SEMAKIN TERLUKA

997 Kata
Suara dering ponsel yang begitu nyaring membuat Bian segera beranjak dari ranjang. Baru saja ingin membaringkan tubuh di samping Alea, panggilan telepon itu mengganggunya. Bian meraih ponsel miliknya. Kekesalan pada wajah tampan itu langsung menghilang saat melihat nama yang muncul pada layar benda pipih itu. "Halo, Sayang, ada apa?" Suara Bian terdengar lembut. "Baiklah, aku segera ke sana. Kamu jangan kemana-mana!" Senyuman Bian menghilang berganti dengan kepanikan. Amara baru saja mengatakan kalau perutnya terasa sakit. Wanita yang sedang hamil muda itu menangis saat meneleponnya. Tanpa menoleh sedikit pun pada Alea, Bian segera keluar kamar dengan wajah panik. Lelaki itu setengah berlari meninggalkan rumah. Bian sangat mencemaskan Amara dan calon bayinya. Dia takut terjadi apa-apa pada istri keduanya yang nantinya berakibat buruk pada janin berusia delapan minggu yang bersemayam dalam rahim wanita yang sangat dicintainya itu. "Semoga kamu baik-baik saja, Sayang ...." Bian sangat mengkhawatirkan Amara tanpa sadar jika apa yang dia lakukan membuat luka dalam hati Alea semakin dalam. Setelah kepergian Bian, Alea menangis. Luka hatinya semakin berdarah-darah saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut pria yang masih sah menjadi suaminya itu. Jika bukan karena ibu yang sangat menginginkanmu sebagai menantu dan Amara yang ingin aku tetap mempertahankan kamu sebagai istriku, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Pernikahan kita tidak akan terjadi jika bukan karena perintah dari kedua orang tuaku yang sangat menginginkanmu. Gara-gara kamu, aku terpaksa menikahi perempuan yang sangat aku cintai secara diam-diam dan menyembunyikannya dari dunia luar. Apa kamu tahu, seharusnya Amara yang ada di posisi kamu saat ini. Seharusnya dia yang bisa kupamerkan pada dunia, bukannya kamu. Kamu bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Amara, tetapi, kenapa kedua orang tuaku begitu menyukaimu? Alea terisak mengingat kata-kata Bian beberapa menit lalu. Wanita itu sudah terbangun saat Bian mengucapkan kata-kata menyakitkan di depan wajahnya. Pendengaran Alea dengan jelas merekam suara Bian yang mengatakan jika dirinya bukanlah apa-apa dibandingkan dengan Amara. Menurut Alea, tidak ada sesuatu yang sangat menyakitkan di dunia ini selain rasa sakitnya dikhianati pasangan sendiri. Alea sungguh tidak habis pikir, kenapa Bian masih mau bertahan hidup bersamanya selama dua tahun kalau dalam hati lelaki itu tidak ada tempat untuknya sedikit pun? Bian tidak menyukai Alea, tetapi lelaki itu tetap bertahan menjadi suami perempuan itu. Namun, setelah pengakuan yang keluar dari mulut pria itu, Alea sadar, jika semua yang pria itu lakukan selama dua tahun pernikahan mereka hanya atas dasar baktinya kepada orang tua, dan juga ... atas Amara yang menyuruh Bian mempertahankannya. Kenapa Amara ingin Bian mempertahankannya? Bukankah wanita itu seharusnya senang karena Bian tetap memilihnya meskipun lelaki itu sudah menikah dengan Alea? Alea kembali menangis. Meratapi nasib pernikahannya yang saat ini berada di ujung tanduk. Dia tidak mungkin terus bertahan dalam neraka rumah tangga yang diciptakan oleh suaminya sendiri. Mungkin benar, selama ini Bian memperlakukan Alea dengan baik, memenuhi semua kebutuhan istrinya, menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami. Akan tetapi, Alea jelas tidak mau dipoligami. Meskipun tanpa kenyataannya selama kurun dua tahun dia sudah dipoligami tanpa sepengetahuannya. Apalagi, saat tahu jika perempuan yang menjadi madunya adalah perempuan yang selama ini sangat dicintai oleh sang suami. Poligami memang tidak dilarang oleh agama, tetapi, dia bukanlah wanita yang rela berbagi suami. Alea tidak bisa menerima dan tidak akan pernah siap menanggung rasa sakit ketika melihat suaminya bersama wanita lain. Contohnya seperti sekarang ini. Bian bahkan tanpa kata langsung meninggalkannya setelah mendapatkan telepon dari istri mudanya. Bian tidak pernah terlihat sekhawatir itu kecuali jika menyangkut orang-orang yang sangat dia sayangi. Kepanikan dan kekhawatiran yang terlihat pada wajah pria itu sama persis seperti saat Bian mendengar kabar jika ibu atau ayahnya sedang sakit. "Jika terjadi sesuatu padaku, apa kamu juga akan panik dan sekhawatir itu, Bian?" Alea berbisik lirih dengan air mata yang terus mengalir pada kedua pipinya. "Kenapa rasanya sesakit ini?" Alea kembali menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Alea ingin segera mengakhirinya, tetapi, untuk saat ini dia tidak bisa melakukan apa pun. Selama menikah dengan Bian, hidup Alea tergantung pada pria itu sepenuhnya. Jika dia memilih berpisah dengan Bian sekarang, dia tidak tahu harus tinggal di mana. Alea sendirian setelah kedua orang tuanya meninggal. Saudara dari ayah ibunya tidak ada yang tinggal di kota yang sama. Mereka semua hidup di luar kota. Namun, kalau pun mereka dekat, Alea tetap tidak bisa tinggal bersama mereka. Dia masih ingat, saat kematian kedua orang tuanya, tidak ada satu pun di antara mereka yang datang. Oleh karena itulah, Alea tidak menolak saat kedua orang tuanya Bian membawanya tinggal bersama kemudian menikahkannya dengan Bian. "Kalau aku pulang ke rumah orang tuaku, ayah dan ibu mertuaku pasti akan menyuruhku pulang kembali." Alea bukan terlalu percaya diri. Akan tetapi, dia tahu betul bagaimana kedua orang tua Bian selalu mendukungnya dan menyuruh Alea bersabar menjadi istri Bian. Apalagi, Bian sendiri pun mengakui jika kedua orang tuanya memang sangat menyukainya. "Aku harus bagaimana?" Rumah kedua orang tuanya memang masih ada. Namun, selama Alea tinggal bersama Bian, rumah itu dibiarkan kosong. Sesekali, Bi Surti akan datang untuk membersihkan rumah mendiang orang tuanya. "Apa aku jual saja rumah itu?" *** Bian sampai di rumah Amara. Lelaki itu dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah. "Sayang ...." Bian berlari mendekati Amara. Wajah perempuan itu terlihat pucat. Bibirnya meringis menahan sakit. "Kita ke rumah sakit sekarang!" Amara mengangguk. Asisten rumah tangga yang sedari tadi menemaninya dengan sigap berlari menuju mobil Bian saat majikan lelakinya itu menggendong tubuh Amara. "Bibi jagain rumah, jangan biarkan orang asing masuk tanpa persetujuanku!" titah Bian yang segera diangguki oleh perempuan paruh baya bernama Minah itu. Bian tiba-tiba teringat pada Alea yang kemarin membuntutinya sampai ke rumah Amara. Bian takut kalau istrinya itu kembali datang dan membuat keributan di rumah Amara. Sepicik itu prasangka Bian pada Alea. Padahal, Alea sendiri bahkan tidak sampai berpikir ke arah sana. Perempuan itu masih waras untuk tetap mempertahankan harga dirinya, meskipun hatinya sangat terluka. Setelah menutup pintu, mobil Bian melaju meninggalkan rumah itu. Pria itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai di rumah sakit. Bian sangat mengkhawatirkan keadaan Amara yang merintih kesakitan. "Sakit, Mas. Perutku sakit sekali ...."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN