Bab 4: Amara Nida Aulia

932 Kata
Amara duduk di meja tulisnya. Laptopnya sudah menyala sejak tadi. Makalah yang harus diselesaikannya pun sudah dalam posisi terbuka di monitor. Tapi pikirannya entah kemana. Ia tak pernah berpikir akan mendapatkan pengantin pengganti seperti ini. Evan memang terlihat lebih baik dan lebih bertanggung jawab. Tapi Amara juga merasa Evan begitu dingin dan kaku. Laki-laki itu hanya berbicara seperlunya saja. 'Kamu ada waktu kan besok? Ada yang harus kita bicarakan.' Pesan itu masuk ke ponsel Amara. Tadi ia sudah bertukar nomor ponsel dengan Evan. Pernikahan mereka tinggal beberapa hari lagi. Ibunya sudah melarangnya keluar rumah. 'Ibu sudah melarangku keluar rumah.' 'Aku yang ke rumah. Selesai ngajar. Sekitar jam 2.' 'Iya.' Amara menghela napas. Meski hanya melalui pesan singkat, tapi ia bisa merasakan kesan kaku dan to the point dari calon suaminya itu. Amara merasa sedikit aneh menyebut Evan, laki-laki yang baru dikenalnya, sebagai calon suaminya. Gadis itu menatap ponselnya yang sudah berhenti berkedip. Dia sudah tak punya pilihan lain kan? Dia kembali mengetikkan sesuatu di laptopnya. Berusaha untuk kembali konsentrasi. Semua tugasnya harus selesai. Dia tak ingin tertinggal satu mata kuliah pun. * Amara baru saja selesai membereskan kamarnya, saat ibunya memberi tahu Evan datang. “Ra, jangan lupa pastikan ukuran bajunya Evan ya. Ibu sudah minta orang dari salon untuk ke sini. Cuma tinggal tiga hari kuatir gak pas, gak nyaman dipakai.” Amara mengangguk. Ukuran baju Evan jelas berbeda dengan Darrel. Evan lebih kurus dan lebih tinggi. Sementara Darrel lebih atletis karena sering menghabiskan waktunya di gym. “Mas,” Ara mengangguk sopan. Sudah ada dua minuman dingin dan cemilan di atas meja. “Baru dari kampus?” Evan mengangguk. “Aku hanya merasa perlu mengkompromikan beberapa hal sama kamu.” “Soal?” “Pekerjaan dan tempat tinggal terutama.” Amara mengangguk mengerti. “Aku mau kamu tinggal ikut denganku. Tapi aku belum punya rumah. Aku hanya ada apartemen.” Amara mengangguk. Bahkan tinggal di apartemen juga membutuhkan biaya tak sedikit. “Aku rasa gak masalah. Kita masih bisa sewaktu-waktu menginap ke sini kan?” tanyanya hati-hati. Evan mengangguk. “Dan soal pekerjaan, aku punya beberapa target karir selain mengajar.” “Penelitian dan sejenisnya?” Amara memastikan. “Iya. Juga side job. Dan aku sedang mengajukan beasiswa S3.” Amara kembali mengangguk mengerti. Dia harus mendukung apapun sejauh itu baik dan tidak melanggar ajaran agama mereka kan? “Kuliahmu?” ganti Evan yang bertanya. “Satu semester lagi mudah-mudahan selesai.” “Kamu mau bekerja?” “Mas Evan keberatan?” Amara balik bertanya. “Enggak. Lakukan saja apapun yang kamu suka. Aku tidak akan mengekang. Dan aku harap aku juga tetap bisa melakukan aktivitasku seperti biasa.” Amara mengangguk. “Baju untuk besok, maaf, jika nanti ukurannya kurang pas. Karena yang disiapkan ukurannya Darrel” Evan mengangguk mengerti. Dia cuma pengantin pengganti kan? “Aku bisa pakai jas” “Sebentar lagi orangnya ke sini untuk fitting, siapa tahu masih bisa tukar baju atau dipermak sedikit.” “Gak usah terlalu repot.” Tak lama, dua orang dari vendor salon pengantin datang membawa beberapa pakaian yang paling mirip ukurannya dengan ukuran Evan. “Mas bisa coba di kamar tamu,” Amara mengarahkan Evan diikuti mereka yang membawa pakaian. “Nanti jangan langsung dilepas ya, Mas, biar kami lihat dan tandai dulu jika memang ada yang perlu dipermak,” pesan kedua orang itu sebelum meninggalkan kedua calon pengantin. Evan melihat ada satu pintu di dalam ruangan itu. “Itu kamar mandi?” tanyanya begitu mereka tinggal berdua. “Iya. Silakan kalau Mas Evan mau pakai, aku tinggal keluar.” “Jangan pergi,” cegah Evan. “Aku akan ganti di dalam,” Evan mengambil satu set baju pengantin yang akan mereka gunakan saat resepsi dan membawanya ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban Amara. Amara melongo, bagaimana mungkin Evan memintanya tinggal sementara ia sedang fitting baju. “Celananya pinggangnya kegedean. Kamu bisa kasih penanda biar mereka bisa jahit sedikit?” Evan sudah keluar lagi dengan baju pengantinnya, dia menunjukkan bagian pinggangnya. “Aku panggil mereka ya.” “Gak usah. Aku gak mau sama mereka,” tolak Evan ketus. Amara menghela napas. Wajahnya memerah. Ia mencari jarum pentul. Gadis itu duduk di atas kasur, sementara Evan berdiri di depannya dengan posisi menyamping. “Bajunya mau dipermak sekalian?” Evan mundur beberapa langkah dan menatap calon istrinya itu. Ia masih bisa melihat semburat pink di pipi Amara. Blushing. Evan tersenyum samar. “Aku pakai jas saja ya? Gak masalah kan kalau gak ganti kostum?” Amara mengangguk pelan. “Tapi yang ini aku minta disiapkan ke mereka ya. Barangkali para orang tua riweuh. Aku gak mau dipusingkan soal kostum.” “Orang tua Darrel gak akan berani ngerecoki kamu.” “Ibuku agak riweuh orangnya. Aku tinggal keluar ya biar Mas bisa ganti baju lagi.” Evan menatap datar punggung Amara yang bergerak menuju pintu. Gadis itu tampak begitu praktis dan tak banyak drama. Entah apa isi kepala dan hatinya. Bagaimana ia bisa tampak begitu tenang dan tidak emosional menghadapi perselingkuhan kekasihnya. “Bajunya masih di kamar, aku harus kembali ke kampus,” kata Evan datar begitu kembali ke ruang tamu, dimana ada Amara, ibunya, dan dua orang pegawai salon tadi. Amara bangkit mengantar Evan ke depan. “Jangan lupa sampaikan orang tuamu masalah kita akan tinggal dimana nanti.” “Iya. Tapi kalau beberapa hari di sini dulu Mas gak keberatan kan?” Evan tak menyahut. Dia tak pernah berpikir tentang beberapa hari itu. Baginya, semakin cepat semua berjalan seperti semula, maka akan semakin baik. Terlebih, ada beberapa laporan penelitian dan jurnal yang harus ia selesaikan segera. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN