Bab 1: Kejutan
“Ara, mau kemana?” tanya ibunya saat Amara keluar dari kamarnya dengan membawa satu ransel berisi laptop dan perlengkapan kuliahnya.
“Kampus. Cuma sebentar, Bu. Udah beres semua kan? Ara akan mampir ke kost Darrel setelah dari kampus.”
“Mestinya kamu itu dipingit. Malah masih keluyuran begitu.”
“Ish, Ibu. Kita udah sepakat lho. Ara setuju menikah dulu, tapi Ara tetap diberi kesempatan menyelesaikan profesi Ara dan mungkin berkarir nantinya.”
Wanita itu menghela napas. Kadang, ia takut anak gadisnya itu tiba-tiba berubah pikiran. Meski Ara dan Darrel sudah lama berhubungan, ia tak melihat cinta yang menggebu-gebu pada anak gadisnya itu. Ara cenderung mandiri dan hanya sekedarnya saja menjalani hubungan.
“Ibu tenang aja. Ara gak pernah ingkar janji kan selama ini? Ara ke kampus dulu.”
Amara mengendarai sepeda motornya ke kampus yang berada di area kota Yogyakarta. Dia terbiasa menjalani hidupnya dengan tertib. Menetapkan target-target hidupnya terkait dengan pendidikan dan karir yang kelak ingin dijalaninya.
Menikah di usia yang baru dua puluh tiga tahun, bukanlah bagian dari rencananya. Dia masih ingin menjalani semuanya sendiri. Meraih pencapaian-pencapaian pribadinya sebelum berkutat dengan rumah tangga yang baginya hanya di seputaran itu saja.
Tapi mengenal Darrel di awal masa ia kuliah nyatanya justru membuatnya terjebak dalam keputusan kedua orang tua mereka yang ternyata adalah teman lama. Jalinan itu tercipta lebih erat karena mereka sering kali bersama, tepatnya Darrel yang kerap ke rumah Amara. Darrel yang merupakan anak perantauan di kota Yogyakarta seakan menemukan rumah keduanya dalam keluarga Amara.
Selepas dari kampus, sesuai rencana, Amara akan mampir ke kost Darrel untuk kemudian melakukan fitting akhir bersama. Entah mengapa, semakin dekat hari pernikahan, ia tak merasakan antusiasme sama sekali. Semua dijalaninya sekedar memenuhi janjinya pada kedua orang tuanya.
Ibunya, begitu takut Amara akan menjadi perawan tua karena terlalu mengejar pendidikannya. Karenanya, ketika kemudian Darrel, yang ternyata anak dari kawan lamanya, beliau langsung mengikat anak laki-laki itu, meski Amara sebenarnya tak terlalu menyukai Darrel.
*
Biasanya, Amara akan menghubungi Darrel terlebih dahulu jika akan mampir ke kostnya di daerah Seturan. Akan tetapi, kali ini ia benar-benar terlupa. Kekasihnya itu menempati sebuah kostan eksklusif di kawasan yang cukup metropolis di daerah utara Yogyakarta. Area yang sebetulnya sangat enggan Amara singgahi karena cukup crowded.
Terlebih lagi, kost yang ditempati kekasihnya adalah kost campur yang begitu bebas. Membuatnya enggan bertegur sapa dengan teman-teman Darrel yang menurutnya penganut pergaulan bebas. Amara sudah pernah komplain terkait hal tersebut, tapi alasan Darrel yang menempati rumah kost milik familinya membuatnya tak bisa berbuat banyak.
“Darrel,” Amara tersentak kaget begitu membuka pintu kamar kost Darrel.
Laki-laki itu bergelung dengan seorang perempuan di bawahnya tanpa sehelai benangpun menutupi. Darrel terlihat begitu bersemangat bergerak naik turun tak menyadari kekasihnya ada di ambang pintu menyaksikan semuanya.
“b******k,” Amara meraih sesuatu di dekatnya dan melemparkannya begitu saja ke arah Darrel yang masih belum menyadari apa yang terjadi.
Laki-laki itu menggeragap kaget mendapati sebuah benda terlempar dan membentur dinding menimbulkan suara yang keras.
“Amara?” Darel melotot kaget. “Si-al,” gumamnya kesal. Ia hampir mendapatkan pelepasannya tapi semua tiba-tiba berantakan.
Darrel bangkit melepaskan diri dengan terpaksa kemudian meraih sembarangan celana pendeknya dan menggunakannya dengan cepat. Dia memberi isyarat pada perempuan yang menjadi pasangan ranjangnya untuk menyingkir ke kamar mandi.
Amara memalingkan wajahnya yang memerah karena amarah. Dia tak menyangka calon suaminya itu ternyata menghianatinya di belakangnya.
“Kita selesai. Gak akan ada pernikahan. Kamu bisa bawa orang tuamu ke rumah untuk menyelesaikan semuanya,” Amara menatap tajam kekasihnya.
“Ra, gak bisa begitu,” Darrel mengulurkan tangan hendak meraih bahu kekasihnya, tapi Amara menepisnya dengan tegas.
Amara tersenyum sinis. “Aku gak mau menikahi barang bekas.”
Darrel tersulut. Dia menutup pintu di belakang Amara dan mendorong gadis itu hingga punggungnya membentur pintu.
“Itu karena kamu tidak pernah mau melakukannya buatku. Aku butuh pelepasan, Ra.”
“Dan buatmu aku datang di waktu yang gak tepat kan? Kamu gagal mendapatkannya tadi?” bukannya takut dengan Darrel, Amara malah menantangnya dengan tatapan tajam.
Darel tersenyum miring. “Aku akan mendapatkannya denganmu,” dia mendesak tubuh kekasihnya.
“Jangan harap, Darrel!” suara Amara terdengar keras. Dia mendorong tubuh Darrel sekuat yang ia bisa dan menggerakkan satu kakinya.
Darrel yang tak siap, mundur beberapa langkah. Dia tak menyangka gadis itu akan menggunakan lututnya untuk menghantam s**********n Darrel.
“Kita selesai.”
Amara berbalik dengan cepat meninggalkan tempat itu. Ia tak menyangka akan mendapati kejutan seperti ini hanya beberapa hari menjelang pernikahannya.
*
Amara memarkir sepeda motornya sembarangan di halaman rumahnya. Di teras, ibunya tampak sedang menghadapi tumpukan undangan yang akan dibagikan bersama pegawainya.
“Ibu, berapa undangan yang sudah tersebar?”
“Sudah separoh. Ini tinggal yang agak jauh. Ibu masih cek lagi alamatnya.”
“Gak usah disebar. Yang sudah keluar jika masih bisa ditahan, tolong tahan dulu,” ucap Amara tegas. Tak ada air mata menetes di pipinya. Wajahnya tampak begitu keras.
“Nduk, ada apa?”
“Gak akan ada pernikahan antara Amara dengan Darrel.”
“Apa?” perempuan baya itu menjatuhkan beberapa undangan yang tengah dipegangnya. “Ara, jangan bercanda,” dia mengejar anak gadisnya ke dalam.
“Ibu tahu Ara tidak pernah bercanda dengan hidup Ara kan? Ara tidak mau menikah dengan laki-laki yang sudah tidur dengan perempuan lain.”
“Tapi ini tinggal hitungan hari, Ara.”
“Justru itu kita masih punya kesempatan membatalkan semuanya. Apa yang Ibu khawatirkan?”
“Amara, kamu salah paham, Sayang,” Darrel muncul dengan wajah tanpa dosanya membuat Amara semakin jijik melihatnya.
“Salah paham apa? Sekarang panggil orang tuamu kemari. Kita selesaikan hari ini juga. Aku mau semua dibatalkan. Aku tidak sudi menikah dengan laki-laki bekas perempuan lain,” ucap Amara tegas, meninggalkan Darrel yang terpaku di ruang tamu.
Darrel mengumpat dalam hati. Bisa mati dia jika orang tuanya sampai tahu ia berselingkuh. Dengan apa mereka akan membayar semua hutang-hutang yang menumpuk. Sial.
“Darrel, apa yang terjadi sebetulnya?”
“Amara hanya salah paham, Tante.”
“Salah paham bagaimana? Amara bukan orang yang suka menuduh tanpa bukti.”
Darrel kebingungan. Apa yang harus ia lakukan? Jika sampai Amara membatalkan semuanya, bagaimana keluarganya membayar semua hutang-hutang itu pada keluarga Amara? Tidak. Ini tidak boleh dibiarkan gagal.
***