minum.” Neeta menyodorkan beberapa butir obat kepada Giandra setelah selesai mengeluarkan semua obat itu dari bungkusnya. “Terima kasih,” balas Giandra sembari salah satu tangannya menerima obat tersebut kemudian memasukkan semua obat itu sekaligus ke dalam mulutnya. Kedua mata Neeta membulat sempurna saat menyaksikan cara Giandra meminum obat begitu aneh. Baru kali ini dia melihat seseorang menenggak beberapa obat dalam satu tegukan sekaligus. Apa semua obat-obat itu akan lancar melewati batang tenggorokannya? Neeta sampai refleks mengusap lehernya sendiri dengan begitu lembut. “Mau pergi?” Giandra bertanya saat melihat penampilan Neeta yang begitu rapi. Sementara orang yang ditanya hanya menjawab dengan sebuah anggukan kepala saja. Neeta masih tercengang dengan aksi Giandra meminum obat yang menurutnya begitu aneh. “Ke mana?” “Nyari kerja. Aku harus dapat pekerjaan untuk bayar hutang dan juga bertahan hidup.” Neeta tak sadar jika mulutnya sudah menjawab pertanyaan yang Giandra lontarkan seperti demikian. Giandra tak lagi menjawab ataupun bersuara. Kedua matanya sibuk memindai penampilan Neeta dari ujung kaki hingga kepala. “Kenapa kamu memandangiku kayak gitu?” Neeta lekas bertanya sesaat menyadari jika Giandra memandanginya dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Apa ini pakaian terbaik yang kamu punya?” Tanpa ragu Neeta menganggukkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan yang Giandra lontarkan padanya. “Kenapa? Apa ada masalah?” tanyanya. Untuk beberapa detik Giandra hanya membungkam mulutnya dengan rapat. Sejujurnya dia ragu untuk menjawab Neeta tentang pakaiannya sekarang. “Tidak. Hati-hati di jalan dan semoga hari ini adalah hari yang baik untuk kamu,” sahutnya pelan, diikuti kedua sudut bibir yang kemudian mengembang ke atas secara perlahan. Kepala Neeta mengangguk dengan pelan dan nampak sedikit keraguan terselip di sana. Sebenarnya dia sama sekali tak menyangka Giandra akan tersenyum dan banyak bicara seperti yang dia lakukan barusan. Beberapa hari merawat pria itu, nyatanya Neeta sama sekali tak pernah melihatnya tersenyum. Jangankan tersenyum ramah. Bahkan saat Neeta bertanya pun, Giandra hanya diam sambil menatapnya tanpa memberikan jawaban apa pun. “Gimana keadaan kamu? Aku lihat kamu sudah lebih baik dari kemarin. Apa ada sesuatu yang tiba-tiba kamu ingat? Seperti kejadian waktu itu atau keluargamu.” Besar harapan Neeta jika Giandra mendapatkan kembali semua ingatan yang telah dia lupakan. Setidaknya, pria itu harus mengingat siapa keluarganya agar Neeta dapat menghubunginya. Tidak ada identitas apa pun yang Neeta dapatkan dari Giandra selain namanya. Seperti korban perampokan saja, Giandra kehilangan dompet dan juga handphone miliknya. Tapi, Neeta sangat yakin jika Giandra bukanlah korban perampokan melainkan pembunuhan berencana seperti yang dia duga selama ini. Lama Neeta menunggu namun Giandra tak kunjung memberikan jawaban. Setiap kali Neeta menanyakan hal semacam itu, Giandra seketika mendadak bungkam. Sejujurnya Neeta merasa sedikit heran sekaligus curiga. Apa Giandra memang benar-benar kehilangan ingatannya atau dia hanya berpura-pura saja? “Gian, kamu benar-benar kehilangan ingatan, kan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN