Beberapa kali Abi melayangkan tinju pada samsak. Peluh sudah merembes melewati cela pori-pori, hampir membasahi kaos putih polos yang Abi kenakan.
“Istirahat dulu, Ab.” Brandon, pemilik Lion Club melemparkan satu botol air mineral dingin pada Abi. Dengan sigap Abi menyambut lalu meneguk setengahnya. “Kemampuan lo semakin meningkat, dan gue bangga karena itu.”
“Kalau Abang lupa, gue Abi yang serba bisa. Serba keren dari sudut manapun.”
“Sial! Sombong banget lo!” Abi terbahak mendengarnya.
Hari ini, genap tiga bulan Abi bergabung dengan club MMA milik Brandon yang terpaut usia sembilan tahun di atas Abi. Bahkan Abi sudah jadi pemain tetap di sini. Setiap ada pertandingan, Abi akan diajukan sebagai petarung, dan tidak sedikit kemenangan yang Abi peroleh. Uang hadiahnya juga besar, itu faktor utama yang membuat Abi bergabung.
“Bang, gue pulang dulu,” pamit Abi setelah menghabiskan air mineral dan peluh di tubuhnya sudah mengering.
“Iya. Jangan lupa, sore sabtu ada pertandingan. Kali ini uangnya lebih gede, dan lawan lo juga nggak bisa dianggap remeh.”
“Gampang itu.” Abi mengacungkan jari jempolnya lalu menepuk pundak Brandon. “Demi uang, hulk pun gue lawan.”
Brandon hanya tertawa lalu menggeleng-gelengkan kepala. Abi itu anak didik Brandon yang paling percaya diri, tapi kemampuannya memang patut diacungi jempol. Satu bulan pertama bergabung saja, Abi sudah memenangkan dua pertandingan untuk pemain pemula.
***
Abi mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Terdengar suara pintu kost diketuk, bergegas Abi menggantung handuk di belakang pintu lalu keluar kamar. Dari kaca, Abi melihat Ibu Lidia, pemilik kost tempat Abi bersama anak perempuannya. Abi memutar handle pintu lalu bertanya, “Ada apa, Bu?”
“Gini Nak Abi, Ibu mau nagih uang kost-kostan. Soalnya uang itu untuk biaya berobat suami Ibu.”
“Astaga! Kemarin Abi lupa ngasih ke Ibu.” Abi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Boleh Abi ke atm dulu buat ngambil uangnya?”
“Eh, silahkan-silahkan. Pulangnya langsung antar ke rumah Ibu aja, ya? Nggak pa-pa, kan?”
“Nggak pa-pa, Bu.”
“Duh, sebenarnya Ibu nggak enak nagih sore-sore gini, Nak Abi.”
“Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya Abi yang harusnya nggak enak sama Ibu karena lupa bayar kostan.”
Bu Lidia tersenyum. “Yaudah, Ibu kembali ke rumah dulu. Nanti Nak Abi datang aja.” Abi mengangguk. Setelah Bu Lidia dan anaknya pergi, Abi masuk ke dalam kamar. Mengganti celana selututnya dengan jeans panjang lalu mengambil jaket untuk menutup kaos hitam polosnya.
Setelah mengunci pintu, Abi langsung memacu motor vespanya menuju atm terdekat. Beruntung uang yang dikasih Tante Ana masih ada, setidaknya cukup untuk membayar kostan Abi. Untuk uang makan dan lainnya, biar Abi pikirkan nanti. Lagian masih banyak cewek-cewek yang naksir Abi, Abi juga bisa meminta tolong pada mereka. Terlebih pada Ami, pasti Ami dengan senang hati menolongi Abi, mengingat Abi pernah menyelamatkannya.
Delapan ratus lima puluh ribu uang yang Abi tarik dari mesin atm. Saldo yang tersisa hanya seratus ribu dua ratus rupiah saja, menyedihkan sekali kondisi keuangannya saat ini. Semoga saja salah satu dari para tante-tante menghubingi Abi, karena hanya mereka yang bisa memberi uang banyak.
Bergegas Abi melajukan motornya menuju rumah Bu Lidia. Seperti yang diduga, Bu Lidia sedang menunggu kedatangan Abi. Bahkan saat Abi menyerahkan uang kost, Bu Lidia berkali-kali mengucapkan maaf dan terima kasih. Sampai-sampai Abi tidak enak sendiri.
Pulangnya, Abi langsung ke kost. Merebahkan diri dan uring-uringan di tempat tidur. Dari sore berganti malam, para Tante itu seolah kompak tidak menghubungi Abi. Sedangkan saat ini Abi dalam kondisi lapar, mana di kost hanya ada beras saja. Walau Abi anak kost, tapi Abi tidak pandai memasak, Abi sering makan di luar atau membeli lauknya saja.
Dering ponsel berbunyi, Abi yang tadi terpejam kini membuka mata. Abi mengambil ponselnya, nama ‘Si Mungil’ muncul di layar, Abi menggeser tombol hijau lalu mendekatkan ponsel ke telinga. “Halo, Mungil? Ada apa?”
“Emm ... Kak Abi lagi sibuk?”
“Kebetulan tidak, ada apa?”
“Gini, Kak Abi mau ke rumah Ami? Soalnya Ami lagi sendirian, Mom ikut Dad perjalanan bisnis, Alan lagi di rumah temennya ngerjain tugas. Bi Latri sama Mang Sapri juga ke rumah sakit, soalnya ada anak temen Bi Latri ada yang melahirkan. Nggak tau kenapa mereka kompak ninggalin Ami.”
“Sebenarnya gue malas. Tapi, demi lo, nggak pa-pa deh, Mungil. Yaudah, gue ke sana sekarang.”
“Beneran?Kak Abi beneran mau ke rumah Ami?”
“Iya.”
“Makasih, Kak. Ami matiin, ya? Kak Abi hati-hati di jalan.” Sambungan telepon terputus, tanpa menunggu detik berubah jadi menit, Abi langsung keluar kost lalu memacu motornya.
Hanya membutuhkan waktu dua puluh dua menit, Abi sudah berada di depan gerbang rumah Ami. Seolah Ami juga sedang menunggu Abi, bertepatan dengan Abi mematikan mesin motornya, Ami membuka gerbang. “Motornya bawa masuk aja, Kak.”
Abi mengangguk. Dia menstater motornya lalu perlahan memasuki halaman rumah. Bersamaa dengan Ami, Abi mengikuti gadis itu masuk ke dalam rumah. Biasanya Abi hanya melihat gerbangnya saja, tapi saat ini Abi berada di dalam rumahnya.
Pandangan Abi sedikit berpendar, mengamati ruangan yang terkesan sederhana tapi elegan. Terdapat foto pernikahan orang tua Ami, Abi sedikit terkejut melihat di foto itu, ibunya Ami terlihat masih muda, sedangkan ayahnya terlihat lebih tua. “Mungil, umur berapa nyokap lo nikah? Kok muda banget?”
Ami mengikuti arah pandangan Abi. “Kata Mom, dia nikah waktu usia 18 belas tahun dan Dad dua puluh empat tahun.”
“Serius?” tanya Abi tak percaya.
“Iya. Mereka dijodohin gitu.”
“Emang nyokap lo gadis desa? Kok dijodohin segala, dan lagi mereka berdua pasti nggak saling cinta, kan?”
“Bukan, kok. Mom bukan gadis desa. Mom hanya terlalu sayang orang tua, jadi dia nggak bisa nolak dijodohin, gitu juga sama Dad.” Ami menarik napas sejenak. “Ami juga mikir pasti mereka nggak saling cinta. Tapi, kalo nggak saling cinta nggak mungkin ada Ami sama Alan, bahkan adik dalam kandungan Mom. Pernah iseng-iseng Ami tanya sama Dad, apa dia cinta sama Mom. Dan jawaban Dad, dia cinta banget sama Mom, bahkan cintanya sangat besar sekali. Awal pernikahan mereka emang nggak saling cinta, tapi seiring berjalannya waktu, cinta hadir di tengah-tengah mereka.”
“Ck! Ayah lo bucin,” ejek Abi.
“Hah? Bucin itu apa, Kak?”
Abi melirik pada Ami lalu menggeleng. “Nggak apa-apa.”
“Oh.” Ami mengangguk-angguk mengerti. “Kak Abi sudah makan?”
“Belum.”
“Sama, Ami juga belum. Kita ke dapur, yuk? Bi Latri udah masak, kok. Ami tinggal menata piring aja.”
Abi mengangguk, dia membuntuti Ami menuju ruang makan. Abi disuruh duduk, sedangkan Ami sibuk mengambil piring, gelas, dan sendok. Ami juga mengisi air minum, menempatkan nasi beserta lauk ke dalam piring Abi.
Dalam diam, Abi mengamati gerak-gerik Ami. Oh, Abi juga baru sadar kalo Ami memakai piyama doraemon berwarna baby blue, membuat gadis itu terlihat tambah menggemaskan.
Setelah Abi pikir-pikir, makan malam seperti ini membuat Abi dan Ami terlihat seperti pasangan suami istri saja. Tidak berapa lama, Abi tertawa sendiri karena pikiran konyolnya.
***