ISTRIMU ITU BUKAN AKU

1019 Kata
Bian meletakkan ponselnya di atas meja kerja setelah tidak mendapatkan jawaban, padahal dia sudah berkali-kali mengirim pesan dan menelepon istrinya. Ponsel Alea tidak aktif dari semenjak pagi. Saat Bian menelepon Bi Surti, dia mengatakan kalau Alea baru saja pulang dan langsung masuk ke dalam kamar. "Kenapa sih dia? Pagi-pagi ngilang, ditelepon nggak aktif!" Bian menggerutu kesal. Dari pagi pria itu sudah dibuat kesal oleh Alea. Bangun kesiangan, tidak disiapkan baju, dan juga tidak dibuatkan sarapan. Tadi pagi, Bian hanya makan sedikit karena sudah terlambat ke kantor. Selain terlambat, Bian merasa kalau masakan Bi Surti tidak seenak masakan Alea yang selalu pas di lidahnya. "Apa dia masih marah karena aku menikah dengan Amara secara diam-diam? Tapi, bukannya aku sudah menjelaskan padanya jika aku akan bersikap adil meskipun aku tidak mencintainya?" Bian berdecak kesal. Dia merasa Alea terlalu berlebihan. "Aku hanya menikahi Amara, bukan meninggalkannya. Kenapa dia harus marah? Bukankah yang terpenting aku tidak menceraikannya?" Bian kembali meraih ponselnya. Kembali memeriksa siapa tahu nomor istrinya sudah aktif. Tetapi, harapan tinggal harapan. Pesan yang dia kirim masih centang satu. Biasanya Alea sudah mengirim beberapa pesan padanya. Pesan berisikan perhatian kecil untuk Bian. Namun, Bian selalu mengabaikannya karena merasa itu bukanlah hal yang penting untuknya. Hari ini, jangankan pesan. Ponselnya saja mati dari pagi. Lagi-lagi, Bian meletakkan ponselnya dengan kasar saat pesan yang dia kirimkan untuk Alea belum juga terkirim. Masih centang satu. Ponsel Alea belum aktif juga padahal hari sudah siang. Bian ingin Alea datang ke kantor dan mengirimkan makan siang untuknya. Perutnya sangat lapar. Tetapi, dia tidak ingin memesan makanan di luar. Dia ingin Alea memasak untuknya dan mengantarkannya ke kantor sebelum jam makan siang. Lelaki itu berdecak kesal. Sebentar lagi waktu istirahat makan siang. Tetapi, sampai sekarang Alea tidak bisa dihubungi. Di tempat lain, Alea yang baru saja bangun tidur meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang. Wanita itu kemudian mengaktifkan ponselnya yang memang sengaja dia matikan. Saat ponsel itu menyala, terlihat beberapa notifikasi panggilan tak terjawab dan juga pesan. Alea mengerutkan keningnya. "Tumben, dia telepon." Alea yang jarang sekali mendapatkan telepon dari Bian kecuali jika ada sesuatu yang penting merasa heran saat melihat laporan panggilan dari nomor suaminya. Panggilan tidak terjawab lebih dari lima puluh kali. Sementara pesan terkirim juga ada lebih dari lima puluh pesan. Isi pesannya semua hampir sama. 'Kamu kemana? Kenapa tadi pagi tidak menyiapkan semua keperluanku?' 'Kenapa ponsel nggak aktif?' 'Aku lapar. Aku ingin kamu masak untuk makan siang dan kirim ke kantor.' 'Alea. Kamu di mana?' Beberapa pesan lainnya tidak Alea baca karena berisi pesan yang sama. Lapar! Lelaki itu memprotes karena Alea tidak memasak tadi pagi, dan sekarang Bian ingin dirinya memasak dan mengantarkannya ke kantor untuk makan siang. Jika pesan ini pria itu kirimkan saat Alea belum tahu tentang kebohongannya yang menikah lagi dengan perempuan lain, mungkin Alea akan merasa sangat senang. Sayangnya laki-laki itu mengirimkan pesan seperti ini di saat dirinya sudah ingin mematikan hati untuknya. Bian orang yang sangat cuek. Tidak sekalipun dia menelepon atau mengirim pesan kecuali jika ada sesuatu yang penting. Misalnya, ibu dan ayahnya berpesan untuk datang ke rumah mereka, baru Bian menelepon. Itu pun dengan nada datar. "Ibu menelepon menyuruh kita ke rumahnya. Bersiaplah! Sepulang kantor kita langsung berangkat." Itu adalah kata-kata yang Bian ucapkan jika dia menelepon karena pesan dari ibunya. Ah! Hati Alea kembali nyeri saat mengingat pengakuan Bian. Lelaki itu menikah dan memberikan perhatian serta bertanggung jawab sebagai suami karena atas perintah dari ibunya. Kenapa Alea seolah baru menyadari jika Bian selalu membawa nama ibunya setiap kali pria itu melakukan sesuatu? Alea mengembuskan napas panjang. Meredam lara yang seolah ingin mematikan raga. Bagaimana dia bisa kuat bila setiap kali mengingat luka itu, kedua matanya langsung dipenuhi air mata? "Seharusnya dulu aku tetap memupuskan harapan pada Bian meskipun dia sudah menikah denganku. Bian benar, aku mengetahui dengan jelas bagaimana kisah percintaan Bian dan Amara saat kuliah dulu. Bodohnya aku tidak menyelidiki dulu apakah mereka sudah putus atau masih bersama. Setelah pernikahan itu, Alea juga tidak pernah bertanya tentang Amara. Sama seperti Bian yang tidak pernah membahas apa pun tentang wanita yang dicintainya itu. Lelaki itu diam. Tidak mengatakan atau menjelaskan apa pun. Tidak disangka jika dalam diamnya lelaki itu menyimpan rahasia. Rahasia pernikahannya dengan Amara. Kenapa baru kemarin Bian mengatakan jika pernikahan mereka hanyalah pernikahan sandiwara untuk menyenangkan hati ibunya? Kenapa tidak dari awal saja lelaki itu mengatakan kalau dia tidak setuju menikah dengannya karena masih sangat mencintai kekasihnya? Jika Bian mengatakan dari awal, Alea juga pasti mengerti karena dia sangat tahu pasti tidak akan mudah melupakan orang yang dicintai hanya dalam waktu sekejap. Namun, karena Bian kemudian melakukan semua kewajibannya sebagai seorang suami, memberi nafkah baik lahir maupun batin. Alea kemudian menutup mata. Pura-pura tidak mengetahui hubungan yang terjalin antara Bian dan Amara. Apalagi, saat pertama kali Bian menyentuhnya. Menghabiskan malam panjang yang sampai kini tidak pernah terlupakan oleh Alea. Malam pertama yang tertunda setelah sebulan pernikahan. Apakah malam pertama itu juga atas permintaan ibunya? Jika iya, bodoh sekali kamu Alea. Suara dering telepon membuyarkan lamunan Alea. Terlihat nama Bian pada layar ponselnya. "Kemana saja kamu, Alea? Kenapa semenjak pagi ponselmu tidak aktif?" Tanpa mengucapkan salam, Bian berteriak dari ujung sana. Sepertinya lelaki itu sengaja meluapkan kekesalannya setelah mengetahui nomor ponsel istrinya aktif kembali.  "Aku baru bangun tidur." "Bangun tidur?!" Suara Bian kembali terdengar keras. Sampai-sampai Alea menjauhkan ponselnya dari telinga. "Hmm." "Alea!" "Tidak usah berteriak, telingaku masih berfungsi dengan baik." Alea merasa kesal. Terdengar hembusan nafas panjang dari seberang sana. "Aku lapar. Bisakah kau memasak untukku dan mengantarkannya ke kantor saat jam makan siang nanti? Aku akan menunggumu meskipun terlambat." Alea menjauhkan ponselnya dari telinga, melihat ke arah jam yang saat ini sudah menunjukkan pukul 11.30. "Hari ini aku lelah sekali. Kalau kamu lapar, kamu kan bisa memesan makanan menggunakan ponselmu atau makan di kantin kantor." "Tapi Al–" "Kalau kamu nggak mau pesan makanan atau nggak mau makan di kantin, kamu bisa minta istri tercintamu untuk memasak untukmu." "Bukannya sekarang aku juga sedang memintamu untuk memasak? Kamu istriku, kalau kamu lupa!" "Istrimu itu bukan cuma aku. Kamu bisa minta istri tercintamu itu memasak untukmu dan mengantarkannya ke kantor. Gampang 'kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN