SEHARUSNYA AMARA YANG ADA DI POSISI KAMU

1097 Kata
"Sial! Apa-apaan dia?" Bian memandang layar ponselnya yang menghitam karena Alea mematikan panggilan teleponnya secara sepihak. Bian yang biasanya pendiam dan tidak peduli pada Alea merasa kesal saat perempuan yang menjadi istrinya itu terkesan mengabaikannya. Biasanya, Alea sangat senang memasak. Bian tahu, karena beberapa kali dia melihat betapa antusiasnya Alea saat akan menyiapkan sarapan atau pun makan malam untuknya. Perempuan itu akan berbicara panjang lebar setelah dia memasak. Bibirnya tak berhenti tersenyum saat Bian menyantap makanannya dengan lahap meskipun pria itu tidak merespon. Jangankan memuji masakannya, sekedar ucapan terima kasih saja tidak pernah keluar dari mulut Bian. Bian menghela napas panjang setelah gagal menghubungi Alea lagi. Panggilannya masuk, tetapi tidak diangkat. "Mana mungkin aku menyuruh Amara memasak? Dia 'kan tidak bisa memasak. Lagipula, dia sedang hamil. Kalau pun Amara bisa memasak, aku juga tidak akan membiarkannya memasak untukku." Bian menyandarkan tubuhnya pada kursi kerja. Memikirkan ucapan Alea membuat kepalanya tiba-tiba merasa pening. Perutnya yang sudah meronta minta diisi semakin melilit. "Semua gara-gara Alea. Kalau tadi pagi dia tidak olah raga, aku tidak akan kelaparan seperti ini." **** Alea tersenyum sinis menatap ponselnya yang akhirnya berhenti berdering. "Perkara makan saja diperbesarkan, aneh! Bukankah selama ini juga dia seperti terpaksa menyantap makanan yang aku masak?" Alea menggelengkan kepala. Merasa aneh dengan sikap suaminya. "Giliran lapar, dia ingat kalau aku ini istrinya. Selama ini kemana saja dia?" Alea terus menggerutu. Merasa aneh dengan sikap Bian yang biasanya cuek dan menganggapnya tidak ada. "Lagian tumben-tumbenan pengen dibawain makanan. Biasanya juga nolak mentah-mentah jika aku tawarin." Alea ingat saat dirinya sengaja ke kantor mengantarkan makan siang untuk Bian. Jangankan menerima makanan yang dia kirim, Bian bahkan mengatakan kalau dirinya sibuk sehingga tidak bisa menemuinya di kantor. Padahal, saat itu Alea sudah sampai di ruangan suaminya. Bian beralasan sedang ada pertemuan dengan klien di luar kantor. Lelaki itu mengatakan kalau pertemuan itu akan berakhir saat sore hari. Bodohnya, Alea percaya jika Bian benar-benar sedang meeting. Bisa saja saat itu Bian sedang menemui istri keduanya bukan? Mengingat itu semua, Alea merasa menjadi wanita paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya dia tidak menyadari kebohongan suaminya selama ini. Alea keluar dari kamar menuju dapur. Di sana, sudah tersedia berbagai macam makanan yang dimasak oleh Bi Surti. Bi Surti tersenyum melihat majikannya datang. Wanita paruh baya itu mempersilakan wanita bermata sembab itu duduk. "Makasih, Bi." "Sama-sama, Non. Bibi tinggal dulu." Bi Surti segera berlalu dari hadapan Alea. Tadinya Alea ingin ditemani Bi Surti. Namun, saat tiba-tiba hatinya kembali perih karena mengingat Bian, perempuan itu akhirnya membiarkan asisten rumah tangga kepercayaannya itu pergi. Meja makan itu adalah saksi bisu di mana dirinya selalu melayani Bian dengan tulus. Alea menatap area dapur. Dia seolah sedang melihat dirinya sendiri saat sedang memasak untuk melayani suaminya. Baik saat sarapan maupun makan malam. Alea menyantap makanannya dengan lahap. Air matanya mengalir membasahi kedua pipi. Ternyata tak semudah ucapan di bibir yang mengatakan tidak ingin menangis lagi. Kenyataannya, rasa sakit yang dia rasakan membuat kristal bening itu mengalir dengan sendirinya. "Tuhan ... berbaik hatilah sedikit padaku. Tolong hilangkan rasa sakit di hatiku ini," batin Alea. Perempuan itu tidak peduli dengan air mata yang mengalir deras. Dia tetap melahap makanannya dengan sesunggukan. Dadanya terasa sesak akibat rasa sakit yang mencengkeram hatinya. Akan tetapi, dia butuh makan. Dia harus tetap kuat agar bisa menghadapi kenyataan pahit yang saat ini sedang dia rasakan. **** "Di mana Alea, Bi?" Bian baru saja turun dari mobil sambil menenteng tas kerjanya. Pria itu mengerutkan keningnya saat melihat Bi Surti yang menyambutnya dan segera mengambil alih tas dalam genggamannya. Suatu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya selama lelaki itu menikah dengan Alea. Biasanya, Alea yang menyambut kedatangannya dengan senyum merekah. Istrinya itu akan mengambil alih tas dalam genggamannya kemudian bergelayut manja pada lengan Bian. Lelaki itu memasang muka datar saat mendengar pertanyaan demi pertanyaan yang Alea ajukan selama dirinya di kantor. Meskipun Bian tidak menjawabnya, Alea terus saja berbicara sehingga membuat Bian jengah. Lelaki itu memilih buru-buru ke kamar meninggalkan Alea yang hanya bisa menarik napas panjang karena merasa diabaikan untuk yang kesekian kali. "Non Alea ada di kamarnya, Den. Belum keluar setelah makan siang tadi," ucap Bi Surti. Bian mengangguk sambil menghela napas panjang. Lelaki itu melanjutkan langkahnya tanpa melirik sama sekali pada Bi Surti. "Aneh! Biasanya dia sangat antusias menyambutku pulang. Kenapa sore-sore begini dia masih di dalam kamar?" Bian merasa penasaran dengan sikap istrinya yang tidak seperti biasanya. Dalam sehari ini, Alea sudah melakukan sesuatu yang selama ini tidak pernah dia lakukan sepanjang pernikahan mereka. Olahraga pagi, tidak membangunkannya dan juga tidak menyiapkan pakaian, tidak memasak, dan sekarang ... tidak menyambut kedatangannya saat pulang dari kantor. Rasanya ada yang aneh. Seperti ada yang kurang saat tidak melihat wanita itu berkeliaran di dekatnya. "Apa dia masih marah karena aku menikahi Amara?" monolog Bian. Sebuah pertanyaan bodoh yang seharusnya Bian sendiri sudah tahu jawabannya. Mana ada istri yang rela suaminya menikah lagi? Bian membuka pintu kamar dengan tidak sabar. Merasa penasaran dengan apa yang dilakukan istrinya di dalam kamar. Pandangannya tertuju pada Alea yang meringkuk di atas ranjang. Kedua matanya terpejam dengan napas yang teratur. Sepertinya Alea tertidur dengan pulas. "Tumben dia tidur jam segini." Bian membuka kemejanya tanpa mengalihkan pandanganya pada wajah cantik Alea. Lelaki itu menuju ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh lelahnya. Dia ingin bergabung bersama Alea di atas ranjang. Menikmati rasa nyaman bersama istri pertama sebelum bertandang ke rumah istri keduanya. Selesai mandi, Bian naik ke atas ranjang. Menatap lekat wajah cantik Alea. Lelaki itu baru menyadari jika kedua mata Alea terlihat membengkak. "Apa dia baru saja menangis?" Bian mengusap kedua mata Alea dengan jarinya. Ada rasa yang tidak bisa Bian jelaskan saat melihat kedua mata Alea yang biasanya tersenyum membentuk bulan sabit itu terlihat membengkak. Bian memang tidak peduli dengan Alea. Tidak ada rasa cinta di hatinya untuk perempuan itu membuat Bian tidak merasakan simpati sedikit pun pada wanita yang telah membersamainya selama dua tahun ini. "Jika bukan karena ibu yang sangat menginginkanmu sebagai menantu dan Amara yang ingin aku tetap mempertahankan kamu sebagai istriku, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini." Bian membelai wajah Alea. Mengakui kecantikan Alea yang Bian yakini mampu menarik perhatian kaum Adam di luar sana. "Pernikahan kita tidak akan terjadi jika bukan karena perintah dari kedua orang tuaku yang sangat menginginkanmu." Pandangan mata Bian tak beralih dari Alea. "Gara-gara kamu, aku terpaksa menikahi perempuan yang sangat aku cintai secara diam-diam dan menyembunyikannya dari dunia luar. Apa kamu tahu, seharusnya Amara yang ada di posisi kamu saat ini. Seharusnya dia yang bisa kupamerkan pada dunia, bukannya kamu. Kamu bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Amara, tetapi, kenapa kedua orang tuaku begitu menyukaimu?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN