Darrel akhirnya menemui kakak tirinya di kampus tempat kerja kakaknya itu. Evan Erindra Putra, begitu tulisan yang ada pada id card yang tergantung di depan dadanya. Seorang dosen muda dengan perawakan tinggi dan pakaian rapi.
“Aku ada kelas setengah jam lagi. Kamu ada perlu apa?” tanya Evan datar.
“Soal Amara.”
“Siapa?”
Darrel menghembuskan napas. “Amara melihatku dengan perempuan lain.”
“Melihat bagaimana?”
“Di atas ranjang.”
“Bodoh. Makanya gak usah sok-sok-an mau menikah muda.”
“It’s just s-ex, Mas. Tapi Amara menanggapinya berlebih. Dia meminta ketemu Mama Papa hari ini juga. Aku gak mungkin ngaku sama mereka.”
“Terus siapa yang harus ngaku? Yang melakukan kan kamu. Dan sekarang kamu justru bisa bebas dari pilihan ibumu.”
“Bukan begitu, Mas. Ibu punya hutang sama orang tua Amara.”
“Itu urusan kalian. Bukan urusanku.”
“Mas tolonglah, ngomong sama Amara biar dia gak batalin semuanya.”
“Bukannya dengan dia minta pembatalan kamu malah diuntungkan?”
Darrel berdecak kesal. Dia memang menjadi bebas jika itu terjadi, tapi dia juga bisa menjadi miskin seketika. Ayahnya sudah terkena stroke. Meski ringan tapi jelas sudah tak maksimal lagi untuk bekerja. Sementara ibunya yang kini mengendalikan lini usaha mereka pun tak bisa berbuat banyak, malah membuat hutang mereka semakin menumpuk.
Ia tak mungkin meminta Evan menyokong hidupnya. Karena meski Evan adalah kakak tirinya, tapi mereka tak memiliki hubungan darah sama sekali. Dan Evan sudah sejak kecil hidup mandiri tanpa sokongan ayah mereka yang merupakan ayah kandung Evan sekaligus ayah tiri bagi Darrel.
“Kamu tetap harus kasih tahu orang tuamu, Rel. Masalah pernikahan kalian itu masalah dua keluarga. Kalau aku jadi Amara, mungkin aku juga akan memilih membatalkannya daripada menikahi laki-laki seperti kamu. Kerjaan juga belum jelas. Kuliah gak kelar-kelar. Tukang celup sana sini pula.”
“Mas, aku tuh ke sini minta bantuan, bukan minta dikuliahi kamu,” Darrel berang.
“Kerjaanku di sini ngasih kuliah anak orang. Dan aku dibayar untuk itu.”
Darrel kembali berdecak kesal. “Aku bukan mahasiswamu. Jadi kamu mau bantuin ngomong ke keluarga Amara atau tidak?”
“Kamu ngomong dulu ke orang tuamu, baru aku mau bantu. Aku mau masuk kelas. Ada lagi enggak yang mau kamu omongin?” ucap Evan tegas.
Darrel keluar dari ruangan kakak tirinya itu dengan kesal. Beberapa mahasiswa yang kebetulan melihat Darrel keluar dari ruangan dosen mereka melirik heran. Darrel terlihat begitu santai dengan kaos oblong dan hanya mengenakan sandal, padahal siapapun tahu Evan tak akan mau menerima mahasiswanya yang hanya menggunakan kaos oblong dan sandal.
*
Evan baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya saat ayahnya menelponnya. Dia mendesah. Hubungannya dengan satu-satunya orang tuanya yang tersisa itu tak pernah berlangsung baik. Evan hanya menghormati orang tua itu karena dia adalah ayahnya. Tak pernah ada kedekatan yang lebih dari sekedar menanyakan kabar.
“Van, Papa ada di tempat Darrel. Kamu bisa ke sini?”
Evan hanya mengiyakan tanpa banyak bertanya. Tempat Darrel adalah salah satu tempat kost ekslusif milik keluarga ibunya Darrel. Sebuah kost bebas yang tak pernah sepi penghuninya. Evan hanya pernah dua kali mampir ke sana. Pertama ketika ayahnya ke Yogyakarta menjenguk Darrel di masa awal kuliah. Kedua saat adik iparnya itu melamar kekasihnya.
Evan sendiri heran dengan mereka. Bagaimana mungkin ayahnya membiarkan laki-laki seperti Darrel yang masih menginginkan kehidupan yang bebas merencanakan sebuah pernikahan. Tapi yang lebih mengherankannya adalah keluarga si perempuan, bagaimana bisa mereka menerima pinangan dari seorang laki-laki yang kuliah saja gak selesai-selesai.
Ayahnya sudah menunggu di teras kamar kost Darrel. Ada dua kursi dan satu meja kecil yang tersedia di depan masing-masing kamar. Laki-laki itu menatap putranya dengan penuh kerinduan. Ada gurat penyesalan yang tergambar jelas di matanya yang sudah tua.
“Evan,” sapanya parau.
Evan menyalami ayahnya. Seseorang yang ia kenal hanya dari jauh. Sekedar nama di atas selembar identitas kelahirannya. Tanpa banyak peran berarti sepanjang hidup Evan selain seseorang yang dari benihnya Evan terlahir.
“Papa apa kabar?” tanyanya basa-basi.
“Baik. Papa perlu bantuanmu kali ini. Dan Papa mohon dengan sangat, kamu mau membantu Papa.”
“Papa butuh berapa? Gaji Evan gak banyak.”
“Tidak. Bukan itu. Ada hal lain.”
Laki-laki itu tampak menerawang jauh. Entah apa yang dilihatnya. Mungkin masa lalu yang ia sesalkan. Atau masa depannya yang terlihat suram. Tak banyak yang bisa ia lakukan kini. Keputusan-keputusan masa lalunya sudah tak lagi bisa ia perbaiki, menyesal pun tak ada gunanya kini.
Dia pernah punya masa-masa bahagia dulu. Dulu sekali. Ketika Evan masih sangat kecil. Dia nyaris memiliki semua kebahagiaan seorang laki-laki. Usaha yang berkembang, istri yang cantik, dan anak laki-laki yang cerdas. Tapi kemudian semua disia-siakannya.
“Kamu mau bantu Papa kan? Cuma kamu harapan Papa satu-satunya agar mamanya Darrel tidak berakhir di penjara.”
Evan mengernyit. Sebenarnya ada apa? Apa mereka terbelit masalah hukum yang pelik?
“Gantikanlah Darrel. Nikahi Amara. Papa mohon.”
“Apa?”
Evan menatap nyalang ayahnya. Bagaimana mungkin orang tuanya meminta hal seperti itu padanya? Mereka yang dulu memaksakan diri melamar gadis itu untuk anak mereka yang pengangguran. Dan kini setelah Darrel ketahuan berselingkuh, dan gadis itu tak ingin melanjutkan rencana mereka, Evan diminta melanjutkan? Benar-benar tidak masuk akal.
***